DPD Tegas Tolak Gubernur Dipilih DPRD

Jumat, 15 Januari 2010 – 19:06 WIB

JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatera Barat (Sumbar) Alirman Sori, mencurigai wacana pemilihan gubernur langsung oleh rakyat diganti dengan pemilihan oleh DPRD, sebagai bentuk upaya merampok hak-hak politik daerah.  Wacana gubernur ditunjuk langsung oleh pusat juga upaya pusat untuk mengambil hak politik daerah.

“DPD sendiri konsistenPemilihan gubernur tetap langsung oleh rakyat

BACA JUGA: Daerah Diminta Siapkan Desa Wisata

Kalau dipilih oleh DPRD atau ditunjuk langsung, kami mencurigai itu cara lain merampok hak-hak politik daerah," tegas Alirman Sori, bertema 'Pro-Kontra Mekanisme Pemilihan Gubernur' di gedung DPD, Senayan Jakarta, Jumat (5/1)
Pembicara lain di diskusi itu Ryaas Rasyid dan Hadar Navis Gumay

Kalau alasannya penghematan biaya, lanjut Alirman, sekalian saja anggota DPRD diangkat langsung oleh Presiden saja

BACA JUGA: KPK Temukan Penyimpangan DAK di 39 Daerah

Tetapi suara-suara daerah menghendaki pemilihan gubernur tetap langsung oleh rakyat
Pro-kontra ini harus dipahami dan disikapi secara sungguh-sungguh, baik oleh politikus maupun pakar hukum tata negara.

Ditegaskannya, rakyat memilih secara langsung pemimpinnya adalah cita-cita luhur yang ditunggu-tunggu sekian puluh tahun

BACA JUGA: SBY : Jangan Persulit Rakyat urus Sertifikat

Mengembalikan mekanisme pemilihan gubernur kepada DPRD atau ditunjuk oleh Presiden merupakan kemunduran demokrasi“Pemilihan langsung oleh rakyat sebenarnya cita-cita luhur rakyat, yang ditunggu-tunggu sekian puluh tahun, yaitu bagaimana rakyat berpartisipasi langsung memilih pemimpinnyaKalau mekanismenya dikembalikan, in kemunduran kontestasi yang luar biasa,” tegasnya, sembari menambahkan, “kalau mau jujur, rakyat paling siap berdemokrasiYang paling tidak siap adalah elitnya.”

Ia meminta perubahan mekanisme pemilihannya tidak disimpulkan terburu-buru tanpa kajian objektifPro-kontra kelemahan dan kelebihannya harus dimatangkan“Apalagi pemilihan gubernur secara langsung kan baru lima tahun berjalan, satu putaran pemilihanFormatnya yang harus ditata lebih baik.”

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ryaas RasyidPengembalian mekanisme pemilihan gubernur kepada DPRD atau ditunjuk oleh Presiden tidak sekadar persoalan menghemat biaya tetapi bagaimana mengubah titik berat otonomi daerah yang kini di kabupaten/kota menjadi di provinsiTitik berat di provinsi akan mempengaruhi mekanisme pemilihan gubernurnya“Terlalu naif kalau alasannya hanya menghemat biayaKita mempersoalkan perbaikan sistem,” kata mantan Menteri Negara Otonomi Daerah itu.

Ryaas menyebut beberapa alasan perbaikan sistem tersebutPertama, UUD 1945 tidak mengharuskan mekanismenya dipilih langsung oleh rakyat atau DPRD dan ditunjuk oleh PresidenRumusan gubernur dipilih langsung oleh rakyat merupakan tafsiran Pemerintah ketika itu yang berbeda dengan presiden dipilih langsung oleh rakyat“UUD 1945 tidak mewajibkan,” katanya.

Jika gubernur adalah wakil pusat di daerah yang berarti mekanismenya dipilih oleh DPRD atau ditunjuk oleh Presiden maka posisinya harus kuat di provinsi yang bersangkutan“Kekuasaannya diperbesar sebagai koordinator instansi pusat di daerah," jelas Ryaas.

Kedua, otonomi daerah dititikberatkan di kabupaten/kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahSejak dulu atau sebelum otonomi daerah diberlakukan tahun 1999, UU pemerintahan daerah selalu mengatur titik berat otonomi daerah di kabupaten/kotaKenyataannya, terjadi pengakuan dua tingkatan daerah otonom tetapi tanpa kejelasan titik berat otonomi daerah“Kalau ditanya, saya lebih senang kalau titik beratnya di provinsiDi mana-mana tidak ada dua level otonomi daerah yang sama porsinya, mesti salah satunya lebih besar.”

Titik berat di provinsi justru menguntungkan karena memudahkan konsolidasi sumberdaya lintas daerah dan pengelolaannya bisa dioptimalkanPersoalannya, dianggap federalisme jika titik beratnya di provinsi“Federalisme jadi kata kotor sejak duluJadi, tidak mungkin titik berat di provinsiKita traumatik.”

Padahal, DKI Jakarta yang berstatus khusus menerapkan titik berat otonomi daerah di provinsi, gubernurnya pun dipilih langsung oleh rakyatPenerapannya serupa dengan Papua, Papua Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang juga berstatus khusus.

Berbeda dengan provinsi yang tidak berstatus khusus tetapi menerapkan titik berat otonomi daerah di kabupaten/kota, gubernurnya pun dipilih langsung oleh rakyatKarena kekuasaannya yang kecil, gubernur di sana lebih banyak mengerjakan tugas-tugas limpahan pusat“Itulah penyebab bupati/walikota enggan diundang gubernur.”

Sementara Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay, berpendapat mekanisme pemilihan kepala kepala daerah secara langsung justru mengakomodir kebutuhan otonomi daerah“Cerminan kebutuhan daerah otonom harus berangkat dari aspirasi masyarakatnyaKarenanya, tepat jika hak masyarakat setempat memilih pemimpinnya secara langsung.”

Dia juga menegaskan sependapat dengan Alirman"Gagasan mengubah mekanisme pemilihan gubernur harus dianalisisMisalnya, bagaimana prinsip checks and balances antara gubernur dan DPRD provinsi dan apakah alasannya adalah menghemat biayaPenghematan bisa dilakukan tanpa mengubah mekanisme pemilihannya,” katanya.

Mengenai titik berat otonomi daerah, Hadar mengatakan, “Harus ditinjau bangunan konstitusi kalau kita menekankan otonomi daerah di kabupaten/kotaSekarang ini, sama level provinsi dan kabupaten/kota, hanya disebut provinsi dan kabupaten/kota adalah daerah otonom.” (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Atasi Sampah, PU Mantapkan 3R


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler