BACA JUGA: Sarju Wibowo dan Rutan Wanita Pondok Bambu yang Dipimpinnya
Berbekal keyakinan tersebut, dia merekrut 27 anak Papua secara acak, untuk digembleng di lembaga yang dipimpinnyaLaporan TITIK ANDRIYANI, Jakarta
"DELAPAN LIMA pangkat dua hasilnya berapa, Merlin?" tanya Bambang Susianto, salah seorang pengajar matematika di Surya Institute, sebuah lembaga yang berkonsentrasi mempersiapkan siswa-siswi Indonesia mengikuti olimpiade matematika dan IPA internasional.
Mendapat pertanyaan tersebut, kening Merlin Kogoya, siswa kelas IV SD YPPGI, Kabupaten Tolikara, Papua, mengernyit sejenak
BACA JUGA: Seperti Kos, Napi Bayar Kamar hingga Listrik
Sekitar tiga detik kemudian, dia langsung melontarkan jawabanSejurus kemudian, Bambang mencecarnya dengan berbagai pertanyaan hitung-hitungan
BACA JUGA: Gagal Masuk Sekolah Bola karena Bapak Meninggal
"Kalau 72 x 18 berapa?" ujarnya lagiDengan tangkas bocah berusia sembilan tahun tersebut langsung menjawab, "1.286."Bambang pun tersenyum puasSebab, dari hari ke hari, kemampuan siswa didikannya semakin matang dalam berhitung numerikSesaat kemudian, pandangan Bambang tertuju kepada Christian Murib, anak Papua lain dari SD YPPK Betlehem, Wamena.
Lalu, Bambang berjalan menuju papan tulis putih di depan kelasDia menuliskan 415.624 akar delapanKemudian, dia meminta Christian menghitung jawaban soal ituBocah berusia 11 tahun tersebut maju dan langsung menulis jawaban seolah tanpa berpikir.
"Kami memang melatih mereka berhitung cepat dengan metode khusus," terang BambangSelain Merlin dan Christian, 25 anak Papua lainnya saat ini tengah mendapat pelatihan khusus di Surya Institute.
Pendiri Surya Institute, Prof Yohanes Surya mengungkapkan, sejak setahun lalu pihaknya mengambil para siswa yang berkemampuan kurang untuk dilatih belajar matematikaDia mengambil para siswa dari PapuaSebab, Yohanes memiliki pengalaman yang membuat hatinya tergerak untuk mendidik anak-anak PapuaDia pernah melontarkan soal sederhana tentang penjumlahan kepada salah seorang siswa di Papua"Berapa 18 ditambah 5?" tanyanya ketika itu.
Sang siswa yang mendapat pertanyaan tersebut berpikir cukup lamaDibuatnya garis-garis kecil sejumlah bilangan yang ditanyakanKemudian, dihitungnya garis-garis tersebut satu per satuHati Yohanes terenyuhSebab, untuk menjawab soal sederhana itu saja dibutuhkan waktu cukup lama.
Yohanes meyakini, bila metode pembelajaran diberikan dengan baik, anak-anak itu pun bisa menyerap pelajaran secara baikSelain itu, dia percaya anak-anak Papua memiliki kemampuan yang tidak kalah dari siswa di Jawa atau daerah lain di Indonesia yang lebih maju, asalkan diberi kesempatan yang sama.
Dia ingin membuktikan bahwa keyakinannya tersebut bukanlah sebuah kesalahanKarena itu, dia memilih Papua, daerah yang dinilai terbelakang dalam banyak halDengan persetujuan sekolah, orangtua, serta pemda setempat, 27 anak Papua dibawa ke Surya Institute, TangerangMereka dipilih secara acak dari Kabupaten Tolikara, Waropen, Sorong Selatan, Lani Jaya, serta Wamena.
Tidak ada seleksiSebisa mungkin mereka yang terpilih justru yang memiliki kemampuan di bawah rata-rataMereka digembleng di pusat pelatihan matematika dan fisika tersebutPara pengajarnya adalah ahli matematika, geometik dan fisika.
Sepuluh bulan telah berlaluMerlin dan kawan-kawan kini semakin jago berhitungTermasuk memecahkan soal-soal tersulit sekelas olimpiadeTak urung, lantaran hasil belajar yang ditunjukkan mereka dinilai memuaskan, Yohanes berencana mengikutsertakan beberapa di antaranya ke olimpiade.
Sejatinya, kata Yohanes, awalnya Surya Institute tidak bermaksud menyiapkan anak-anak itu ke olimpiadeNamun, seiring berjalannya waktu, terlihat ada beberapa siswa yang memiliki potensi khusus di bidang matematika dan fisikaDi antaranya adalah Merlin dan Christian.
Yohanes pun akhirnya ingin mempersiapkan mereka secara khusus untuk bertarung menuju Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang tiap tahun dihelat pemerintah"Kalau berhasil di OSN, dengan sendirinya mereka akan melenggang menuju olimpiade internasional," terang pria kelahiran 6 November 1963 tersebut.
Dia menjelaskan, tiap hari mereka dididik belajar matematika selama empat jamMereka diberi materi pelajaran matematika secara intensPada bulan pertama, anak-anak itu diberi buku khusus matematika yang amat tebalMaterinya, soal-soal penjumlahan, perkalian dan pembagianSelama sebulan soal-soal di buku tersebut harus dituntaskan.
"Jika bisa menyelesaikan materi itu, berarti mereka sudah menguasai kemampuan dasar matematika kelas 1 sampai kelas 6," terang fisikawan ituMereka diajari berhitung dengan amat cepat.
Pada bulan kedua dan seterusnya, kata Yohanes, mereka diberi metode lanjutanTermasuk, trik-trik menyelesaikan soal-soal dengan berbagai tingkat kesulitanYohanes memiliki metode khusus untuk membuat siswa cepat menangkap materi yang diajarkanMetode penghitungan yang diberikan berbalik dengan cara penghitungan yang jamak dipakai.
"Kalau biasanya menghitung penjumlahan dari belakang, metode saya justru terbalikYaitu, dari depanLebih cepat dan mudah," ujarnya.
Tak hanya itu, mereka juga dibekali kemampuan bahasa Inggris dan kepribadianAnak-anak Papua tersebut juga diberi pelajaran komputer"Kami juga mengajarkan character building kepada mereka," jelasnya.
Kemampuan mereka pun terasahMerlin mengaku kemampuan berhitungnya berkembang amat pesatDia juga tidak mengira bahwa belajar matematika amat menantang dan mengasyikkanKarena itu, dia menuturkan ingin menjadi profesor matematika kelak.
"Sebab, belajar matematika itu asyik," ungkap bocah berambut ikal tersebutKeinginan Merlin juga diiyakan temannya, Christian"Saya juga ingin jadi profesor matematika," ujarnya sambil lantas tersenyum.
Yohanes begitu bangga pada cita-cita kedua anak ituKemudian, mereka pun diberi soal phytagorasDengan tangkas dan penuh antusias, Merlin dan Christian berebut menjawab"Keduanya saat ini bahkan bersaing dengan anak saya yang seumuran mereka," ujar Yohanes.
Menurut dia, anak-anak Papua memiliki keunikan tersendiriPendiri Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) itu menyatakan, mereka tak sekadar diajari hingga pintar matematika dan IPATapi, mereka juga belajar karakter budaya"Mereka punya kekhususanKalau ditekan, mereka menangisAda juga yang melawanBergantung sukunyaKarena itu, kami memakai pendekatan budaya," jelasnya.
Sebelum membawa 27 siswa dari Papua tersebut, Yohanes mengorbitkan Septinus George Saa dari SMA Negeri 3 Wamena, PapuaSeptinus berhasil meraih penghargaan "The First Step to Nobel Prize" pada 2003Setahun kemudian, dia membimbing siswi dari Papua lainnya, Anneke Bowaire dari SMA Serui, yang berhasil merebut gelar "The First Step to Nobel Prize" pada 2004.
Alumnus Fisika dari College of William and Mary, Virginia, AS tersebut menuturkan, ke depan, Surya Institute berencana meminta semua kabupaten di Papua untuk memilih anak-anak yang dianggap paling "bodoh" di daerahnyaBakal diminta satu anak dari tiap kabupatenMereka akan dididik di Surya Institute selama enam bulan.
Bukan hanya siswa, para guru di daerah tersebut juga akan dilatihDari tiap kabupaten akan diambil 10 guruBersama LSM World Vision, pihaknya akan menjaring guru serta siswa di daerah terpencil dan suku pedalaman untuk digembleng di lembaganya.
Para guru itu akan diberi pelatihan metode pengajaran yang baikMereka akan mempraktekkan langsung materi yang didapatkan kepada para siswaTujuannya, memperbaiki metode pengajaran guru-guru tersebut selama ini, juga meningkatkan rasa percaya diri mereka.
Dengan demikian, sekembali dari Surya Institute, mereka bisa melatih guru lain di daerah masing-masingMenurut Yohanes, jika seorang guru itu minimal bisa melatih 10 guru lain, akan ada 100 guru yang bisa ditulari untuk mengajar dengan baik.
"Artinya, nanti ada 110 guru yang memiliki kemampuan mengajar dengan baik," jelas peraih nilai summa cum laude di College of William and Mary Virginia itu.
Kemudian, jelas Yohanes, jika seorang guru setidaknya bisa melatih 10 siswa untuk belajar matematika dengan baik, akan ada 1.100 anak yang bisa menguasai matematika dengan baik"Sebanyak 110 guru dikali 10 anak akan menghasilkan 1.100 siswa yang dapat menguasai matematika," tegasnya.
Setelah itu, siswa Papua lainnya akan dijaringDiharapkan, ada 5.000 anak Papua yang nanti pintar matematikaItulah konsep yang dia gagasAkhir bulan ini, para guru dan siswa tersebut mulai digembleng di lembaganya.
Yohanes mengungkapkan, selama ini juara olimpiade selalu berkiblat pada TiongkokDia ingin mengubah persepsi tersebutKarena itu, Yohanes bermimpi ingin melahirkan 3.000 doktor pada 2030.
Mereka harus menguasai sains dan teknologiCalon doktor itu akan disekolahkan ke luar negeriUntuk mewujudkan impian itu, pihaknya akan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional dan menggandeng BUMN-BUMN yang adaTermasuk, dengan merangkul pemerintah provinsi.
Dia memaparkan, jika tiap kabupaten/kota bisa berkomitmen mengirim lima siswa untuk belajar ke luar negeri, akan ada 2.000 anak yang bisa menikmati belajar di negara di seluruh dunia"Lima anak kali 400 kabupaten/kota di Indonesia, akan menghasilkan 2.000 anak," jelas kepala pusat penelitian nanoteknologi dan bioteknologi di The Mochtar Riady Center for Nanotechnology and Bioengineering di Karawaci, Tangerang, tersebut.
Sementara itu, 1.000 anak lainnya akan dikirim melalui beasiswa yang diberikan perusahaan-perusahaan, Kementerian Pendidikan, maupun stakeholder yang peduli terhadap pendidikanYohanes meyakini mimpi itu bisa menjadi kenyataanSama dengan mimpi yang berhasil direalisasikan Tiongkok dalam 20 tahun terakhir ini.
Surya Institute, kata Yohanes pula, siap mempelopori terwujudnya gagasan tersebutDia juga mengimpikan pada 2020 ilmuwan Indonesia bisa meraih penghargaan Nobel(nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sel Asli untuk Kelabui Petugas Sidak
Redaktur : Tim Redaksi