DPR dan Pemerintah Sepakati RUU KUHP untuk Disahkan

Rabu, 18 September 2019 – 19:32 WIB
Penandatanganan persetujuan RUU KUHP oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly (tengah) di Senayan Jakarta. Foto : ANTARA/Abdu Faisal

jpnn.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyetujui Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR.

Persetujuan itu diambil dalam rapat antara Komisi III DPR yang dipimpin Aziz Syamsuddin dan pemerintah yang diwakili Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, Rabu (18/9), di Kompleks Parlemen, Jakarta.

BACA JUGA: Hindari Tabrakan RUU PKS dan RUU KUHP

Aziz menyatakan bahwa dalam pandangannya, semua fraksi menyatakan setuju RUU KUHP dibawa tingkat II atau Rapat Paripurna DPR.

"Jadi, seluruh fraksi menyatakan setuju untuk ditindaklanjuti dalam pembahasan tingkat dua (paripurna)," kata Aziz.

BACA JUGA: ICW Catat 3 Hal di RUU KUHP Bahayakan Pemberantasan Korupsi

Ketua Panja RUU KUHP Mulfachri Harahap menyatakan isi dan substansi RUU KUHP yang sangat fundamental yang memerlukan perhatian khusus.

Karena menyangkut prinsip dan asas hukum pidana nasional yang berkaitan dengan HAM. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan pembahasan RUU KUHP memang bukan sesuatu yang mudah.

BACA JUGA: Waspada RUU KUHP Melemahkan Pemberantasan Korupsi

"Karena menjadi bagian dari reformasi terhadap KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum pidana di Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, RUU KUHP ini merupakan upaya rekodifikasi terhadap seluruh ketentuan pidana yang ada di Indonesia dan menjawab perkembangan di masyarakat saat ini.

Dia menuturkan beberapa isu krusial yang berkembang dalam pembahasan RUU KUHP antara lain penerapan asas legalitas pasif.

Berdasar asas tersebut hukum positif yang tertulis maupun tidak dapat diterapkan di Indonesia supaya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta asas-asas hukum lainnya.

"Kedua, perluasan pertanggungjawaban pidana yaitu korporasi. Kini bisa menjadi subjek hukum pidana sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum," jelasnya.

Ketiga, ujar dia, penerapan doktrin ultimum remedium. Menurut dia, sistem pemidanaan diatur dan dilaksanakan berdasarkan pada ultimum remedium dengan tujuan pemidanaan tidak menderitakan tetapi memasyarakatkan dan pembinaan.

Tindak pidana diatur secara khusus dengan membedakan sistem pemidanaan dan tindakan. "Sistem pemidanaan untuk orang dewasa dan jenis-jenis pemidanaan juga diperluas sehingga tidak berorientasi pada pidana penjara," ungkapnya.

Keempat soal pidana mati. Dia menuturkan pidana mati merupakan pidana yang sifatnya khusus yang selalu diancam secara alternatif.

Dia menambahkan alternatif harus diancamkan dengan pidana seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Selain itu harus diatur dengan syarat-syarat atau kriteria khusus dalam penjatuhan pidana mati," jelasnya.

Kelima, jelas dia, RUU KUHP merupakan bagian dari rekodifikasi dan pengaturan-pengaturan terhadap berbagai jenis tindak pidana yang telah ada di KUHP dan UU terkait lainnya. "RUU KUHP telah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat modern," jelasnya.

Keenam, lanjut dia, pengaturan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP diatur dengan kriteria-kriteria yang jelas dan pasti untuk merespons perkembangan teknologi dan komunikasi yang telah memengaruhi kejahatan yang lebih luas, lintas batas dan terorganisir.

Selai itu, beberapa isu krusial yang alot selain disepakati dan menjadi fokus pembahasan dalam rapat panja.

Yakni hukum yang hidup di masyarakat atau living law, pidana mati, penyerangan martabat atau kehormatan presiden dan wakil presiden, tindak pidana kesusilaan perkosaan, dan tindak pidana khusus sebagai core crime ketentuan peralihan dan ketentuan penuntut.

"Melalui pembahasan intensif dan perdebatan yang mendalam dan konstruktif akhirnya panja dan pemerintah bisa menyepakati seluruh isu krusial tersebut," ujarnya.

RUU KUHP dibahas sejak 29 Oktober 2016 sampai dengan 15 September 2019 yang isinya terdiri dari 2 buku dan 629 pasal.

Perincian RUU KUHP, buku kesatu tentang peraturan umum yang terdiri dari enam bab dan 187 pasal. Buku kedua tentang tindak pidana yang terdiri dari 36 bab dan 442 pasal.

"Selanjutnya panitia kerja meminta RUU KUHP ini dapat disepakati dalam pembicaraan tingkat 1 untuk melanjutkan dalam pembicaraan tingkat 2 untuk mendapatkan persetujuan bersama DPR dan presiden dalam rapat paripurna terdekat," pungkasnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler