Dokter Sunardi

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 12 Maret 2022 – 20:10 WIB
Ilustrasi - Densus 88 Antiteror Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di mata pasukan Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) Polri, Dokter Sunardi adalah teroris berbahaya. Oleh karena itu ketika ada indikasi melawan saat disergap, warga Sukoharjo, Jawa Tengah itu tidak dilumpuhkan, tetapi langsung dimatikan.

Dokter berusia 54 tahun itu mengendarai mobilnya dalam perjalanan pulang dari tempat praktiknya di kawasan Kota Sukaharjo, Jawa Tengah sekitar pukul 21.00 WIB. Ketika disergap oleh pasukan Densus 88, dia dikabarkan melawan dengan menabrakkan mobilnya ke arah kendaraan penyergap dan melukai dua polisi.

BACA JUGA: Klasemen Ustaz Radikal

Insiden itu sudah cukup menjadi alasan bagi Densus 88 untuk langsung menembak mati dr. Sunardi. Keterangan resmi yang dikeluarkan polisi menyebut tindakan dr. Sunardi membahayakan nyawa anggota Densus 88, sehingga target itu langsung dimatikan.

Begitulah versi polisi yang kemudian dirilis oleh berbagai media. Sunardi yang sudah bertahun-tahun berjalan dengan tongkat akibat penyakit strok, digambarkan dan diperlakukan musuh berbahaya.

BACA JUGA: Pesantren Teroris

Ketua RT setempat menggambarkan Sunardi sebagai orang yang tertutup dan jarang bersosialisasi dengan warga. Gambaran itu merupakan sebuah stereotip yang selalu sama dalam berbagai kasus penangkapan terduga teroris.

Perlawanan terhadap tindakan polisi muncul dari warganet yang membanjiri media sosial dengan berbagai protes keras. Tagar #PrayForDokterSunardi menggema di berbagai media sosial dan menjadi trending topic Twitter.

BACA JUGA: Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme

Berbagai informasi dan kesaksian warganet tentang Dokter Sunardi menjadi counter-information terhadap keterangan polisi yang one-sided yang hanya menyuarakan versi Polri. Informasi dari netizen memunculkan keraguan bahwa Dokter Sunardi adalah target yang berbahaya seperti klaim polisi.

Seorang netizen menyebutkan Dokter Sunardi ialah orang yang sangat baik dan kerap memberikan pengobatan gratis, sehingga ia disebut sebagai pejuang kemanusiaan. Tak hanya itu, pengakuan petugas bahwa Sunardi berupaya menabrakan mobilnya, juga diragukan.

Sunardi menderita penyakit strok sehingga membuatnya tidak akan leluasan melakukan perlawanan. Untuk menunjang aktivitas sehari-hari, Sunardi harus berjalan menggunakan tongkat.

"Fakta, almarhum Sunardi sudah menderita strok lama, butuh tongkat untuk beraktivitas. Layakkah dibunuh seperti itu? Kami mengutuk kalian yang memang sengaja membunuh seorang pejuang kemanusiaan yang baik.’’ Begitu bunyi salah satu kecaman dari warganet.

Dokter Sunardi juga dikenal sebagai penulis buku yang cukup produktif. Belasan buku sudah ditulisnya dengan berbagai topik, mulai tips kesehatan dan pengobatan, sampai tema-tema mengenai motivasi.

Seorang warganet lainnya mengatakan almarhum adalah dokter budiman yang sangat sering menolong warga yang menderita karena sakit. Ribuan orang sudah ditolong dengan pengobatan gratis.

Tidak terhitung berapa jumlah pasien yang malah dibantu biaya pengobatan. Mereka semua kehilangan seorang dokter yang murah hati.

Namun, di mata polisi, Sunardi adalah bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan menduduki posisi penting. Dia disebut sebagai penasihat pimpinan JI.

Sunardi juga menjadi tokoh di balik gerakan Hilal Ahmar Society, organisasi kedokteran Islam yang biasanya dianggap sebagai pesaing Palang Merah.

Ini bukan kali pertama Densus 88 menjadi sorotan tajam karena arget operasinya terbunuh. Pada 2016, Densus 88 seorang aktivis dakwah Muhammadiyah di Klaten bernama Siyono.

Selanjutnya, Densus membawa Siyono ke kantor polisi. Namun, dia dikembalikan kepada keluarganya dalam keadaan meninggal dunia.

Reaksi keras muncul dari berbagai kalangan. PP Muhammadiyah menurunkan tim pencari fakta untuk mengungkap kasus ini.

Siyono dikenal sebagai aktivis dakwah yang tidak pernah bersinggungan dengan kekerasan. Oleh karena itu, info tentang Siyono terlibat terorisme dianggap janggal dan tidak masuk akal.

Kepolisian mengeklaim Siyono meninggal setelah berkelahi dengan anggota Densus 88. Siyono tewas akibat perdarahan di kepala yang disebabkan benturan dengan benda tumpul.

Namun, Hasil autopsi Komnas HAM, Persatuan Dokter Forensik Indonesia, dan PP Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono menunjukkan bahwa warga Dukuh Brengkungan, RT 011/RW 005, Desa Pogung, Cawas, Klaten itu meninggal karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke jaringan jantung.

Selain itu, hasil autopsi juga menunjukkan ada memar di bagian belakang tubuh seperti bersandar pada permukaan keras.

Pelaku pembunuhan terhadap Siyono disidangkan dan dihukum dengan penurunan pangkat. Hukuman itu dianggap ringan dan tidak memenuhi asas keadilan.

Vonis itu juga tidak menimbulkan efek jera dan dianggap tidak membawa perbaikan dalam cara-cara penanganan terorisme.

Penangkapan dengan kekerasan yang berakhir dengan kematian juga terjadi terhadap enam orang pengawal Habib Rizieq Shihab yang dikenal sebagai insiden Kilometer 50 pada 2020. Keenam orang itu ditemukan tewas dengan luka tembak dari jarak dekat.

Sidang pengadilan yang dilakukan tidak banyak mengungkap motif penembakan itu. Tersangka yang dimunculkan tidak banyak mengungkap jaringan dan penanggung jawab operasi kekerasan itu. Banyak pihak yang menganggap persidangan kasus KM 50 sebagai lelucon.

Penanganan kasus terorisme yang diduga banyak melanggar hak asasi terjadi di seluruh dunia. Apa yang dilakukan Densus 88 adalah bagian dari standar operasi penanganan terorisme yang selama ini dicontohkan Amerika Serkikat.

Setelah peristiwa penyerangan menara kembar WTC New York pada 11 September 2001, Amerika melakukan perburuan besar-besaran terhadap pelaku terorisme di seluruh penjuru dunia. Di dalam negeri, Presiden George Bush mengundangkan Undang-Undang Internal Security Act yang memberi kewenangan kepada keamanan untuk melakukan tindakan penangkapan dan penyerangan terhadap pelaku terorisme.

Undang-undang itu dianggap banyak melangar prinsip hak asasi manusia. Ratusan terduga terorisme dari seluruh dunia ditangkap dan kemudian dimasukkan ke penjara Abu Ghraib dan Guantanamo.

Abu Ghraib terletak di dekat Baghdad, ibu kota Irak. Di tempat itulah pasukan Amerika menyiksa terduga terorisme dengan metode siksaan di luar standar hak asasi manusia.

Berbagai laporan media internasional mengungkap perlakuan kejam dan siksaan fisik maupun psikis terhadap pelaku tindak terorisme. Salah satu laporan menyebutkan pasukan Amerika melakukan pelecehan seksual terhadap terduga terorisme dengan menyodominya.

Dalam insiden lain, tentara Amerika merusak mushaf Al-Qur'an di depan terduga teroris.

Penyiksanaan dan penghinaan di penjara Abu Ghraid menjadi skandal internasional setelah bocor ke media. Amerika kemudian mengadili tentara yang terlibat dalam penyiksanaan dan menjatuhkan hukuman militer berupa dari penurunan pangkat sampai pengurungan.

Kejahatan yang sama juga dilakukan terhadap terduga teroris yang dikumpulkan di Guantanamo atau Gitmo, sebuah kamp konsentrasi di Kuba. Amerika sengaja menempatkan pusat konsentrasi penanganan terorisme di luar wilayahnya untuk menghindri konsekuensi hukum dalam negeri.

Salah satu tersangka teroris yang ditahan di Guantanamo ialah Hambali, pria asal Cianjur, Jawa Barat. Dia dikenal sebagai anggota al-Qaeda.

Hambali ditahan bertahun-tahun di kamp tertutup dan nasibnya tidak diketahui. Tahun lalu, foto Hambali di Guantanamo muncul di media disertai dengan berita mengenai perlakuan buruk yang dialami para tahanan lainnya.

Operasi penanganan terorisme di Indonesia terlihat mempunyai kesamaan dengan standar operasi yang diterapkan di Guantanamo. Amerika sudah membuat templat operasi, dan negara-negara lain tinggal menjalankannya sesuai SOP.

Kasus yang dialami Dokter Sunardi maupun Siyono tampaknya masih akan terjadi lagi dan lagi dengan versi yang berbeda.(***)


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler