DPD Juga Tolak RUU Pornografi

Rabu, 15 Oktober 2008 – 16:22 WIB
JAKARTA - Sejumlah anggota DPD mengajukan keberatan atas rencana pengesahan RUU PornografiPernyataan keberatan tersebut telah diteken anggota DPD asal Sulawesi Tenggara Laode Ida mewakili para penolak.

"kami sudah sampaikan keberatan tersebut kepada Balkan Kaplale, selaku Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," kata anggota DPD I Wayan Sudirta.

Selain Laode, yang meneken pernyataan antara lain keempat anggota DPD asal Bali (I Wayan Sudirta, Ida Ayu Agung Mas, Nyoman Rudana, Ida Bagus Gede Agastia), Muspani (Bengkulu), Benyamin Bura (Sulawesi Selatan), Tonny Tesar (Papua), Lundu Panjaitan (Sumatera Utara).

“Substansi yang terkandung dalam pasal dan ayat RUU Pornografi, khususnya defenisi pornografi, bertentangan dengan realitas masyarakat yang memiliki kebhinnekaan,” tegasnya, mengutip satu dari enam butir pernyataannya tertanggal 18 September 2008 itu.

Jika substansinya dipaksakan justru mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas yang bukan mustahil memicu sentimen disintegrasi bangsa.

“Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun

BACA JUGA: Pencatatan Aset Daerah Memprihatinkan

Karenanya, siapa pun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia,” tegas para anggota DPD
Karenanya, selain tidak diperlukan RUU Pornografi sangat berbahaya karena atas nama membangun moralitas masyarakat menjadikannya sebagai hukum positif yang mengikat.

“RUU tersebut sangat berbahaya karena negara telah memasuki dan mengintervensi ruang privat warganya,” tegas I Wayan Sudirta.

Selama ini, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat prinsip dan ketentuan hukum materi kesusilaan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU 32/2002 tentang Penyiaran, UU 40/1999 tentang Pers, UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Dalam proses pembahasan RUU Pornografi, Pansus RUU Pornografi DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara hukum cacat karena melanggar prinsip asas-asas umum tata pemerintahan yang baik (good governance),” tegas para anggota DPD.

Asas kenusantaraan seperti diatur Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak dipenuhi karena masyarakat Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua menolak RUU ini.

Sebagaimana yang sudah diberitan, pro-kontra dimulai sejak bernama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang ditetapkan Rapat Paripurna DPR tanggal 23 September tahun 2003 sebagai usul inisiatif

BACA JUGA: Sjahrial Oesman Lempar Tanggung Jawab

RUU dimasukkan dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) diikuti pembentukan Pansus RUU APP tanggal 27 September 2005.

Perkembangannya, istilah dan ketentuan “pornoaksi” dihilangkan menjadi RUU Pornografi diikuti perubahan nama Pansus menjadi Pansus RUU Pornografi
Surat Presiden diajukan ke DPR tanggal 20 September 2007 diikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pertama antara Pansus RUU Pornografi dengan Pemerintah tanggal 8 November 2007

BACA JUGA: Gemas Laporkan Bupati Zulkifli ke KPK

Tim Perumus Pansus RUU Pornografi merampungkan naskah akademik dan RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007.

Setelah lama menghilang sebagai isu publik, tiba-tiba RUU Pornografi siap disahkan Rapat Paripurna DPR tanggal 23 September 2008 laluNamun, rencana dibatalkan lantaran masih ditolak beberapa kelompok masyarakat.

Tanggal 8 Oktober 2008, Ketua DPR Agung Laksono meminta Pansus RUU Pornografi melakukan uji publik kembali kepada kelompok masyarakat yang menolaknya seperti di Denpasar, Manado, Kupang, dan JayapuraTargetnya sebagai pembanding untuk memperoleh keseimbangan. (Fas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KNPI Kehilangan Jati Diri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler