jpnn.com - KALAU suatu hari nanti Upin dan Ipin mampir ke Kampung Karet Berkah di Jakarta, tempat Sopo, Jarwo, dan Adit tinggal, jangan kaget. Jangan pula terkejut jika kelak Sopo, Jarwo, atau Adit yang mendarat di Kampung Durian Runtuh, kampung halaman Upin dan Ipin.
NURIS ANDI P., Jakarta
BACA JUGA: Ketika Suara Hati Dokter Turun ke Jalanan Istana..
Sebab, setidaknya itulah yang ada di benak Dana Riza dan Eki NF, dua sosok penting di balik serial animasi televisi Adit & Sopo Jarwo (ASJ). ”Jika memungkinkan, Adit & Sopo Jarwo bisa satu frame cerita dengan Upin-Ipin,” kata Dana yang diamini Eki.
Popularitas ASJ memang terus meroket menyaingi Upin-Ipin yang diimpor dari Malaysia. Namun, Dana maupun Eki tak pernah menganggap animasi impor sebagai pesaing. ”Kami justru ingin memosisikan diri sebagai partner,” kata Eki.
BACA JUGA: Sepatu Tjahjo Kumolo pun Kotor
Dana merupakan kepala suku Indonesia Animation Army (IAA) yang memproduksi ASJ. Sedangkan Eki berperan sebagai penulis skripnya. IAA merupakan semacam movement project yang mengumpulkan para animator berbakat dari berbagai kawasan di Indonesia.
Proses kreatif ASJ juga dimulai dengan perburuan animator itu tiga tahun silam. Dana bersama rekan-rekannya di MD Animation mengunjungi berbagai daerah, di antaranya Jogjakarta, Surabaya, dan Malang. Kini 60 animator berhimpun bersama IAA.
BACA JUGA: Kisah Arif...yang Menganggap Becak Adalah Jodoh
Ketika ASJ mulai digarap, Dana menyatakan puluhan kali harus mengubah alur cerita sampai menemukan bentuk seperti sekarang ini. Yang mereka tonjolkan adalah kearifan lokal Indonesia. Untuk itu, sejumlah tayangan televisi pada 1990-an menjadi referensi mereka. ”Keluarga Cemara dan Si Doel Anak Sekolahan termasuk referensi kami,” sebut Eki.
Seperti halnya Donald Duck dan Mickey Mouse dari Disney atau Doraemon dari Jepang, ASJ juga diharapkan bisa menjadi tayangan yang timeless. Tak terbatas waktu alias bisa ditonton kapan saja. Sebuah tayangan animasi yang selalu dikenang hingga puluhan tahun mendatang.
Dana mengatakan, dalam membangun proyek tersebut, IAA selalu mengedepankan proses edukasi. Bahkan, program seribu animator Indonesia sudah dicanangkan. Mereka akan dilibatkan dalam proses kreatif dunia animasi ke depan.
Dana punya keyakinan, animator yang bekerja di MD Animation dalam waktu maksimal tujuh tahun harus bisa membuat studio animasi sendiri. ”Empat tahun pertama mereka lewati untuk mencari pengalaman. Tiga tahun berikutnya berturut-turut akan kami ajari entrepreneurship,” terangnya.
Salah satunya adalah bagaimana bekerja sama dengan bank untuk mendapatkan dukungan dana pengerjaan proses kreatif. Selanjutnya, kerja sama berkesinambungan juga diharapkan bisa dijalankan bersama di antara mereka.
”Jadi, nanti pengerjaan tidak harus di Jakarta. Teman-teman di daerah juga bisa bekerja sama secara langsung. Setidaknya kini mulai terlihat seperti yang dijalankan Erix Soekamti, basis band Endank Soekamti, di Jogjakarta,” katanya.
November 2015 Erix membangun sekolah gratis khusus animator yang diberi nama Does University. Program tersebut diakui Erix sebagai bentuk dukungan kepada IAA untuk mewujudkan seribu animator Indonesia.
Tujuannya sama, berkolaborasi membuat karya yang bisa dinikmati masyarakat Indonesia. ”Yang mengedukasi anak-anak Indonesia dengan kearifan lokal yang ada,” kata Erix dalam kesempatan terpisah.
Erix sangat berharap IAA bisa menjadi semacam benteng pertahanan terhadap derasnya tayangan asing yang masuk Indonesia. Dana pun sepakat menjadikan IAA sebagai semacam resistor. ”Jika ada tayangan yang tidak mendidik, itu akan kami lawan dengan konten kami,” ucapnya.
Perjuangan tersebut tentu tidak mudah. Sebab, dibutuhkan biaya besar agar tayangan animasi bisa masuk slot TV. Yang membuat Dana optimistis, Indonesia punya segunung animator dengan bakat tinggi. Itu terbukti sejak 1980-an animator Indonesia telah dipercaya untuk bekerja di Jepang atau Amerika Serikat.
Tak terkecuali Dana yang pernah mendapat tawaran pekerjaan menggiurkan di Jepang tahun lalu. ”Kami mendapatkan tawaran bikin animasi porno,” ungkapnya.
Pekerjaan tersebut jelas menawarkan kompensasi uang dalam jumlah besar. Namun, Dana dan IAA menolak tawaran itu.
”Kami tak mau menyesal seumur hidup karena sudah memberikan asupan tayangan negatif buat masyarakat Indonesia,” katanya. (*/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Misteri Pulau Tukung, Cinta Beda Kasta, si Cantik Bunuh Diri
Redaktur : Tim Redaksi