jpnn.com - JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menyatakan deradikalisasi memang menjadi program pemerintah sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program ini menurut TB Hasanuddin bertujuan untuk mengeliminasi atau bahkan menghilangkan para radikalis yang tumbuh berkembang di masyarakat, yang dianggap sebagian pakar sebagai embrio teroris.
“Karena dinilai sangat strategis, program ini disusun di beberapa kementerian antara lain di Kemenkumham, Kemendagri, Kemendiknas & Dikti, Kemenag, Kemenhan. Juga giat dilakukan oleh BNPT, BIN, Polri dan lembaga-lembaga nonpemerintah lainnya,” kata TB Hasanuddin, di Jakarta, Senin (18/1).
BACA JUGA: Terungkap! Dana Asing, Selain Dikirim ke Yayasan Juga Dikirim ke Teroris Buat Beli Senjata
Menurutnya, anggaran dalam APBN yang dikeluarkan mencapai ratusan miliar rupiah. “Hasilnya memang belum terlihat untuk jangka panjang, tapi setidaknya teror yang dilakukan oleh radikalis itu seperti tetap tak berkurang, bahkan bibit-bibitnya semakin tumbuh,” ujar politikus PDI Perjuangan ini.
Dikatakan Hasanuddin, aparatus negara sesungguhnya sudah bekerja dengan baik, tapi masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki dan diubah maindset-nya, agar efektif dan efisien. Pertama, deradikalisasi menjadi semacam proyek dan masuk dalam APBN dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah bekerjasama dengan lembaga non pemerintah, LSM, dan Ormas.
BACA JUGA: LSM dan Pansel Berkonspirasi Kuasai Ombudsman RI?
“Tapi targetnya kurang jelas dan hampir tak pernah ada evaluasi yang jelas sejauh mana tingkat keberhasilannya,” kata mantan Komandan Paspamres era Presiden Megawati Soekarnoputri ini.
Kedua, menurut Hasanuddin, umumnya kegiatan pemerintah, lemah dalam hal koordinasi. Karena kelemahan itulah maka target garapan menjadi sendiri-sendiri. Ego-sektoral pun muncul. Akibatnya ada daerah atau kelompok yang digarap dua hingga tiga lembaga, tapi di beberapa daerah rawan, tidak tersentuh.
BACA JUGA: Baru Tiga Pemda yang Bebaskan IMB untuk Rumah Murah
Ketiga adalah pelibatan tokoh berbobot masih sangat kurang, katakanlah yang diturunkan ke sebuah wilayah rawan hanya seorang petugas yang kurang dalam pengetahuan agamanya, ketika berdebat malah petugas itu keteter menjawab, ini malah fatal. Contoh nyata, mengapa justru lebih radikalis setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan? “Perlu sebuah kajian mendalam," tanya Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat ini.
Keempat, belum melibatkan unsur para pemimpin nonformal seperti pengurus RT dan RW.
“Mereka sekarang justru hanya dijadikan semacam pemadam kebakaran setelah teror terjadi. Seharusnya libatkan, gerakan dan danai mereka untuk melakukan pengawasan di daerah masing-masing termasuk membantu program deradikalisasi,” katanya.(fas/esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wah..Wah... Anak Buah Bu Mega Juga Terancam Jerat Pencucian Uang
Redaktur : Tim Redaksi