Kreativitas Dodong Kodir ini termasuk langkaSelama 15 tahun dia menggeluti jenis musik "yang tak biasa"
BACA JUGA: Ke Ground Zero Pascatewasnya Osama bin Laden
Disebut "tak biasa" karena dia mampu menciptakan alat musik dari aneka sampah yang bisa menghasilkan suara alam seperti petir dan ombakBACA JUGA: Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan
TRI MUJOKO BAYUAJI, Jakarta
PEMENTASAN yang dihelat di Bentara Budaya Jakarta pada Selasa pekan lalu itu (10/5) bertajuk Jagat Kertas
BACA JUGA: Aparat Pergi, di TKP Hanya Ada Gerobak Nur yang Penuh Darah
Ada gemuruh badai, suara petir menyambar beberapa kali, dan sayup-sayup terdengar suara ombak mengempas pasir di pantaiSuara-suara alam itu mengiringi gerakan seorang penari berbalut kertas putih yang meliuk-liukkan tubuhnyaTak jauh dari panggung, di bagian yang tak tersorot lampu, seorang pria berambut gondrong dengan asyiknya memainkan beberapa alat musikTernyata, alat-alat musik itulah yang menghasilkan suara-suara alam seperti petir, gemuruh badai, serta ombak.
Pria gondrong itu adalah Dodong KodirSaat pementasan berlangsung, tatapan mata pria 60 tahun tersebut selalu mengarah ke panggungPada saat-saat tertentu, dia memainkan alat-alat musiknya yang khasSalah satunya adalah sebatang kayu yang dipasangi per mobilJika kayu itu diketuk pelan, keluarlah suara gemuruh sayup-sayupJika diketuk lebih keras, suara gemuruh yang keluar juga kian keras terdengar.
Ingin tahu bagaimana suara petir dihasilkan" Saat itu, Dodong mengangkat sebuah tempat minum berbentuk buah labuBagian bawahnya dipangkas, lalu ditambal dengan pelat seperti sengDi tengah-tengah pelat itu dipasang sebuah per kecil namun panjangSaat labu tersebut digoyang, terdengar suara mirip petir dengan desiran angin kencang.
"Ini namanya Tornadong," kata Dodong seusai pementasan ketika ditanya tentang alat musik yang menghasilkan suara mirip petir ituDia menceritakan, dirinya menciptakan tornadong setelah menyaksikan bencana tornado di Amerika Serikat
Selain tornadong, Dodong menunjukkan alat musik lain, yaitu alpedoItu adalah semacam alat petik yang dibuat dari alat petik bekasDi tangan Dodong, alat tersebut dijadikan alat petik serbaguna"Mau nuansa musik Jepang" Bisa," ujarnya sambil memetik alpedoTerdengarlah suara musik khas Jepang
"Mau irama khas Meksiko" Juga bisa," katanya menantangTak lama kemudian, dia memainkan alat petiknya itu, lalu keluarlah irama seperti latar belakang musik film Zorro, pahlawan fiksi asal Meksiko.
Dodong juga membuat suara ombak tsunami dari kanvas yang diisi pelor untuk sepedaAda juga chicken drum, alat musik drum yang dibuat dari tempat minum ayam.
Diminta menyebutkan satu per satu alat musik limbah yang telah dibuat, Dodong menyatakan tidak tahu pastiNamun, dia memastikan jumlahnya telah lebih dari seratus jenisSebagian besar alat itu disimpan di rumahnya di BandungSebagian lagi dipinjam kolega sesama seniman dan mahasiswanya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung
"Saya sendiri nggak ngitungTapi, lihat saja yang saya bawa sekarang sudah sembilan," ujarnya sambil menunjukkan satu per satu alat musik khasnya.
Selama 15 tahun Dodong menggeluti alat musik yang diciptakan dari aneka sampah dan limbahKarya pertamanya adalah seruling dari bambu berukuran lebih besar dari lazimnya ukuran serulingSaat itu dia penasaran ingin tahu bagaimana suara yang dihasilkan dari seruling yang dibikin dengan ukuran lebih besar.
"Karena belum bisa bikin sendiri, saya minta bantuan orang yang biasa bikin seruling dari bambu seadanyaSaya sempat dimarahi karena dianggap aneh," ceritanya.
Setelah seruling jumbo tersebut jadi, ternyata suara yang dihasilkan memang berbedaKetika seruling itu dipamerkan Dodong di sejumlah latihan, seorang seniman Bandung bernama Harry Dim tertarikLantas, diajaklah Dodong ke Belgia untuk mengikuti Festival Instalasi Kontainer Sedunia.
Festival tersebut merupakan festival seni yang mengeksplorasi musik dari sebuah kontainer"Alhamdulillah, seruling saya itu dipakai untuk kolaborasi," ungkapnya.
Seruling jumbo milik Dodong tersebut belum diberi namaSeruling itu baru dinamai ketika ada orang Jepang yang tertarik pada alat buatan Dodong"Saya asal saja kasih nama sulangsong atau suling asal songsong," ujarnya lantas terkekeh.
Dari situlah Dodong semakin tertarik untuk mengembangkan alat musik dari limbahPada 1996, untuk kali pertama dia memiliki rumah sendiri di daerah Cisitu, Dago, BandungBerbagai limbah dia bawa pulang untuk dieksplorasiNamun, namanya rumah baru, sang istri merasa risi dengan ulah Dodong yang suka membawa "sampah" itu
"Saya dimarahiIni mau buat rumah atau tempat sampah" Sana di luar," ungkapnya menirukan istrinyaTiga anaknya yang sudah dewasa ketika itu, tampaknya, malu karena bapaknya sering mengolah limbah.
Penolakan istri dan anaknya tersebut tidak membuat Dodong jeraBerkat kegigihan dan ketelatenannya, alat-alat musik yang diciptakan dari limbah itulah yang mengubah dalam hidup DodongDari sekadar menjadi dosen alat musik tradisional, dia dikenal pula sebagai musikus limbah.
Dengan stempel musikus limbah, ternyata Dodong bisa melanglang buana ke sejumlah penjuru negaraDia sempat dua kali mengunjungi Yunani untuk melakukan kolaborasi musik
Alat musik Dodong juga pernah menjadi pembuka dalam peringatan 100 tahun musikus dunia Wolfgang Amadeus MozartSaat di Belgia lagi, Dodong juga pernah melakukan konser tunggal selama dua minggu.
Konser tunggal dua minggu itu begitu spesial bagi DodongSebab, konser tersebut dimanfaatkan sekaligus untuk mengumpulkan dana bagi korban gempa di Padang, Sumatera Barat
Dodong diajak secara khusus oleh aktor senior Indonesia, Didi Petet, yang ketika itu didapuk menjadi duta budaya Indonesia"Di sana, saya sekaligus pentas untuk mengenang almarhum Rendra," ujarnya.
Dengan usia yang sudah lanjut, dia mengaku masih punya beberapa keinginan yang belum tercapaiDodong ingin membuat galeri pribadi yang berisi alat-alat musiknyaSelain itu, dia ingin alat musiknya bisa terus berkembang, dimainkan generasi selanjutnya"Saya punya tiga anak, tapi belum pernah mainMungkin cucu saya nanti tertarik," katanya.
Saat ini alat musik Dodong memang tidak dijualNamun, dia tidak berkeberatan jika ada yang memproduksi alat musik limbahnya dalam jumlah banyakSatu syaratnya, alat musik buatannya harus berharga mahal"Di luar negeri, alat musik itu mahal karena dihargai kualitasnyaSaya juga ingin dihargai," harapnya(c5/kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sartono, Pencipta Lagu Hymne Guru yang Mulai Terganggu Daya Ingatnya
Redaktur : Tim Redaksi