jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini terbukti tidak efektif menurunkan angka kemiskinan karena prakteknya yang salah sasaran.
Contohnya BBM subsidi jenis Pertalite yang ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu atau orang-orang kaya.
BACA JUGA: Efisien! Biaya Operasional Kilang Pertamina Kini Lebih Rendah dari Singapura
Hal ini diungkapkan Komaidi saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Mengurai Polemik Kenaikan BBM Bersubsidi” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GPP GMNI) di Jakarta, Rabu (14/9).
Dalam kesempatan itu, Komaidi mengurai data yang diperoleh lembaganya bahwa sepanjang 2022 pemerintah telah menganggarkan subsidi energi yang amat besar, yaitu mencapai Rp 502 triliun.
BACA JUGA: Pertamina Bantu 455 UMKM Binaan Go Global, Ini Strateginya!
Namun sayangnya, dana sebesar itu lebih banyak habis untuk mensubsidi BBM yang 80 persennya dinikmati masyarakat mampu.
Dia mencontohkan pada BBM subsidi jenis Pertalite, yang sebanyak 70 persen atau 20,3 juta kiloliter (KL) per tahun dikonsumsi oleh kendaraan roda empat.
BACA JUGA: Begini Upaya Pertamina Agar Distribusi BBM Sampai ke Masyarakat Secara Tepat dan Efisien
Sementara itu, kendaraan roda dua hanya menggunakan sebanyak 8,7 juta KL per tahun atau sekitar 30 persen.
Rata-rata konsumsi BBM kendaraan roda dua hanya 2,5 liter sekali transaksi, sedangkan roda empat mencapai 23,5 liter sekali transaksi.
“Kalau roda empat yang mengkonsumsi Pertalite itu angkutan umum kita bisa terima karena masyarakat bawah yang tidak punya mobil naik angkutan umum," ujar Komaidi.
Namun faktanya, lanjut Komaidi, dari 20,3 juta KL konsumsi roda empat itu, sebagian besar atau 98,7 persennya adalah mobil pribadi.
Angkutan umum hanya 0,4 persen, taksi online 0,6 persen, dan taksi 0,3 persen.
"Yang punya mobil pribadi kan orang mampu,” tegasnya.
Karena itu, Komaidi mengatakan sudah saatnya kita mendukung pengurangan anggaran subsidi BBM untuk dialihkan pada anggaran yang betul-betul dibutuhkan masyarakat miskin.
Contoh anggaran yang dibutuhkan masyarakat miskin, di antaranya untuk bantuan langsung tunai serta peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
“Artinya subsidi dialihkan dari si kaya ke si miskin yang benar-benar membutuhkan,” tandasnya.
Terkait dengan potensi naiknya harga-harga barang akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, menurut Komaidi harus ada pengawalan tersendiri dari pemerintah.
Menurut Komaidi, sebenarnya harga energi hanyalah sebagian kecil dari komponen penentu harga barang.
Komponen terbesar penentu harga barang adalah harga bahan baku yang mencapai 79 persen.
Selain itu, komponen terbesar lainnya adalah upah tenaga kerja.
“Ini kalau tidak dikawal oleh pemerintah, pelaku usaha akan menaikkan harga barang seenaknya, dengan alasan harga BBM naik. Pengawalan ini harus detail di semua lini, dan jelas hitungannya," saran Komaidi.
Dia mengatakan domain terbesar mengawal kenaikan harga barang ada di Kementerian Perdagangan.
Kebijakan ini juga dilakukan semua negara.
"Contohnya di Malaysia, kalau dalam menaikkan harga barang pengusaha tidak mau ikut ketentuan pemerintah, maka bisa dicabut izin usahanya,” pungkas Komaidi. (mrk/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi