DPR Bersiasat Mengakali Putusan MK

Minggu, 01 Juli 2018 – 19:35 WIB
Ketua DPR Bambang Soesatyo. Foto: dokumen JPNN

jpnn.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memang telah membatalkan pasal kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memanggil paksa seseorang atau kelompok. Kewenangan DPR memanggil paksa yang diatur dalam UU No 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) telah dianulir.

Namun, DPR RI ogah pesimistis. Mereka akan mencari siasat agar dapat mendatangkan pihak-pihak yang perlu dimintai keterangan yang bermasalah dengan para wakil rakyat.

BACA JUGA: DPR: Jokowi Belum Membuat Perubahan di Sektor Pertanian

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, DPR tidak lagi memiliki alat paksa untuk memanggil pihak-pihak dalam rangka pengawasan sehingga lembaganya harus melobi menteri hingga presiden.

Namun, DPR akan menjalankan putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU MD3 terkait dengan pemanggilan paksa dan penyanderaan oleh DPR melalui MKD."Bagi DPR sesuai komitmen dari awal, apa pun putusan MK pasti akan kami hormati dan laksanakan," ujarnya kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jumat (29/6).

BACA JUGA: Anies Pastikan Tunduk Putusan MK soal Legalitas Ojol

Politisi Partai Golkar itu mengutarakan, institusinya akan menyiasati upaya pemanggilan pihak-pihak yang perlu dimintai keterangannya, dalam mekanisme pengawasan pascaputusan MK.

"Kami akan berpikir bagaimana menyiasati manakala ada para pihak, termasuk pemerintah, yang diundang DPR untuk dimintai keterangan, namun berkali-kali tidak hadir, dan tentu kami tidak bisa lagi memanggil paksa," kata Bamsoet, panggilan akrab Bambang.

BACA JUGA: Kewenangan Panggil Paksa Hilang, DPR Hormati MK

Menurut dia, harus ada cara-cara yang lebih elegan agar keinginan rakyat untuk meminta penjelasan kepada pemerintah melalui DPR bisa dilaksanakan. Menyiasati hal tersebut bisa saja pemanggilan para menteri melalui presiden dan wakil presiden agar hadir ketika dipanggil DPR dan tidak mangkir.

"Karena ada beberapa kasus dalam pembahasan UU maupun dalam pengawasan, para menteri dan pejabat negara sulit dihadirkan. Misalnya dalam UU Karantina Kesehatan, sampai sekarang kami belum berhasil hadirkan dirjen karena berbagai alasan," tukasnya.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai, putusan MK yang membatalkan Pasal 73 UU MD3 terkait pemanggilan paksa telah melemahkan salah satu fungsi dan kewenangan parlemen.

"Sekarang terbayang bagaimana kalau orang tidak mau datang diperiksa DPR? Apa instrumen yang akan dipakai untuk mengawasi negara? Fungsi pengawasan menjadi lemah," kata Fahri dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Kamis (29/6).

Dia memaparkan, Pasal 73 UU MD3 mengatur tentang pemanggilan paksa melalui kepolisian kepada orang, kelompok, maupun badan hukum yang menghina atau merendahkan kehormatan DPR. Pasal itu digugat bersama pasal lainnya karena dianggap merugikan dan mengancam kebebasan rakyat untuk berpendapat.

Dengan putusan itu, Fahri meyakini, MK masih menganggap UUD 1945 terkonsentrasi atau menitikberatkan pada lembaga eksekutif. Padahal, sejak amendemen keempat telah dirumuskan mekanisme check and balances. "Maka, kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekuensinya seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi," katanya.

Sedangkan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon akan mempelajari putusan-putusan tersebut. Pimpinan DPR dan MKD akan membahas putusan tersebut untuk kemudian menyesuaikan aturannya.

"Saya kira tentu kita harus menyesuaikan. Meskipun kadang-kadang kita mengkritisi keputusan MK kadang-kadang tidak konsisten. Misalnya terkait napi koruptor tempo hari terhadap legislatif. Kita akan pelajari dan kita selaraskan sehingga ada aturan standar baku, pasti, terkait relasi DPR dengan anggota maupun hal terkait," ujar Fadli kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, (28/6).

Dia mengatakan, keputusan MK yang mengabulkan gugatan tersebut merupakan hal yang wajar. Diyakini, MK memiliki pertimbangan sebagai dasar untuk mengabulkan gugatan.

"Saya pikir ketika itu pun ada pro dan kontra, ada setuju ada yang tidak setuju saya kira hal biasa. Tapi kita harus kembali pada konstitusi kita. Di sinilah keputusan MK itu harus kita lihat, kalau memang itu selaras dengan nafas konstitusi, ya kita harus menyelaraskan dengan konstitusi itu," katanya.

Hanya, Fadli berharap, ada kesamaan aturan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Kesamaan kedudukan di depan hukum harus diterapkan pada semua elemen tanpa adanya pandang bulu.

Ketua MKD DPR RI Sufmi Dasco Ahmad ikut menanggapi soal hak imunitas anggota dewan yang pasalnya juga turut digugat di MK. "Itu perlu untuk menghindari juga kriminalisasi anggota dewan. Ini kan jabatan politis, anggota dewan juga kadang-kadang dikriminalisasi. Laporan ini itu, tapi kadang-kadang tidak benar," kata Dasco dihubungi terpisah.

Terpisah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meminta DPR legawa dan menerima putusan MK yang kemarin menganulir beberapa pasal kontroversial dalam UU MD3.

’’Kalau sudah diputuskan oleh MK dan bersifat mengikat, kita sebagai warga negara harus menaatinya, saya kira teman-teman di DPR RI juga paham,” jelas Tjahjo, Jumat (29/6).

Sebelumnya, MKD bisa melaporkan orang atau bahkan memanggil paksa, kelompok, badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR tinggal kenangan. Pasalnya, MK telah membatalkan kewenangan yang diatur dalam UU MD3.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 122 huruf i UU MD3. Pasal tersebut digugat lantaran dinilai berpotensi membatasi kebebasan berpendapat masyarakat.

Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana amar putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018.

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ungkap Anwar Usman, ketua MK, saat membacakan putusan tersebut, Kamis (28/6). (aen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... MK Tolak Uji Materi Pihak yang Ingin JK Jadi Cawapres Lagi


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler