PESERTA program sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM-3T) yang bertugas di Sorong, Papua Barat, mendapatkan pengalaman mengesankan. Para sarjana fresh graduate itu tidak menyangka akan mengajar di kawasan yang benar-benar terasing dari dunia luar.
------------
Hilmi Setiawan, Sorong
------------
Perjalanan menuju SD-SMP Negeri Satu Atap Ninjemor di Distrik/Kecamatan Moi Segen harus ditempuh dalam 3–4 jam dari jantung Kota Sorong. Sebagian besar jalannya tanah berdebu. Maklum, jalan tersebut selama ini menjadi sarana utama bagi lalu lintas kendaraan perusahaan minyak PetroChina yang mengeksplorasi kawasan di situ.
Di salah satu sisi jalan membentang sangat panjang pipa milik perusahaan kilang minyak dan gas bumi itu. Meski demikian, hamparan hutan hijau masih menghiasai kawasan di kanan kiri jalan.
BACA JUGA: Perjuangan Kaum Mama Lestarikan Kain Tenun Ikat Lamalera
Sekolah satu atap itu berlokasi di kawasan terpencil dan terasing. Penduduknya sangat sedikit. Karena itu, tidak heran jumlah muridnya tidak banyak. Untuk jenjang SD, hanya ada 71 anak, mulai kelas 1 hingga kelas 6.
Untuk SMP, kelas satu hanya memiliki empat murid, kelas dua hanya delapan anak. Sekolah ini belum memiliki kelas tiga sehingga belum ada murid kelas terakhir.
BACA JUGA: Mengunjungi Pasar Wulandoni, Pasar Barter di Nusa Tenggara Timur
Jumlah ruang kelasnya juga terbatas. Proses belajar mengajar untuk SD dilakukan di tiga unit kelas. Itu berarti satu ruang dipakai untuk dua jenjang kelas. Begitu pula untuk jenjang SMP, murid kelas 1 dan 2 belajar dalam satu ruang dalam jam pelajaran yang sama. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah lemari buku.
Rabu siang itu (8/5) Mendikbud Mohammad Nuh beserta rombongan dari Jakarta menyempatkan diri untuk meninjau program SM-3T di pedalaman Sorong tersebut. Di sekolah Satu Atap Ninjemor terdapat tiga guru peserta program SM-3T. Mereka adalah Ardiansyah, Ratih Pratiwi, dan Sartika. Mereka alumnus Universitas Negeri Makassar (UNM). Mereka merupakan bagian dari 35 sarjana pendidikan peserta SM-3T yang disebar ke penjuru Kabupaten Sorong.
BACA JUGA: Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis
Saat M. Nuh tiba di kompleks SD-SMP Satu Atap Ninjemor, tampak Ardiansyah sedang asyik mengajarkan mata pelajaran IPA di kelas 2 SMP. Materi yang diajarkan tumbuhan dikotil (biji berkeping dua) dan monokotil (biji berkeping satu). Agar pelajarannya cepat ditangkap siswa, Ardiansyah tidak lupa membawa contoh tumbuhan dikotil dan monokotil.
’’Mari kita belajar apa itu tumbuhan monokotil dan apa itu tumbuhan dikotil,’’ kata remaja kelahiran Bone, 7 Juli 1988, itu.
Ardiansyah juga tampak detail menjelaskan perbedaan tumbuhan dikotil dan monokotil. Mulai akar, batang, hingga bentuk dan struktur daunnya. ’’Untuk melihat penampang akarnya, kita bisa menggunakan apa?’’ katanya memancing para murid untuk menjawab.
Sejurus kemudian seorang siswa angkat tangan dan berucap mikroskop dengan pengucapan yang kurang sempurna. Setelah itu para murid diajak secara bergiliran mengamati akar pohon itu melalui mikroskop.
’’Mengajar dengan cara seperti ini memberikan pengalaman langsung kepada siswa,’’ kata dia.
Menurut Ardiansyah, belajar dengan praktik langsung lebih disenangi para murid. Mereka jadi antusias. Mereka bosan bila pembelajaran dilakukan dengan sistem ceramah. Guru berbicara sendiri, sedangkan murid hanya disuruh mendengarkan.
Ardiansyah mengaku tidak pernah membayangkan akan menjadi guru di pedalaman Papua. Apalagi selama ini dia terbiasa hidup di keramaian kota (Makassar) dengan berbagai fasilitas yang mudah diperoleh.
’’Awalnya sempat kaget. Apalagi sulit sekali mencari sinyal telepon di sini,’’ paparnya.
Salah satu momen yang tidak terlupakan bagi Ardiansyah adalah ketika dia ditunjuk menjadi operator pengisian data pokok pendidik (dapkodik) sekolah itu. Tetapi, karena pengisiannya harus menggunakan jaringan internet, dia perlu online terlebih dahulu supaya bisa menyambung ke server dapkodik di Jakarta. ’’Saya terpaksa harus membawa laptop ke atas bukit supaya dapat sinyal,’’ katanya.
Bersama seorang guru peserta SM-3T yang lain dan beberapa muridnya, dia jalan kaki selama satu jam menuju atas bukit itu. Selain harus membawa laptop, dia juga mesti membawa setumpuk dokumen kepegawaian dan sejenisnya.
Begitu sampai di atas bukit, Ardiansyah membayangkan akan dengan segera mendapatkan sinyal internet. Tetapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat dibendung. Setelah laptop dihidupkan, ternyata baterainya tinggal sedikit. Lemaslah dia.
’’Saya paksa-paksakan tetap tidak ngangkat. Baterainya benar-benar tidak cukup untuk bisa mengoperasikan laptop,’’ ujarnya.
Perjalanan yang melelahkan itu memberikan pelajaran berharga bagi Ardiansyah. Sebab, dia harus pulang tanpa hasil apa-apa. Dia akhirnya turun bukit dengan lunglai.
Meski demikian, Ardiansyah tidak putus asa untuk mencoba lagi ke atas bukit. Hanya, setiap kali menuju ke puncak itu, dia sudah menyiapkan segala sesuatunya. Termasuk soal memenuhi baterai laptopnya. Untuk mengisi baterai, dia harus menggunakan listrik di desanya yang dihidupkan dengan sebuah genset ukuran sedang.
’’Itu pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup saya,’’ tegas lajang itu.
Dengan kondisi medan dan pekerjaan yang begitu berat, Ardiansyah dan para peserta program SM-3T lainnya mendapat gaji Rp 2,5 juta dan uang kesehatan Rp 100 ribu per bulan. Penghasilan itu relatif kecil jika dibandingkan dengan penghasilan guru di Jakarta yang bisa mencapai Rp 8 juta per bulan.
Padahal, biaya hidup di Jakarta dan di Sorong tidak jauh berbeda. Seikat sayur kangkung di Sorong dihargai Rp 5 ribu. Harga 1 liter bensin eceran bisa mencapai Rp 12,5 ribu.
’’Uangnya harus dicukup-cukupkan. Tapi, sejauh ini, alhamdulillah, cukup,’’ ujarnya.
Kebutuhan paling mendasar dan paling banyak, kata Ardiansyah, adalah air minum. Mereka harus berbelanja secara lebih. Pasalnya, Sorong termasuk wilayah sulit air. Air bersih didapat dari air tadah hujan yang turun pada musim hujan. Air dari langit itu ditampung di tempat-tempat penampungan yang telah disiapkan. Untuk kebutuhan mencuci dan lainnya, air hujan ditampung di kolam tanah.
Meskipun hidup di tengah keterbatasan, Ardiansyah siap menjalani ikatan kontrak mengajar selama 12 bulan. Bahkan, dia siap jika kontraknya diperpanjang. ’’Melihat semangat para siswa yang terus meningkat, saya jadi betah,’’ paparnya.
Lain lagi cerita Rafika, peserta program SM-3T yang ditempatkan di SDN Maralol, Kecamatan Salawati Selatan, Kabupaten Sorong. Alumnus FKIP UNM itu mengajar di kawasan yang lebih terpencil lagi daripada di Ninjemor.
’’Untuk menjangkaunya, kita harus naik kapal kecil selama dua jam. Pokoknya lebih terpencil dibanding di sini (Ninjemor),’’ kata Rafika.
Pada awal program, gadis 23 tahun itu tidak langsung mengajar. Dia memilih lebih dulu mengenalkan Indonesia kepada para siswa dan masyarakat setempat. Menurut Rafika, banyak anak di kampungnya yang tidak tahu nama presiden Indonesia.
’’Sebenarnya, ada guru yang mengajar di sini. Tapi, mereka hanya sehari di sekolahan dan sebulan di kota,’’ ungkap Rafika sembari tersenyum.
Dengan kondisi itu, pembelajaran di kelas jelas seadanya dan formalitas belaka. Tak heran, para siswa tidak tahu nama presidennya atau perihal keindonesiaan lainnya.
Selain itu, Rafika juga dihadapkan pada sikap para murid yang malas. ’’Saya harus mendatangi rumah siswa, membangunkan mereka dari tidur, dan mengajak ke sekolah,’’ ujarnya.
Berkat ketekunan dan semangat Rafika dan teman-teman, kini para murid di SDN Maralol lebih rajin untuk bersekolah. Mereka tidak perlu diobrak-obrak lagi untuk menuntut ilmu.
’’Saya kira, program SM-3T ini sangat bagus untuk membantu anak-anak di pelosok mendapatkan pendidikan yang lebih layak,’’ komentar Rafika. (*/c1/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Tengah Laut, Kaya Minyak, tapi Fasilitas Penjagaan Minim
Redaktur : Tim Redaksi