Dulu, Gurunya Bung Karno Juga Menyoal Harga Garam

Kamis, 03 Agustus 2017 – 19:10 WIB
Petani garam di Madura pada zaman Hindia Belanda. Foto: Dok. Tropenmuseum.

jpnn.com - ASINNYA harga garam sedang jadi buah bibir. Ini bukan perkara baru. Pada zaman kolonial, polemik garam pernah juga jadi isu utama. Tjokroaminoto, gurunya Bung Karno ambil bagian.

Wenri Wanhar & Yudi Anugrah N

BACA JUGA: Garam Makin Mahal, Harga Ikan Asin Melejit

Pucuk pimpinan Sarekat Islam (SI) Tjokroaminoto datang ke Duko, Sumenep, Madura, 15 Desember 1916.

Hari itu, SI Sampang, Madura yang dipimpin Haji Syadzili memobilisasi dan mengonsolidasikan para petani dan produsen garam.

BACA JUGA: Pemerintah Putuskan Impor 75 Ribu Ton Garam

Aksi ini buah dari investigasi Haji Syadzili bersama Hasan bin Semit yang mendapati beragam sengkarut permasalahan garam di Madura.

Konsolidasi yang dihadiri langsung oleh Tjokroaminoto selaku pimpinan pusat SI itu melahirkan petisi: Pemerintah selaku pemegang monopoli garam, harus menaikkan harga dari 10 menjadi 25 gulden tiap koyang.

BACA JUGA: Garam Impor Masuk, Petani Ambruk

Sekoyang itu 30 pikul. Atau 1.825 Kg.

Selain kenaikan harga, petisi itu juga memuat protes berkait persoalan teknis nan merugikan para pembuat garam.

Misalnya, kecurangan timbangan agen pemerintah, pembersihan kotoran dengan biaya besar, dan permintaan berlebih pemerintah untuk perbaikan tambak garam.

Petisi tersebut di atas tersua dalam laporan AK, Mr, 1801/1918, CSI yang berkedudukan di Suarabaya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, bertanggal 27 Desember 1916.

***

Tjokroaminoto menepati janji yang disampaikannya di hadapan petani dan produsen garam Madura. Petisi Garam dibawanya ke pemerintah pusat.

Kakek buyut artis Maia Estianty itu pun melakukan audiensi dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada 1 Maret 1917.

Haji Syadzili dan para pemimpin SI Madura turut serta.

“Masalah harga garam ditangani SI secara konstitusional,” tulis Kuntowijoyo dalam Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal di Madura, 1913-1920.

Apa lacur. Pemerintah kolonial pandai pula bermain akrobat.

Melalui Direktur Zoutregie atau Jawatan Garam, pemerintah menghembuskan isu ke akar rumput bahwa Haji Syadzili hanya mewakili suara pemilik tambak garam, bukan petani dan pekerja.

Menepis isu itu, SI membeberkan bukti buruknya kondisi kerja dan upah di pabrik garam milik pemerintah.  

Oetoesan Hindia, koran terbitan Sarekat Islam edisi 28 September 1918 menurunkan berita sebagai berikut...

Di pabrik garam, “kondisi kerja begitu jelek sehingga anak-anak perempuan di bawah umur harus bekerja pada giliran malam dan harus menginap di barak-barak pabrik, tidur di lantai berdempet-dempet seperti ikan sardin.”

Polemik garam pun menjadi isu utama. Bahkan, sampai  menjadi agenda pokok di sidang Volksraad (kini semacam DPR).

Abdul Muis, wakil SI di Volksraad cukup vokal. Dewan lantas merekomendasikan harga 15 gulden, dari tuntutan 25 gulden.

Kendati tidak berkabul penuh, mempertimbangkan perjuangan maksimal jalur konstitusional para pimpinan SI di pusat, “pemimpin-pemimpin SI di Madura secara implisit mendukung rekomendasi tersebut,” tulis Kuntowijoyo.

Rekomendasi Volksraad memang sudah dikantong. Namun, praktek di lapangan masih seperti sebelumnya. Tak ada perubahan.

SI terus mendorong perwujudan nyata keputusan itu.

Serangkaian pertemuan kembali digelar. Sebanyak 448 pemilik tambak dari 23 desa dan pekerja yang mengaku mewakili 15.000 suara, berkumpul di Sampang, 5 Desember 1918.

Keesokan harinya, pertemuan sejenis diadakan di Sumenep. Lalu menjalar ke Pamekasan, dua hari kemudian.

Pemerintah Hindia Belanda gerah juga. Mereka menawarkan jalan tengah dengan membentuk komisi bersama melibatkan semua unsur.

Komisi berisi 7 anggota. Terdiri dari 4 orang Belanda, dan 3 orang Bumiputera, termasuk Haji Syadzili. Ketua Komisi dipegang Direktur Jawatan Garam.

Bagi pemerintah, Syadzili merupakan unsur pemilik tanah, sedangkan dua anggota bumiputera lain mewakili pekerja dan dewan.

Tarik ulur perundingan garam di Komisi berlarut-larut. Imbasnya, Syadzili mendapat kritik pedas dari sesama anggota SI Sampang saat kongres tahunan SI, 1919.

Sosrodanukusumo menuduh Syadzili telah gagal membela hak-hak produsen garam.

“Politik garam bagi SI di Madura telah meminta korban, baik martabat maupun kepercayaan. Penundaan-penundaan dan ketidakpastian mengenai kenaikan itu agaknya telah menyebabkan erosi dalam keanggotaan SI,” tulis Kuntowijoyo.

Di samping itu, pada tingkat pemimpin telah timbul gesekan-gesekan. Hal ini, di antara alasan-alasan lain, menandai merosotnya SI di Madura pada 1920-an.

Harga garam menjadi 15 gulden tiap koyang, sebagaimana rekomendasi Volksrad pada 1918, baru terwujud pada 1923.

Apa boleh buat. Saat itu, asinnya harga garam sudah terlanjur membuat kepercayaan petani garam terhadap SI Madura berkarat. (wow/jpnn)

Baca juga: Krisis Garam Karena Ulah Kompeni 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Krisis Garam Karena Ulah Kompeni


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler