jpnn.com - JAKARTA - Maraknya penolakan atas kebijakan Pertamina menaikkan harga jual LPG (elpiji) kemasan 12 kilogram diharapkan bukan hanya berakhir dengan penurunan besarnya kenaikan. Sebab, penolakan atas kenaikan itu perlu dijadikan pijakan tentang perlunya Indonesia membenahi kebijakan gas, termasuk tentang negosiasi ulang kontrak penambangan gas.
Menurut Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar, pemerintah harus secepatnya menyelesaikan renegosiasi kontrak di bidang pertambangan yang merugikan negara dan rakyat. Alasannya, gas sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. "Jangan sampai ada kelangkaan gas sedangkan produksi gas kita melimpah," katanya di Jakarta, Senin (6/1).
BACA JUGA: CPNS Mundur Sebelum Pemberkasan Tak Kena Denda
Karenanya, Marwan mendesak dilakukannya audit untuk mengetahui jumlah produksi gas dan kebutuhan riil di dalam negeri. "Dan itu perlu dilakukan oleh lembaga audit independen," ulasnya.
Marwan menambahkan, logikanya Indonesia dengan predikat sebagai negera penghasil gas terbesar di dunia, maka harga elpiji di dalam negeri bisa murah. Anehnya, kata Marwan, harga gas di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
BACA JUGA: Paparkan Visi-Misi, Dahlan Fokus di Sektor Energi
Politisi muda PKB itupun menyebut sejumlah ladang gas berlimpah seperti Tangguh di Papua Barat, Natuna dan Blok Masela di Maluku. Belum lagi ada West Madura Offshore daan Arun. "Seharusnya Indonesia lebih murah karena dipasok dari dalam negeri," pungkasnya.(ara/jpnn)
BACA JUGA: Delapan Jam Diperiksa, Miranda Dicecar Soal Proses FPJP
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berharap Koalisi Golkar-DPIP Banten Tetap Jalan
Redaktur : Tim Redaksi