jpnn.com - SUDAH 26 tahun ini, Arif mengayuh becak dan menawarkan jasa tumpangan di kawasan Kota Lama, Kendari. Arif, adalah salah seorang tukang becak yang masih bertahan, di tengah semakin berkurangnya jasa becak di Kendari.
Erlin Ipo, Kendari Pos
BACA JUGA: Misteri Pulau Tukung, Cinta Beda Kasta, si Cantik Bunuh Diri
Ya, memasuki tahun 2000-an, jumlah tukang becak di Kendari terus berkurang. Kondisi ini berbeda dengan tahun 1990-an, di mana tukang becak menjadi salah satu profesi dengan penghasilan menjanjikan, bahkan bisa melampaui gaji pegawai negeri sipil (PNS) kala itu.
Sejak tahun 1990, Arif sudah memutuskan menafkahi hidupnya sendiri dengan mengayuh kendaraan roda tiga. Debutnya dimulai sejak berusia 14 tahun. Baginya, becak adalah jodoh dalam mencari rezeki Ilahi. Apalagi dia seorang yang minim pendidikan, ijazah Sekolah Dasar (SD) pun tak dimiliki.
BACA JUGA: Berurai Air Mata, Bocah Ini Menatap Rumahnya di Kalijodo Hancur
Cerita Arif, pada tahun 1990-an, jumlah becak di Kota Kendari melampaui angka seribuan. "Itu becaknya, kalau tukang becaknya barangkali hampir dua ribu" ujarnya, seperti dikutip dari Kendari Pos, Selasa (1/3).
Saking banyaknya kaum laki-laki yang memilih jadi tukang becak, akhirnya mereka memberlakukan sistem shift. Misalnya, jika salah seorang sudah mencapai setoran dan mendapat keuntungan hanya dengan bekerja setengah hari, maka selanjutnya akan diserahkan pada rekannya yang lain.
BACA JUGA: Menengok Dapur Tim Kreatif Indonesia Animation Army
"Saya ingat, banyak yang menunggu di bawah pohon beringin arah pelabuhan itu. Pohon itu masih ada sampai sekarang. Kalau sudah ada yang capek atau dapat setoran, minta diganti sama yang "serep"," tandasnya.
Dari hasil mengayuh becak, Arif bisa menikah dan membangun rumah untuk keluarga kecilnya. Pria yang tinggal di lorong Darma, Kelurahan Kendari Caddi, Kecamatan Kendari ini pernah merasakan hidup berkecukupan karena profesinya itu.
"Dulu satu kali antar penumpang kadang Rp 200, tapi bisa juga Rp 500, tergantung jauh dekatnya. Kalau dari pasar ke Mandonga mahal karena jauh, kalau hanya di Mata sana paling 300," katanya.
Dalam sehari, saat itu Arif bisa meraup penghasilan Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu perhari. Saat itu setoran becaknya pada juragan hanya Rp 1000 tiap hari. Jika ditotal, dalam sebulan Arif bisa berpenghasilan Rp 900 ribu. Lebih besar dari pada gaji tertinggi PNS kala itu Rp 600 ribu.
"Makanya dulu banyak orang Muna sama orang Kolaka yang merantau ke sini. Saya ingat dulu Kaimoeddin baru jadi gubernur, Kendari mulai banyak pendatang," kisahnya.
Namun, cerita mulai berubah ketika memasuki tahun 2000. Jasa antaran penumpang beralih dengan sepeda motor ojek. Setiap ruang parkir di Pasar Sentral dan Pelabuhan sudah "diekspansi" ojek. Arif pun mengaku pendapatannya setiap hari mulai menurun. Sejak saat itu, jumlah becak yang pernah mencapai ribuan satu persatu mulai berkurang. Sebagian dari mereka mulai beralih profesi menjadi petani, pedagang dan pekerja bangunan.
"Saya sempat jadi buruh bangunan waktu itu, karena Kendari juga sudah berubah jadi kotamadya, jadi banyak kerja kalau di bangunan," jelasnya.
Hanya beberapa bulan menjadi kuli konstruksi, Arif kembali menarik becak. "Lebih banyak dapat dibecak, bisa sampai Rp 70 ribu, kalau di bangunan hanya Rp 20 ribu per hari, itupun bawa sendiri makanan," kenang dia.
Hingga saat ini, Arif masih bertahan sebagai penarik becak. Meski pendapatannya rata-rata Rp 100 ribu perhari, lalu dikurangi sewa becak Rp 10 ribu, tapi itu sudah dianggap cukup menghidupi istri dan empat anaknya.
Kehadiran ojek, angkot dan taksi tak pernah dianggap Arif sebagai pesaing dalam melakoni profesi jasa angkutan penumpang. Menurut mereka, masing-masing angkutan punya kelebihan dan kekurangan. "Kalau orang yang naik ojek itu biasa karena jauh atau jalannya tanjakan seperti di Gunung Jati sana. Tapi dia hanya bisa muat satu orang. Kalau becak bisa dua orang, dan lebih santai juga," ujarnya. (b/*erlin ipo/adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasakan Keharuan dalam Kebaktian Terakhir di Kalijodo
Redaktur : Tim Redaksi