jpnn.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar meminta maaf atas pernyataannya yang menyebutkan ada 198 pondok pesantren terafiliasi dengan terorisme.
Dia mengakui bahwa pernyataan itu melukai umat Islam terutama para pengelola pesantren.
BACA JUGA: Rencana Petakan Masjid Tuai Protes, Polri: Kami Ada di Second Line
Pernyataan maaf itu diungkapkan dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamis (3/2). Dalam sebuah pertemuan dengan Komisi III DPR RI beberapa waktu sebelumnya Boy mengungkapkan data 198 pesantren yang berafiliasi dengan jaringan terorisme.
Pernyataan Boy ini mendapat reaksi keras dari kalangan pesantren dan umat Islam. Pernyataan ini dianggap menyudutkan pesantren dan umat Islam secara keseluruhan.
BACA JUGA: Stafsus Menag Yaqut Mengkritik BNPT Soal Pesantren Terafiliasi Gerakan TerorismeÂ
Boy pun mengakui penyebutan kata pondok pesantren terafiliasi terorisme itu kurang tepat, dan melukai perasaan umat Islam. Ia mengatakan, penggunaan frasa "pondok pesantren" atau pun kata "terafiliasi" itu tidak dimaksudkan untuk menggeneralisasi.
Boy mengatakan, yang terafiliasi dengan teorisme adalah individu, bukan lembaga. Dari individu yang ada di 198 pesantren, sebelas di antaranya terafiliasi dengan Jemaah Anshorul Khilafah (JAK), 68 terafiliasi Jemaah Islamiyah (JI) dan 119 terafiliasi dengan Anshorut Daulah atau simpatisan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
BACA JUGA: BNPT Beber Data Afiliasi Pesantren dengan Teroris, Kemenag Ungkap Fakta Berbeda
Sebelumnya, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla dibuat kesal oleh rencana polisi untuk mendata masjid-masjid di seluruh Indonesia untuk mencegah kemunculan gerakan radikalisme.
Polisi berasumsi bahwa gerakan radikalisme banyak muncul dari masjid melalui pengkaderan dan baiat.
JK memprotes cara pandang polisi itu. Menurut JK cara pandang seperti itu keliru. JK mengatakan tidak pernah ada masjid yang menjadi sumber gerakan radikal seperti terorisme. Para ustaz yang memberi ceramah di masjid tidak memprovokasi jemaah untuk melawan pemerintah.
Para ustaz itu menjalankan fungsi dakwah ‘’amar ma’ruf nahi munkar’’, memerintah kepada kebaikan dan mencegah keburukan.
Dua kasus itu menunjukkan bahwa cara pandang otoritas keamanan Indonesia terhadap masalah terorisme masih sangat jadul. Melihat masjid dan pesantren sebagai sumber terorisme adalah cara pandang ‘’old-fashioned’’ yang sudah ketinggalan zaman.
Cara pandang semacam itu diterapkan oleh Soeharto sepanjang masa kekuasaan Orde Baru. Ketika itu Soeharto mengontrol masjid dan pesantren untuk mencegah radikalisme dan terorisme.
Soeharto, melalui gerakan intelijen yang dipimpin oleh Ali Moertopo, menciptakan organisasi-organisasi ‘’psedo-terorisme’’ untuk menjaring orang-orang yang dicurigai.
Organisasi Komando Jihad disebut-sebut sebagai organisasi jaringan teroris yang bakal melakukan makar terhadap kekuasaan Soeharto. Kenyataannya organisasi itu adalah buatan intelijen yang menyusup ke dalam gerakan para aktivis Islam untuk melakukan penghancuran dari dalam.
Setelah isu Komando Jihad meluas pada 1971 operasi penangkapan besar-besaran pun dilakukan. Siapa saja yang dicurigai sebagai bagian dari gerakan Islam yang kritis akan diringkus dengan berbagai macam rekayasa.
H. Ismail Pranoto--terkenal dengan sebutan Hispran--yang dianggap sebagai tokoh sentral Komando Jihad, mempunyai hubungan yang erat dengan intelijen dan Ali Moertopo.
Pola-pola operasi penyusupan semacam ini masih lazim dilakukan sebagai bagian dari operasi intelijen. Namun, dibanding dengan era 1970 bentuk gerakan radikal dan terorisme sudah berubah sangat jauh.
Pola-pola rekrutmen gerakan radikal sudah jauh lebih canggih dan sistematis. Karena itu, cara-cara pendataan seperti yang dikakukan BNPT maupun polisi sama saja dengan menjaring angin.
BNPT menyebut ada afiliasi orang-orang radikal itu dengan organisasi teror internasional seperti ISIS, Alqaidah, dan semua organisasi sempalan yang banyak bermunculan.
Organisasi-organisasi ini melakukan rekrutmen dengan mempergunakan jaringan digital yang canggih dan sudah meninggalkan pola rekrutmen jaringan konvensional.
Dunia digital dan media sosial menjadi wahana sosialisasi gerakan yang efektif dan tidak mudah dipatahkan. Para aktivis jihadis memanfaatkan dan menyusup ke jaringan digital tanpa bisa diendus. Para jihadis memanfaatkan algoritma untuk menyusup ke jejaring YouTube, Facebook, Instagram, dan semua jaringan media sosial lain.
Dengan kecanggihan permainan algoritma para jihadis bisa masuk ke jejaring media sosial dengan aman. Iklan produk-produk transnasional seperti McDonald, KFC, Coca-Cola, Pepsi, dan banyak lainnya bisa muncul dalam video tutorial pembuatan bom dari kelompok ISIS, atau kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Alqaidah.
Produk-produk transnasional itu juga bisa muncul sebagai iklan pada video-video rekrutmen ISIS. Para pemasang iklan itu membayar mahal kepada YouTube, tetapi mereka tidak bisa menentukan placement-nya. Penempatan iklan itu sepenuhnya menjadi kerja algoritma.
Di mana pun dan apa pun produknya pasti akan dikejar oleh algoritma selama konten itu dilihat atau dilanggani banyak orang.
Banyak yang tidak menyadari hal itu. Banyak yang mengira bahwa konten-konten bermateri tutorial dan workshop teror itu ‘’disponsori’’ oleh produk-produk favorit anak-anak milenial.
Dari situlah pola rekrutmen berawal, sampai kemudian anak-anak muda itu tertarik lebih jauh dan mengisi formulir pendaftaran.
Perusahaan Uber dikecam luas di Australia ketika pada 2015 menaikkan tarif berkali-kali lipat ketika terjadi pemboman di Martin Place, Sydney. Pada sebuah siang yang sibuk di salah satu pusat perbelanjaan paling ramai di Australia, sebuah bom meledak di sebuah gerai.
Begitu orang berhamburan melarikan diri mencari selamat, baik dengan lari maupun dengan mobil, menjauhi lokasi ledakan, maka algoritma secara otomatis akan bekerja dan menaikkan tarif taksi online secara otomatis. Makin banyak langkah kaki dan gerakan mobil menjauh dari titik itu, makin tinggi tarif Uber saat itu.
Dari insiden ini seharian Uber mendapatkan keuntungan dari tarif yang meroket. Publik dan netizen berang oleh kejadian ini dan menuduh Uber telah mengeksploitasi peristiwa teror itu untuk kepentingan menangguk untung.
Uber menjelaskan bahwa pihaknya tidak berdaya mengendalikan kerja algoritma, dan meminta maaf atas kejadian itu dengan memberi kompensasi layanan gratis bagi orang-orang yang kena getok harga mahal.
Perusahaan-perusahaan multinasional itu tidak berdaya menghadapi algoritma, demikian pula para polisi siber yang berpatroli untuk mengecek gerakan para jihadis. Anak-anak milenial itu terlalu canggih untuk bisa dideteksi.
Sebuah aplikasi yang populer di kalangan anak-anak SMA bisa menyembunyikan foto-foto dan video porno, termasuk sex chatting, dan menyamarkannya di balik aplikasi mesin hitung.
Ketika guru kelas memeriksa gadget muridnya yang terlihat adalah aplikasi semacam kalkulator. Ketika seorang anak berada di kelas dan memainkan aplikasinya ia terlihat seperti sedang memainkan angka-angka, padahal ia sedang melakukan chatting porno.
Kolomnis The New York Times, Thomas L. Friedman menyebut era sekarang ini sebagai era akselerasi yang serbacepat, yang ditandai dengan beroperasinya supernova di jagat digital. Konektivitas menjadi begitu cepat, dan kompleksitas menjadi begitu sederhana. Ratusan aplikasi bisa bergabung menjadi satu memunculkan aplikasi baru yang cepat, sederhana, dan gratis.
Di zaman purba, satu orang hanya bisa membunuh satu orang, seperti yang terjadi antara Kabil dan Habil. Lalu setelah ada senjata, satu orang bisa membunuh lebih dari satu orang.
Lalu satu orang bisa membunuh puluhan orang. Lalu satu orang bisa membunuh 140 ribu orang dengan bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki pada 1945. Jumlah itu hampir sepauoh penduduk Nagasaki yang jumlahnya 350 ribu orang.
Sekarang di era digital ini satu orang bisa membunuh seluruh penduduk bumi dengan penguasaan nuklir dan teknologi digital. Tidak butuh waktu lama para teroris—dengan dalih Islam maupun tidak—bisa menguasai teknologi cetak 3D dan menciptakan senjata nuklir eksplosif yang bisa diledakkan melalui handphone.
Era ketika para teroris memasang bom di badannya dan menabrak kerumunan orang sudah lewat. Ancaman teror sekarang ini jauh lebih canggih dan sulit dideteksi. Fenomena ini harus dipahami oleh BNPT dan polisi Indonesia.
Mengubek-ubek pesantren dan masjid untuk mencari sumber terorisme pasti akan menjadi bahan ketawaan anak-anak milenial di seluruh dunia. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror