DPR dan Pemerintah Dituding Langgar Konstitusi

Senin, 07 September 2009 – 19:40 WIB
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari Koalisi Anti Utang, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Satu Dunia, Serikat Pekerja PLN dan Serikat Petani Indonesia, menuding DPR dan pemerintah secara bersama telah melanggar konstitusiTudingan itu muncul karena DPR dan pemerintah disebut telah menyepakati akan mengesahkan Rancangan Undang Undang Ketenagalistrikan (RUUK) sebagai pengganti UU No 15 Tahun 1985, yang dipandang bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 1945.

"Kami menyayangkan jika kesepakatan ini berlanjut, dengan pengesahan RUUK melalui rapat paripurna DPR

BACA JUGA: Tiga Kali Berkasus, Depkes Diawasi

Sebab pengesahaan itu merupakan praktek pelanggaran konstitusi yang amat serius di akhir masa jabatannya," ujar juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil, Dani Setiawan, di Jakarta, Senin (7/9).

Dani menjelaskan, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi 21 Desember 2004 dengan jelas telah menyatakan bahwa UU No
20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3) dan (4) serta penjelasan Pasal 33 sebelum diamandemen.

"Dasar hukum inilah yang membuat segala hal terkait kebijakan perundang-undangan atau kebijakan di bawahnya, jika menyangkut usaha untuk melanjutkan semangat me-liberalisasi, memprivatisasi atau mengkomersialisasi sektor ketenagalistrikan, harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.

"Dalam RUU Ketenagalistrikan yang diajukan pemerintah sejak tahun 2006 lalu, sangat jelas bahwa pemerintah masih mempertahankan semangat yang terkandung dalam UU No 20 tahun 2002

BACA JUGA: Tommy: Golkar Harus Sikapi Krisis Bangsa

Dalam konsideran untuk menimbang draft Rancangan RUUK, disebutkan bahwa perubahan UUK didasari adanya ketidaksesuaian UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan kehidupan masyarakat," ujar Dani.

Jika menggunakan logika berpikir yang selama ini dianut pemerintah, menurut Dani pula, sangat mudah memahami bahwa yang dimaksud adalah tuntutan untuk melaksanakan agenda-agenda liberalisasi ekonomi, sesuai dengan arahan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi hutang (IMF, World Bank maupun ADB, Red), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dengan WTO, serta perjanjian perdagangan bebas kawasan (Free Trade Agreement)
"Dalam hal ini, sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor strategis yang masih di bawah kendali negara berdasarkan UU," ungkapnya pula.

Dalam hal ini, Koalisi Masyarakat Sipil meyakini bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia berpotensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia

BACA JUGA: MK Hentikan Gugatan Pemilu

"Kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem 'unbundling vertikal' yang tercantum dalam Pasal 10, 11, 12 dan 13 RUUK yang meliputi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan, merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasarBerarti pemerintah tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang belum mampu menikmati listrik," tegas Dani.

Demikian juga halnya, lanjut Dani, dengan agenda 'unbundling horizontal' yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3), yang diberlakukan dengan pemberian kewenangan pengelolaan kelistrikan kepada pemerintah daerah (Pemda)"Maka dipastikan bahwa Pemda akan mendapatkan kesulitan dalam pengelolaan kelistrikan tersebutTerkecuali bagi sebagian kecil pemerintah daerah yang mampu," imbuhnya.

"Karena itu, kami mendesak kepada seluruh anggota DPR, untuk menolak pengesahan RUU Ketenagalistrikan, guna mencegah terlibatnya lembaga tinggi negara dalam praktek pelanggaran konstitusi yang serius dengan mengesahkan UU tersebut," saran Dani pula memberikan himbauan(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... FSP-BUMN Strategis Tolak RUU Kelistrikan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler