Dua Tentara Warga Tionghoa, yang Perempuan Ini tak Lagi Terima Angpao

Selasa, 17 Februari 2015 – 06:01 WIB
Riski (kiri) dan Christina bertugas di Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar. Mereka akan merayakan Imlek bersama keluarga. Foto: WS Hendro/Jawa Pos

MASIH sedikit warga Tionghoa yang memilih berkarir di dunia militer. Dua dia antaranya adalah Lettu Laut (K) dr Agustinus Riski Wirawan Riadi dan Letda Laut (K/W) dr Christina Widosari.
--------------
Laporan Suryo Eko Prasetyo, Surabaya
-------------
IMLEK merupakan momen untuk berkumpul bersama keluarga besar. Tahun baru umat Tionghoa 2566 yang diperingati Kamis lusa (19/2) itu menjadi tahun keempat Riski, sapaan Agustinus Riski, menyandang status prajurit TNI.

Dia bertugas sebagai perwira urusan Instalasi Gawat Darurat Rumkital (Rumah Sakit Angkatan Laut) dr Idris Parimpunan Siregar, rumah sakit di internal Komando Armada RI Kawasan Timur.

BACA JUGA: Yandi Sofyan, Pemain Indonesia Yang Menguasai Beberapa Bahasa

Dokter umum alumnus Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu menggawangi IGD Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar yang berada di Detasemen Markas Koarmatim.

Kendati menangani masalah kesehatan, Riski terikat dalam seremonial militer sebagaimana peraturan dinas khas TNI-AL. Misalnya, apel pagi, apel sore, maupun upacara militer lain. Setiap bulan dia mendapat jatah piket jaga di sejumlah rumkital. Sebuah pengabdian yang tidak biasa di kalangan warga Tionghoa.

BACA JUGA: Kisah Aldi Novrudi, Mantan Pencandu Kini jadi Konselor Rehabilitasi Narkoba

’’Sejak awal ya kepingin saja menjadi tentara,’’ ucap Riski di ruang tindakan Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar kepada Jawa Pos seusai olahraga futsal siang, Selasa lalu (10/2). Sebuah pernyataan spontan yang terasa enteng didengar.

Siang itu dia mengenakan baju olahraga TNI-AL. Dalam kondisi masih berkeringat, anak bungsu di antara empat bersaudara tersebut mengisahkan masa-masa sulit meyakinkan orang tua dan kakaknya kala hendak masuk jalur perwira karir.

BACA JUGA: Kisah Pro Duta Sepulang dari Viareggio Cup 2015 di Italia

Keputusan Riski menuntut ilmu kedokteran termasuk tidak lazim di lingkungan keluarga besarnya. Ayahnya, Slamet Riyadi (Siauw Tjai Sing), dan sang ibu, Rita Wibawati (Liem Gwat Nio), membanting tulang di Nguling, Kabupaten Probolinggo, sebagai pedagang.

Semua kakaknya juga berwiraswasta di berbagai usaha. Alumnus SMA Katolik Mater Dei Probolinggo itu kukuh berkuliah di Surabaya untuk membebaskan diri.

’’Kalau keluar rumah lama waktu SMA dulu, saya pasti dicari. Kalau sudah di luar kota (kuliah atau kerja), mau nggak pulang sekalian ya enggak dicari,’’ seloroh dokter yang genap berusia 30 tahun pada 31 Juli nanti tersebut. Pelampiasan membuatnya ”kebablasan”.

Keputusannya mendaftar menjadi tentara direaksi kakak-kakaknya. Mau-maunya si ragil yang menyandang gelar dokter pada 2011 bersusah-susah menjadi prajurit. Apalagi, TNI dianggap memiliki sejarah kelam kala kerusuhan Mei 1998.

Namun, berkat perjuangan kerasnya, Riski lolos seleksi tanpa mengulang. Serangkaian pendidikan militer dilakoninya hampir setahun. Pada penempatan pertamanya, dia menjadi perwira kesehatan di Balai Pengobatan Pangkalan TNI-AL Batuporon, Bangkalan. Mulai Maret 2014 hingga kini, dia mengabdi di Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar.

’’Setiap Imlek saya usahakan bareng orang tua, berkumpul di rumah kakak pertama di Lumajang,’’ ujar suami dr Rindang S.H.W. itu.

Momen Imlek menjadi ajang untuk melepas rindu. Riski menjadi pusat perhatian keluarga. Dia selalu berbagi cerita seputar penugasan. Misalnya, saat dia masuk satuan tugas pelayanan kesehatan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Bali.

Begitu pula saat dia bertugas di tim pengamanan RI-1 pada berbagai kunjungan kerja dan satgas peledakan ranjau bersama satuan kapal antiranjau. ’’Cerita seputar HUT Ke-69 TNI akan menjadi perbincangan,’’ ujar ayah Dyonisius Science Diwangkara Riyadi, 1, itu.

Pluralisme juga mewarnai hidup Letda Laut (K/W) dr Christina Widosari. Keluarga besarnya menganut keyakinan beragam. Orang tuanya yang keturunan Tionghoa memeluk agama Islam sebelum Christina lahir. Namun, mereka tetap berupaya menjaga tradisi setiap Imlek.

Pada akhir Oktober 2014, Christina baru melepas masa lajangnya. Personel Korps Wanita TNI-AL itu dinikahi sesama prajurit TNI-AL, yakni Lettu Laut (KH) Satria Wijaya. Meski belum genap empat bulan menjadi istri, dokter yang bertugas sebagai perwira urusan dukungan kesehatan di Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar tersebut kembali ”membujang”. Sebab, sang suami ditugaskan di Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) X Jayapura.

Keseharian Christina sering dihabiskan di rumkital. Setiap hari selalu ada pasien yang harus dia periksa. Selain anggota tetap (antap) maupun istri antap (Jalasenanstri), rumkital melayani keluarga inti antap.

Tidak jarang, pasien dari lingkungan keluarga Koarmatim yang sakitnya parah harus dirawat inap di rumkital tersebut. Hal itu lumayan bisa menyibukkan anak sulung di antara dua bersaudara alumnus kedokteran Univertitas Hang Tuah (UHT) Surabaya tersebut.

Berbagai karakter pasien dihadapi Christina dengan sabar. Christina memang dididik di lingkungan keluarga yang penuh toleransi. ’’Ayah saya, Ki Madyo Dwi Utomo Susilo (Lo Siang Kiem), yang Tionghoa Surabaya bersama ibu, Mudrikah Sari, asal Jawa Lamongan membuat muslim di lingkungan keluarga ikut menjaga tradisi yang diturunkan kakek dan nenek,’’ tutur Christina.

Toleransi itu pula yang membuat Christina tak menemui banyak kendala saat kali pertama mendaftar sebagai prajurit matra laut. Padahal, tidak ada seorang pun anggota keluarganya yang berprofesi prajurit. Perjuangan alumnus SMP dan SMA Petra 5 Surabaya itu menjadi dokter diretas melalui jalur beasiswa TNI. UHT merupakan salah satu perguruan tinggi di bawah yayasan pendidikan yang dikelola TNI. Christina lolos seleksi kedokteran setelah mengungguli ratusan, bahkan ribuan pelamar.

’’Awalnya coba-coba dan ingin langsung dapat kerja,’’ tegas Kowal hasil pendidikan perwira karir (PK) angkatan 18/2012 itu.

Menjadi istri seorang prajurit TNI-AL, Christina harus siap ditinggal berlayar maupun keperluan dinas lain. Waktunya pun tidak sebentar, bisa berbulan-bulan, bahkan lebih.

Namun, dokter kelahiran Surabaya, 27 tahun silam, itu sudah terbiasa dengan pola hidup tersebut. Christina pun tidak kaget harus berjauhan dengan sang suami. Termasuk, saat masa-masa bulan madu setelah mengadakan resepsi pernikahan pada 26 Oktober 2015 di Graha Samudra Bumimoro.

Menyandang status sebagai istri turut membedakan peringatan Imlek Christina tahun ini dengan imlek-imlek sebelumnya. ’’Mulai Imlek 2015, saya tidak lagi menerima angpao. Tapi, membagi-bagikan angpao ke saudara dan keponakan yang belum berkeluarga,’’ ujar perempuan dengan tahi lalat di bawah mata kiri itu. (*/c7/oni)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Mantan Pecandu Narkoba, Sempat jadi Preman, Hendak Bunuh Pacar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler