Kegigihan Edi Priyanto, Demi Cita-Cita Setiap Hari Tempuh 12 Km dengan Kursi Roda

Selalu Bangun Jam 3 Pagi, Sampai Sekolah Paling Awal

Senin, 24 November 2014 – 17:07 WIB
TETAP SEMANGAT: Edi Priyanto, setiap hari menempuh 12 Km PP dengan kursi roda dari rumah ke sekolahnya di SMPN 2 Sewon. Ia ingin bersekolah setidaknya sampai SMA. Foto: Heri Susanto/radar Jogja/JPNN

jpnn.com - Keterbatasan fisik bukanlah menjadi penghalang meraih cita-cita. Jika punya semangat, pasti ada jalan untuk menggapai harapan itu. Inilah prinsip seorang bocah difabel, Edi Priyanto, yang gigih demi bisa bersekolah.

HERI SUSANTO, Bantul

BACA JUGA: Serunya Belajar di Sekolah Terbaik AS

JARUM jam baru menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Belum begitu banyak orang yang bangun dari istirahat malamnya. Apalagi untuk anak yang berusia belasan tahun, biasanya selimut lengkap dengan bantal dan guling masih melekat di tubuh.

Tapi, itu tak berlaku bagi Edi Priyanto, pelajar difabel yang mengandalkan kursi roda sebagai penopang aktivitasnya. Saat ayam jago mengawali kokok pertama, Edy sudah memulai aktivitasnya. Ia memulai hari dengan membasuh muka dengan dinginnya air.

BACA JUGA: Peraih Adhi Makayasa Letda Laut (P) Egistya Pranda Berbagi Kisah

Ia lantas mengambil alat wudhu  untuk menunaikan ibadah sunah. Ini ia lakukan sudah sejak SD, dengan dibantu sang ibu yang selalu membangunkan anak semata wayangnya itu  untuk berdoa kepada Sang Khalik.

“Dulu sering dibangunkan. Sekarang sudah bangun sendiri,” jelas Edi, kala ditemui di ruang kelasnya, SMPN 2 Sewon, usai mengikuti les, akhir pekan lalu.

BACA JUGA: Mengenal Abdul Manan, Presiden Pertama Suku Bajo Indonesia

Selesai menjalani ritual sehari-hari itu, Edi kemudian mempersiapkan buku pelajarannya. Lulusan SD N Wijirejo dengan nilai ujian nasional (Unas) rata-rata tujuh itu kemudian belajar. Jika ada pekerjaan rumah, ia kerjakan. ”Kalau tidak ya mengulangi pelajaran yang sudah diajarkan,” tuturnya polos

Setelah persiapan ia rasa sudah cukup, Edi melanjutkan aktivitas awal itu dengan mandi dengan suhu air yang tentu saja masih cukup dingin. Tapi, bagi Edi air dingin malah menjadikannya bersemangat segera menempuh perjalanan sekitar enam kilometer ke sekolah. “Salat subuh, sarapan, baru jam lima berangkat ke sekolah,” tutur anak yatim sejak kecil ini.

Keluar dari pintu rumah, matahari memang masih belum be-gitu terang menunjukkan sinarnya. Edi sudah berada di atas kursi rodanya untuk melewati jalan kampung dan aspal Jalan Parangtritis menuju sekolah.

Pergi dan pulang (PP) sekolah dengan jarak 12 Km, Edi mengaku hanya ditemani kursi rodanya yang sudah mulai rusak. Ini ia lakukan dalam segala cuaca. Baik kala cerah maupun hujan, Edi terbiasa menggapai cita-citanya seorang diri.

Jika hujan, ia hanya mengandalkan jas hujan. “Dulu pas SD juga sering sendiri,” kenang bocah kelahiran 30 Oktober 1997 ini.

Saat masih menempuh pen-didikan dasar, jarak tempuhnya malah lebih jauh. Sekitar 12 Km. Sebab, rumahnya berada di Manggung, Sumberagung, Jetis, sedangkan sekolahnya di SD N Wijirejo, Palbapang, Bantul. “Kalau ibu lagi tidak bisa mengantar, biasanya sendiri,” ujar pelajar kelas VII ini.

Kebiasaan bangun pagi sejak masih di SD inilah yang masih terus dilakukan Edi. Bahkan karena kebiasan ini, Edi mengalahkan teman-temannya yang diantarkan sepeda motor atau naik sepeda. Edi sampai di sekolah paling awal. ”Sampai sekolah biasanya jam enam kurang lima menit,” terangnya.

Edi mengaku menolak diantarkan sang ibu dengan sepeda ke sekolah. Ia memilih menggunakan kedua tangannya untuk memutar kursi rodanya menempuh 5 Km atau 55 menit ke sekolah. ”Biar melatih mandiri,” jawabnya singkat.

Semangat Edi tak hanya karena ingin mandiri. Perjuangannya untuk bisa bersekolah hanya ingin kelak ia bisa membantu sang ibu yang kesehariannya sebagai pengayam kepang. Ia tak ingin melihat ibunya masih bekerja keras hanya untuk dirinya. ”Pengin kerja dan bisa bantu ibu,” tuturnya.

Edi menjelaskan, dengan kon-disinya yang mengalami osteogenesis imperfekta atau penya-kit tulang rapuh sejak kecil, bukanlah penghalang. Ia berkeinginan akan melanjutkan stu-dinya sampai bangku SMA. Kemudian bekerja untuk mem-bantu menghidupi keluarga.

Keterbatasan fisik dan kursi roda yang mulai banyak berka-rat karena tersiram air hujan itu, tetap tak membuat dirinya mengeluh. Ia terus bertekad akan berusaha untuk menggapai cita-citanya bisa membantu sang ibu. (*/laz/ong/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler