Dokter Anggap Obat Generik tak Menguntungkan

Senin, 10 Oktober 2011 – 20:18 WIB

JAKARTA --Selama ini, ketersedianya akses terhadap obat selalu diidentikkan dengan harga obat yang murahPadahal, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof

BACA JUGA: Anggapan yang Salah soal Campak

Hasbullah Thabrani mengatakan, sesungguhnya antara akses obat dan harga obat adalah dua istilah yang berbeda.

”Harga obat murah tetapi kalau tidak ada barangnya maka tidak terjadi akses
Harga obat mahal kalau ada yang membayarkan maka akan terjadi akses,” terangnya di Jakarta, Senin (10/10).

Hasbullah menerangkan, saat ini yang terpenting untuk masyarakat adalah bukan masalah harga obatnya tetapi aksesnya

BACA JUGA: TIngkat Konsumsi Ikan Masih Rendah

Karena harga obat mahal atau murah tidak bisa dipahami oleh masyarakat
Di Jakarta saat ini, lanjut dia, lebih dari 500 orang terkena penyakit leukemia kronik dengan biaya pengobatan lebih dari Rp 300 juta per tahun

BACA JUGA: BPOM Temukan Jajanan Anak Mengandung Bahan Kimia



”Obatnya tersedia tetapi sangat tidak terjangkau oleh masyarakatDi sisi lain, banyak sekali obat-obat generik yang terjangkau tapi masyarakat tidak bisa mengaksesnya karena terkendala jarak, struktur, budaya dan sistemnya,” ujarnya.

Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang telah menetapkan harga obat generik tapi tingkat konsumsi di masyarakat masih kecil, hanya 11% dari total obat yang beredar

Dokter masih melihat bahwa obat-obat generik belum menguntungkan secara bisnis jika diresepkanCelakanya, lanjut dia, di Indonesia harga obat masih membingungkan, terutama di rumah sakit, dimana harga obatnya bervariasiSiapa yang salah? ”Seringkali yang menjadi kambing hitam adalah industri farmasi dibandingkan rumah sakitnya,” jawabnya.

Hasbullah mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir, coverage asuransi kesehatan naik dari 7% menjadi sekitar 50% dari populasi pendudukMeski demikian, asuransi kesehatan tetap tidak bisa menjamin kemudahan akses masyarakat terhadap obat-obatanMisalnya, seorang penderita kanker payudara.

Dijelaskan, obat-obatan memang tersedia di pasarHanya saja, harganya bisa mencapai Rp 7,3 juta per kapsulPadahal, pasien minimal harus mengonsumsi obat tersebut dua kali sehari selama dua minggu

Sehingga, bisa dikatakan ongkos pengobatan dapat mencapai  2x10 day x Rp 7,3 juta atau sekitar Rp 146 juta“Biaya ini relatif murah bagi masyarakat di negara berkembangTapi, di Indonesia, itu sama dengan 70 kali rata-rata gaji bulananBelum lagi jika ada yang menderita leukimia kronik,” tukasnya.

Dengan begitu, Hasbullah menegaskan bahwa harga obat tidak bisa dihitung perkemasan, tetapi harus dihitung sampai si pasien benar-benar sembuhUkuran-ukuran ini yang belum banyak digunakan di Indonesia

Saat ini, terangnya,  industri farmasi internasional menerapkan inovative pricing model dengan penyesuaian harga obat dengan income negara masing-masingItulah salah satu terobosan yang dilakukan industri farmasi untuk mengatasi keterbatasan harga dan belum untuk mengatasai keterbatasan akses

“Rata-rata di Indonesia beberapa hal yang menyebabkan harga obat menjadi mahal adalah soal birokrasi, pajak, biaya transportasi dan juga volumeIni yang masih menjadi kelemahan di negara kita,” imbuhnya(cha/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kanker Serviks, Pembunuh Kedua Setelah Kanker Payudara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler