Ditjen Pajak Bisa Hitung Omzet WP yang Tidak Kooperatif

Senin, 05 Maret 2018 – 09:04 WIB
Ilustrasi wajib pajak. Foto: Batam Pos/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Petugas pajak atau fiskus bisa menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak yang tak kooperatif.

Hal itu tidak lepas dari keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto.

BACA JUGA: Jokowi Lapor SPT via Online, Katanya Mudah Banget

Karena itu, Ditjen Pajak Kemenkeu bisa menghitung peredaran bruto atau omzet wajib pajak yang dinilai tidak menyuguhkan pembukuan secara benar.

Penghitungan omzet tersebut meliputi transaksi tunai dan nontunai, termasuk sumber serta penggunaan dana.    

BACA JUGA: Penerimaan Pajak Naik Bukan Berarti Target Akan Tercapai

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menuturkan, dalam praktiknya, saat petugas pajak melakukan pemeriksaan, ada wajib pajak (WP) yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan.

”Jadi, peredaran brutonya tidak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya,” ujar Yoga, Minggu (4/3).

BACA JUGA: Terungkap Warga Canberra Membayar Makan Menteri Senilai Rp 20 Juta Lebih

Yoga melanjutkan, di samping perhitungan terhadap omzet usaha yang didasarkan pada transaksi tunai dan nontunai, juga dilakukan kalkulasi atas biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, proyeksi nilai ekonomi, dan penghitungan rasio.

Beleid tersebut, lanjut Yoga, diharapkan mampu memberikan kepastian hukum bagi WP dalam menjalankan kepatuhan membayar pajak.

Dia menambahkan, metode penghitungan yang digunakan sebenarnya sudah biasa dilakukan aparat pajak.

”Metode yang ada di PMK itu sudah biasa kami gunakan dan kami mengenalnya sebagai metode tidak langsung karena tidak bersumber dari pembukuan WP,” tutur dia.

Sementara itu, pakar perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, masyarakat tidak perlu resah dengan aturan baru itu.

Sebab, penghitungan yang dilakukan pemeriksa pajak tersebut hanya akan diterapkan bagi WP yang tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

”Dengan kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dan menyerahkan kepada pemeriksa, kewajiban pajaknya tidak akan dihitung dengan cara lain itu,” kata Yustinus.

Meski begitu, direktur eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu juga memberikan catatan terhadap pemerintah.

Yakni, perlu diperjelas pengertian ”tidak sepenuhnya” menyelenggarakan pembukuan seperti termaktub pada pasal satu.

”Supaya tidak ditafsirkan berbeda dan menjadi celah bagi pemeriksa untuk memaksakan penggunaan cara lain padahal pembukuan sebenarnya tersedia,” kata Yustinus.

Yustinus juga mempertanyakan apakah penghitungan omzet oleh Ditjen Pajak akan menutup hak WP untuk menyanggah saat pemeriksaan.

”Untuk memitigasi risiko, sebaiknya tetap diberi kesempatan bagi WP untuk memberikan penjelasan atau tidak setuju dengan metode yang digunakan,” papar dia.

PMK yang baru tersebut berlaku bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan.

”Tak perlu gusar dan khawatir. Tidak ada pajak baru atau pemungutan yang agresif dan mencari-cari kesalahan,” kata Yustinus. (ken/c11/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 30 BUMN Integrasikan Data Perpajakan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler