Dua Sekolah Terancam Ditutup, Bagaimana Nasib 1.500 Pelajar ?

Minggu, 07 Juli 2019 – 11:57 WIB
Sekolah yang akan tutup. Foto : JPG

jpnn.com, SURABAYA - Surat peringatan dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim kepada Yayasan Trisila telah diberikan bulan lalu.

Melalui surat itu, PN mengingatkan Trisila agar segera mengosongkan gedung SD, SMP, dan SMA Trisila di Jalan Undaan 57-59. Sayang, peringatan tersebut tidak diindahkan.

BACA JUGA: Dinas Pendidikan Tutup Sekolah, Guru Tidak Tetap Terpaksa Menganggur

Di bangunan yang terletak di belakang gedung PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) tersebut, beberapa guru melayani sejumlah orang tua yang mendaftarkan anaknya.

Namun, tidak ada kegiatan belajar-mengajar karena sejak pekan lalu libur tahun pelajaran baru.

BACA JUGA: KLHK Serius Menyelesaikan Konflik Agraria di Kawasan Hutan

BACA JUGA : Miris..Sekolah Tutup karena Sepi Siswa

Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Nursyam menyatakan, gedung itu akan dieksekusi setelah pihaknya menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan PT RNI terhadap Trisila.

BACA JUGA: Mulai Tahun Ini SMPN 3 Paron Dilarang Terima Siswa Baru

Sebelumnya, PT RNI menggugat Yayasan Trisila di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada 2014 karena Trisila dianggap telah berbuat melawan hukum. Kini putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.

Namun, PN masih menunda eksekusi yang semestinya bisa dilaksanakan sepekan setelah mengirim surat peringatan.

Alasannya, amar putusannya multitafsir. Bisa ditafsirkan berbeda oleh para pihak. Jika dipaksakan mengeksekusinya, akan timbul konflik baru. ''Kami masih mempelajarinya lagi,'' ujar Nursyam.

BACA JUGA : Penuh Asap Ganja, Sekolah Tutup

Trisila dinyatakan terbukti berbuat melawan hukum karena telah menempati tanah dan bangunan milik perusahaan tersebut Dalam putusan itu, Trisila diminta mengosongkan tanah dan bangunan yang kini ditempati, lalu menyerahkannya ke PT RNI.

Tanah dan bangunan yang kini ditempati Trisila merupakan aset PT RNI yang dibeli dari dana penyertaan modal pada 1964. Perusahaan tersebut memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat hak guna bangunan (HGB).

''Sejak Januari lalu kami mengajukan permohonan ke PN agar segera dieksekusi karena sampai sekarang tanah dan bangunan belum diserahkan secara sukarela,'' jelas jaksa pengacara negara (JPN) Anton Arifullah.

Sementara itu, pengacara Yayasan Trisila Sudiman Sidabukke menyatakan bahwa pihaknya bersedia mengosongkan bangunan sekolah yang kini ditempati.

Namun, PT RNI harus memberikan ganti rugi yang pantas. Hal itu, menurut dia, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 223/1961.

''Intinya mencakup ganti rugi yang layak. Kalau bangunan sekolah, ya diganti bangunan sekolah yang layak. Kalau belum, tidak bisa dikosongkan PN,'' katanya kemarin.

Sudiman mengklaim kini lebih dari seribu siswa belajar di sekolah tersebut. Selama kasus itu berlangsung, mereka tidak bisa belajar dengan tenang. Izin operasional sekolah tersebut juga sudah dicabut Dinas Pendidikan Surabaya.

''Sekarang Trisila tetap beroperasi dan membuka pendaftaran siswa baru,'' katanya.

Sengketa tersebut bermula ketika Trisila yang sudah punya sekolah di Gembongan diminta menempati tanah itu oleh TNI pada 1960. Sebelumnya, tanah tersebut merupakan barak tentara.

Saat akan mengajukan permohonan kepemilikan, tanah itu sudah diberikan ke PT RNI dengan bukti HGB 29/1985 yang diperpanjang pada 2007.

Selain Trisila, ada lagi sekolah yang segera ditutup. Sekolah yang dimaksudkan adalah TK, SD, dan SMP Praja Mukti.

Pemkot Surabaya mengklaim berhak atas tanah di Jalan Kupang Segunting III, Tegalsari, seluas 3.000 meter persegi tersebut. Pemkot meminta Perkumpulan Pengelola Pendidikan Praja Mukti Surabaya (P3PMS) mengosongkan bangunan sekolah yang berdiri sejak 1972 itu.

''Intinya, pemkot akan menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan umum,'' kata Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Pemkot Surabaya Arjuna Meghanada.

Namun, dia merahasiakan penggunaan tanah tersebut. Pihak Praja Mukti, menurut dia, tidak berhak menempati tanah tersebut karena tidak punya bukti kepemilikan. Kini pemkot masih membicarakannya dengan pihak Praja Mukti untuk mencari solusi.

Dinas Pendidikan Surabaya juga sudah mencabut izin operasional sekolah tersebut.

Pencabutan itu membuat Praja Mukti menggugatnya ke PTUN Surabaya. Beberapa hari lalu gugatan tersebut sudah dicabut. Meski demikian, sekolah itu masih membuka pendaftaran siswa baru.

Pengacara P3PMS Tri Tejonarko menjelaskan, yayasan itu memiliki hampir seratus tenaga pengajar dan lebih dari 1.500 siswa.

Sekolah tersebut berusia 42 tahun sejak berdiri pada 1972. Dinas pendidikan tidak memperpanjang izin operasional lembaga itu.

Alasannya, sekolah tersebut layak ditutup sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 36/2014 tentang Pedoman Pendirian dan Penutupan SD dan SMP.

Di dalam pasal 4 disebutkan bahwa yayasan harus memiliki status kepemilikan tanah yang jelas untuk bangunan sekolahnya.

Adapun status tanah seluas lebih dari 3.000 meter persegi yang kini berdiri bangunan TK, SD, sampai SMP di Jalan Kupang Segunting III tidak jelas. Tri mengakuinya.

''Mereka (Pemkot Surabaya) tidak punya sertifikat, kami juga tidak punya. Kami sudah menguasainya 42 tahun. Kalau sesuai pasal 17, semestinya izin harus diperpanjang sampai 2024,'' papar Tri. (gas/c15/git/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masyarakat Sumut Sambut Positif Niat Pemerintah Selesaikan Sengketa Lahan


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler