Duh..SMA/SMK Kaji Kenaikan SPP

Senin, 07 Agustus 2017 – 20:44 WIB
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Foto: JPG/Pojokpitu

jpnn.com, SURABAYA - SMA/SMK di Surabaya mulai menunjukkan keberatan dengan besaran sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP) yang dikurangi.

SPP yang selama ini ditentukan berdasar surat edaran (SE) besaran pendanaan pendidikan itu tidak bisa menutup kebutuhan operasional sekolah.

BACA JUGA: SMA/SMK Dialihkan ke Pemprov, Jatah BOS Menyusut

Karena itu, beberapa sekolah mulai mengutak-atik besaran SPP yang pas.

Apalagi, siswa baru SMA/SMK mulai masuk. Kebutuhan sekolah pun kian meningkat.

BACA JUGA: Pemko Malang Baik Banget

Bahkan, rapat musyawarah kerja kepala sekolah (MKKS) berencana menyamakan standar pengeluaran sekolah.

Misalnya, untuk gaji GTT/PTT. Dana BOS juga belum bisa digunakan untuk menggaji GTT lantaran belum ada SK gubernur.

BACA JUGA: Sudah Ditolak MK, Bagaimana Nasib Siswa Kurang Mampu?

"Kalau di SE, besaran SPP SMA Rp 150 ribu. Tapi, hitungan kami bisa sampai Rp 250 ribu," ujar Kepala SMAN 21 Yatno Yuwono.

Meski demikian, dia mengaku masih menahan diri untuk menarik SPP.

Pertimbangannya, banyak wali murid yang memohon keringanan SPP. Kini Yatno harus pintar-pintar mengirit kegiatan operasional.

Jika ada kegiatan yang memang mendesak, bisa digunakan besaran dana sesuai kesepakatan komite.

Kepala SMKN 6 Siti Rochanah juga merasakan SPP yang mepet. Namun, dia menyampaikan bahwa hingga saat ini, pihaknya belum berencana menaikkan SPP.

Mayoritas siswa SMKN 6 berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Karena itu, dia merasa perlu mempertahankan besaran SPP.

Meski begitu, Siti membenarkan bahwa saat ini sekolah cukup sulit memenuhi berbagai kebutuhan.

Banyaknya siswa yang tidak bisa membayar secara penuh membuat sekolah harus rela mengirit anggaran pembelanjaan.

Di SMKN 6, ada dua besaran SPP yang harus dibayarkan siswa setiap bulan.

Untuk jurusan teknik, siswa harus membayar SPP sebesar Rp 215 ribu. Untuk nonteknik, siswa diwajibkan membayar SPP senilai Rp 175 ribu.
"Nah, dari kewajiban itu, sebanyak 25 persen siswa SMKN 6 meminta keringanan SPP," terangnya.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman menyatakan, pendidikan merupakan urusan konkuren.

Itu menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat.

Dengan begitu, peran masyarakat dalam pendidikan juga sangat diperlukan. Salah satunya melalui SPP.

Dalam hal RKAS, jelas dia, ada dua sumber dana. Yakni, dana BOS dan SPP yang sudah diatur melalui SE gubernur.

Yakni, Rp 150 ribu untuk SMA serta Rp 215 ribu untuk SMK. Adapun pengeluaran, jelas dia, berkaitan dengan kinerja sekolah itu sendiri.

Jika kekurangan dana, sekolah bisa membicarakannya dengan komite sekolah.

Dengan demikian, ditemukan besaran yang bisa disepakati bersama. Jika semua warga sekolah setuju, itu menjadi ketetapan.

"Kalau ada yang tidak setuju, tidak apa-apa. Bahkan, ada yang gratis," jelasnya.

Apabila sekolah mengajukan kenaikan besaran SPP, pihaknya akan mengecek terlebih dahulu. Tujuannya bisa diaudit dan dikoreksi.

"Mana yang urgen, dihitung ketemu berapa," terangnya.

Misalnya, untuk kenaikan SPP dari Rp 150 ribu menjadi Rp 250 ribu, Saiful menilai besaran itu terlalu tinggi.

Setidaknya Rp 200 ribu masih relevan. Demikian pula besaran SPP Rp 85 ribu menjadi Rp 200 ribu.

Saiful menerangkan, saat ini proses audit RKAS sedang berlangsung.

Sebagian besar sekolah telah menyetorkan kebutuhannya. Dia memprediksi, seluruh hasil audit rampung pada minggu ketiga Agustus ini.

"Kami akan umumkan. Sekolah yang kami nilai pengeluarannya tidak masuk akal akan dipanggil," terangnya.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof Akh. Muzakki mengatakan, pengajuan besaran SPP itu menjadi fakta yang dihadapi sekolah.

Sekolah tentu bisa mengajukan data kepada Dispendik Jatim.

Sebelumnya, SE besaran pendanaan pendidikan tersebut mengacu pada rumus dari indeks pembangunan manusia masing-masing kabupaten/kota dan pendapatan daerah.

Namun, berdasar pengalaman selama setengah tahun pengelolaan SMA/SMK oleh provinsi, sekolah bisa mengukur anggaran yang dibutuhkan.

Pihak provinsi juga tidak bisa menutup mata terhadap fakta tersebut. "Sekolah bisa menghitung kebutuhan melalui cabang dinas, lalu meneruskan ke provinsi," katanya.

Namun, dalam prosesnya, sekolah sebaiknya perlu bertemu dengan musyawarah kerja kepala sekolah (MKKS).

Dengan demikian, ada benchmarking antarsekolah untuk mencari formula dan kesepakatan bersama dengan kepala sekolah.

Dengan begitu, ada win-win solution. "Sekolah tidak terbebani dengan kebutuhan anggaran. Masyarakat juga tidak terbebani. Cabang dinas harus memfasilitasi," jelasnya. (puj/elo/c6/git/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengelolaan SMA dan SMK, Perlu Terobosan di UU Pemerintahan Daerah


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler