Dirjen Otda Dinilai Lakukan Malaadministrasi terkait Sekda Kepulauan Sula

Senin, 30 Agustus 2021 – 17:05 WIB
Kementerian Dalam Negeri. Foto : Ist/Antara

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid menilai bahwa tindakan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) masuk ranah malaadministrasi, karena memberikan izin secara lisan kepada Bupati Kepulauan Sula, Fifian Adeningsi Mus untuk mencopot jabatan Sekda.

Menurutnya, tidak dijelaskan dalam hukum peraturan perundangan terkait pemberian izin secara lisan. Seharusnya izin tersebut diberikan secara tertulis.

BACA JUGA: Sekda Kabupaten Sula Diganti, Bupati Dinilai Langkahi Mendagri

Fahri Bachmid menjelaskan bahwa secara hukum tidak dikenal dengan namanya pranata persetujuan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) secara lisan. Tetapi berdasarkan undang-undang, yang dikenal adalah adanya pranata persetujuan secara tertulis.

Oleh karena itu, kata pakar hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Makassar ini, aspek prosedural dalam lapangan hukum administrasi negara itu merupakan salah satu syarat yang paling elementer berdasarkan UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

BACA JUGA: Perintah Mabes Polri ke Polres Sula terkait Kasus Ismail Diciduk

Dan semua pihak wajib mempedomani itu, termasuk Bupati Kepulauan Sula, Maluku Utara maupun Dirjen Otda Kemendagri.

"Melanggar (Dirjen Otda), gak boleh itu (berikan izin secara lisan) jadi melanggar. Karena dikenal sebenarnya dalam pranata hukum tata negara," kata Fahri Bachmid saat dihubungi, Sabtu (28/8).

BACA JUGA: Bukan Hanya Kasus Ismail yang Dihentikan Polres Kepulauan Sula

Lebih lanjut dikatakannya, jika Dirjen Otda sudah melanggar maladministrasi, maka Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai atasannya harus memberikan sanksi, dan minimal memberikan teguran.

"Yaitu masuk dalam kategori tindakan maladministrasi. Kalau maladministrasi itu, atasan dari dirjen itu seperti menteri bisa menegurnya atau Kementerian seperti Inspektorat pengawas. Dan berbagai pihak juga bisa mempersoalkan," ucap Fahri.

Selain itu, Fahri mengatakan bahwa Dirjen Otda Kemendagri melanggar tindakan indisipliner dan bisa diusut secara tuntas alasan memberikan izin secara lisan kepada Bupati Kepulauan Sula, bukan secara tertulis.

"Dianggap melakukan tindakan indisipliner, dan bisa di usut sebenarnya secara hukum. Bisa juga terkena sanksi karena melanggar maladministrasi. Tapi tergantung atasannya adalah menteri (Mendagri)," tuturnya.

Ia menambahkan, Dirjen Otda harus memberikan izin secara tertulis kepada bupati untuk mencopot jabatan sekda.

"Harus dengan persetujuan tertulis, seharusnya Dirjen mempersiapkan itu. Karena ini masalah hukum, segala sesuatu harus tertulis dan terukur. Dan ini bukan negara kekuasaan, ini negara hukum," tegasnya.

Kendati demikian, Fahri menuturkan,
secara yuridis, Gubernur, Bupati dan Walikota terpilih yang baru saja dilantik dapat saja melakukan penggantian dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam undang-undang.

Hal tersebut dapat merujuk pada UU RI No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Khususnya, lanjut dia, berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (3) yang mengatur bahwa “Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.

Kemudian secara hukum para kepala daerah yang baru saja dilantik juga tidak boleh mengganti pejabat pimpinan tinggi selama dua tahun sejak pelantikan pejabat tersebut.

Hal demikian itu dilakukan demi kesinambungan serta penjaminan pengembangan karier Aparatur Sipil Negara (ASN) di masing-masing daerah.

"Bahwa berdasarkan UU RI No. 05/2014 tentang ASN, khususnya pasal 116, Ayat (1) mengatur bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama dua tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi," bebernya.

Sehingga idealnya Bupati Kepulauan Sula dalam melakukan kebijakan penggantian pejabat pada lingkungan Pemda dengan alasan tertentu, wajib mempedomani peraturan perundang-undangan. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler