jpnn.com, JAKARTA - DPR Provinsi Papua melayangkan protes keras terkait aturan turunan pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua hasil revisi. Pasalnya, sama sekali tidak memuat kebijakan pelaksanaan dalam rangka penyelesaian masalah Hak Asasi Manusia (HAM).
Masalah Hak Asasi Manusia merupakan akar masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pemerintah membentuk kebijakan-kebijakan lain terkait pembangunan.
BACA JUGA: Pemerintah Harus Bersinergi Mengawal Implementasi Otsus Papua
“Kami heran sekali bahwa di aturan turunan UU Otsus ini soal HAM tidak diangkat sama sekali. Padahal itulah akar masalahnya yang membuat kebijakan Otsus ini keluar. Kalau menyangkut kebijakan pembangunan, itu hanya tambahan saja setelah akar masalahnya jelas dulu solusinya,” ujar anggota DPR Papua Nason Utty di Jakarta, Selasa (30/11).
Soal HAM, kata dia sangat penting sebab itu adalah aspirasi terdalam rakyat Papua.
BACA JUGA: PRIMA Serukan RPP Otsus Harus Mampu Selesaikan Masalah Papua
“Substansinya di situ soal HAM. Rakyat Papua itu tidak minta uang, tidak minta pembangunan, tetapi minta pengakuan atas harkat dan martabatnya sebagai manusia yang selama bertahun-tahun bahkan sampai saat ini masih terus dilecehkan, didiskriminasi, bahkan dibunuh. Ini harus dituntaskan dulu,” tegas Nason.
Anggota DPR Papua lain Agus Kogoya menambahkan hadirnya aturan turunan yang menjadi pelaksana UU Otsus melalui PP 106 dan PP 107 mencerminkan solusi setengah hati pemerintah pusat atas masalah Papua.
BACA JUGA: Senator Filep Pastikan Komite I DPD Tindaklanjuti Masukan Materi RPP Otsus Papua
Mirisnya lagi dalam aturan pelaksanaan UU Otsus, kewenangan kekhususan yang disebutkan oleh pemerintah pusat itu ujung-ujungnya Kembali ke UU Nomor 23 tentang Pemerintah Daerah.
“Jadi, ini Otsus ini apa kalau ujung-ujungnya Kembali ke UU Pemda lagi. Tipu-tipu saja semua ini. Bahkan ini lebih parah dari UU Otsus lama jika ini dijalankan,” ungkap Agus.
Dia mengingatkan pemerintah pusat agar berhitung lebih cermat lagi dalam menyusun aturan pelaksanaan UU Otsus sehingga betul-betul menjawab kebutuhan rakyat Papua.
“Apa artinya pembangunan jika rakyat Papua dan TNI terus berkonflik? Maka sebaiknya DPR Papua, MRP, tokoh Gereja dan tokoh adat diajak duduk bersama untuk menyusun ini. Bukan hanya sgelintir elite yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat Papua. Ini jelas penghkianatan terhadap rakyat Papua,” tukas anggota Fraksi PKB tersebut.
Alfred Fredi Anou menambahkan aturan turunan yang dihasilkan melalui PP 106 dan PP 107 ini sama sekali tidak memihak aspirasi mendasar rakyat Papua.
“Poin-poin yang ada sama sekali bukan aspirasi rakyat Papua. Rakyat maunya selesaikan soal HAM dulu baru bicara yang lain-lain itu. Ibaratnya yang ada sekarang ini gula-gula saja, bukan menyelesaikan akar masalahnya,” ungkap Alfred.
Senada dengan Alfred, anggota DPR Papua lain Namantus Dwijangge menegaskan alasan historis dan filsofis lahirnya UU Otsus. Dia mengingatakan UU Otsus Nomor 11 tahun 2001 dulu lahir karena adanya tuntutan merdeka dari rakyat Papua. Tuntutan merdeka tersebut latar belakangnya adalah soal pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Pemerintah harus paham bahwa UU ini adalah kebijakan politik yang lahir karena tuntutan politik dari rakyat Papua saat itu. Kalau sekarang UU Otsus baru ini keluar dari nilai historis dan filosofis itu maka dia sudah tidak ada artinya lagi. Dia hampa, kosong, bahkan sangat melecehkan rakyat Papua,” tegas Namantus.
Dia berharap agar pemerintah pusat memberi porsi pertama dan utama terlebih dahulu pada akar masalah HAM.
“Manusianya dulu dihargai harkat dan dan martabatnya baru kita bicara soal makan dan minum. Bagaimana rakyat Papua mau terima pembangunan tetapi dia saat yang sama dilecehkan, ditembak, dan dibunuh? Ini logikanya,” ucap politisi Partai NasDem tersebut.
Ditegaskan juga oleh rekan DPR Papua lain Nikius Bugiangge, bahwa UU Otsus yang ada saat ini sangat jauh dari harapan rakyat Papua.
Nikius memastikan, apabila logika dalam aturan pelaksanaan UU Otsus tidak mengakomodir aspirasi terdalam rakyat Papua menyangkut HAM maka UU ini tidak akan berjala efektif dan efisien.
“Saya sudah bisa membayangkan, implementasinya di lapangan akan repot karena soal mendasar mengenai HAM tidak diberi porsi perhatian besar oleh pemerintah. Ini hanya akan menimbulkan resistensi. Jakarta terus bicara pembangunan ini dan itu, tetapi selama manusianya tidak dihargai harkat dan martabatnya maka akan sama saja. Malah bisa jadi situasinya lebih buruk lagi. Pemerintah Pusat harus lebih peka membaca aspirasi rakyat Papua hari ini,” kata Nikius.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich