jpnn.com, JAKARTA - Saat ini dunia sedang menghadapi ancaman besar yang akan menentukan masa depan bumi dan semua penghuninya.
Hal itu disampaikan Dirjen Planologi Kehutanan dan atau Lingkungan Hanif Faisol Nurofiq.
BACA JUGA: Begini Strategi PGN Hadapi Tantangan Optimasi Utilisasi Gas Bumi di Masa Transisi
Hanif menyebut saat ini ada ancaman yang dihadapi bumi yang disebut Triple Planetary Crisis.
Tiga krisis ini, yakni perubahan iklim, hilangnya biodiversity, serta polusi dan limbah.
BACA JUGA: UNSADA Gelar FGD Panas Bumi Demi Mendukung Pengembangan Energi Terbarukan
"Dampaknya berkepanjangan, bersifat merusak, dan sudah kita alami belakangan ini, mulai dari menurunnya fungsi lingkungan hidup, merosotnya kualitas maupun kuantitas air dan udara bersih, suhu bumi yang merangkak naik dan berakibat naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan, gagal panen, hingga rententan bencana alam seperti banjir, tanah longsor,dan juga badai," kata Hanif dalam paparan bertajuk “D3TLH Sebagai Rambu-Rambu Arahan Pemanfaatan Sumber Daya Alam dalam Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” yang diadakan di Hotel Santika Premier Slipi, Jakarta, Jumat lalu (1/3).
Jika menengok ke belakang, segala krisis ini, ujar Hanif, memang diakibatkan oleh ekspansi manusia terhadap alam yang sekarang nyaris tak berbatas. Mulai dari industri tambang, transportasi, pembangunan, hingga sektor pertanian.
BACA JUGA: Detik-Detik Perwira Polri Tertembak Senjata Apinya Sendiri, Dor!
“Karenanya, kita memerlukan perencanaan pemanfaatan SDA yang baik untuk menghadapi ancaman Triple Planetary Crisis,” ujar Hanif.
Menurutnya, perencanaan pemanfaatan SDA secara baik dan berkesinambungan ini akan sejalan dengan tiga era baru yang akan berjalan di Indonesia, dimulai pada 2024.
Tiga era baru ini ialah pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2025-2045 dan pelaksanaan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) 2025-2055.
Kedua, era baru pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahap pertama 2025-2029.
Ketiga era baru pergantian kepemimpinan di tingkat pusat dan daerah 2024-2029.
Ada beberapa poin penting dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang ini. Salah satunya pendayagunaan data dan informasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) ke dalam perencanaan-perencanaan tersebut.
Menurut Hanif, D3TLH adalah salah satu instrumen tata lingkungan yang penting untuk perencanaan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Hanif mengatakan instrumen ini bisa digunakan untuk dua hal. Pertama, sebagai indikator keberlanjutan landscape (keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup) serta sebagai penjamin keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
“Yang kedua adalah untuk memperkuat aspek lingkungan (environmental and social safeguard) dalam perencanaan pembangunan, tata ruang, dan SDA,” tutur Hanif.
Pengembangan, penerapan dan pendayagunaan D3TLH dalam proses perencanaan pembangunan, tata ruang, dan SDA sudah didukung dan dilindungi oleh landasan hukum/yuridis dan landasan saintifik yang sangat kuat.
Landasan yuridis ini adalah Pasal 1 angka 2, 6, 7 dan 8 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, yang menyebut bahwa D3TLH pada dasarnya merupakan indikator penting pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009, D3TLH juga perlu disusun dan ditetapkan tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di tingkat provinsi hingga kabupaten/ kota.
Lantas, dalam UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa implementasi kemudahan berusaha dan berinvestasi harus tetap menekankan cara mengelola risiko lingkungan.
D3TLH juga berada di berbagai kebijakan multisektor, salah satunya ada di PP 21/2021, yang menyebut bahwa rencana tata ruang harus memperhatikan D3TLH.
Untuk memperkuat landasan saintifik dalam pengembangan D3TLH tersebut, KLHK telah berkolaborasi dan berdiskusi dengan berbagai para pakar perguruan tinggi, Perkumpulan Program Studi Ilmu Lingkungan (PEPSILI), Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL), Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), serta unit-unit kerja KLHK terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
Menurut Hanif, konsep D3TLH pada dasarnya dipakai untuk menjaga keseimbangan antara supply (penyediaan) dari sisi lingkungan, dan demand (pemanfaatan) dari kebutuhan dasar manusia. Sejauh ini, masih sering terjadi demand yang jauh melebihi supply dalam konteks lingkungan hidup dan daya dukungnya.
Hanif juga menjelaskan tentang konsep Ambang Batas D3TLH Nasional. Ada dua jenis status ambang batas. Pertama, belum terlampaui, yang menunjukkan saat ini pulau/kepulauan tersebut masih mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduknya secara mandiri.
Kedua, sudah terlampaui, yang berarti pulau/kepulauan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar penduduknya secara mandiri.
"Di Indonesia, pulau Jawa menjadi satu-satunya pulau yang masuk dalam kategori sudah terlampaui. Pada 2022, pulau ini dihuni oleh kurang lebih 154 juta jiwa. Padahal, secara perhitungan kebutuhan dasar, Pulau Jawa sebenarnya hanya sanggup mendukung secara mandiri 109 juta jiwa," kata dia.
Sehingga, untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang tinggal di Pulau Jawa saat ini mau tidak mau harus disokong dari pulau lain atau dengan cara import. Efeknya adalah biaya hidup yang semakin lama semakin tinggi.
“Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berada di kategori aman yang jauh dari ambang batasnya. Pulau Papua, Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku sudah mendekati ambang batas,” kata Hanif. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirjen Planologi Sarankan Kemenhut dan KLH Tak Digabung
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti