Dulunya Makmur, Kini Meraung Terbayang Kekelaman

Jumat, 06 Mei 2016 – 11:58 WIB
Tampak Bidan Endang Sumarmi (berkacamata/kanan) dan Bidan Rinda (kiri/pakai layer kuning) saat menuntut untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil, Rabu (4/5). FOTO: Mesya Mohamad/JPNN.com

jpnn.com - PADA era orde baru, para bidan desa menikmati kesejahteraan yang luar biasa. Itu menjadi salah satu alasan mereka tak tebersit di kepala mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Namun, seiring pergantian era, niatan menjadi PNS pun kian menggebu. Apa pasal? Ternyata kesejahteraan bidan desa berkurang lantaran gempuran program layanan gratis yang dicanangkan pemerintah saat ini di era reformasi.

BACA JUGA: Ternyata, Abu Sayyaf Salah Tangkap...

MESYA MOHAMAD, Jawa Pos National Network (JPNN.com)

WAJAH putih mulus bidan Endang Sumarmi bersemu merah. Meski wajah itu dilindungi jilbab dan topi merah, namun panas terik tak mampu dihadang. Di usinya yang ke-44 tahun, Endang masih terlihat cantik dan singset.

BACA JUGA: Bukanlah Cedera Biasa

Guratan halus di wajahnya pun tidak kelihatan, kecuali kalau memperhatikan detil. Ada garis halus yang menunjukkan bidan cantik ini sudah berkepala empat.

Ya, Endang menghabiskan hari-harinya dengan mengabdi sebagai bidan di Desa Tengaran, Jombang, Jawa Timur. Begitu lulus Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK), Endang melanjutkan ke Pendidikan Program Bidan (P2B).

BACA JUGA: Para Sandera Pindah-pindah, Dibawa ke Gubuk di Tengah Hutan

Saat itu, istri Arif Hidayat yang juga berprofes sebagai perawat, berusia 22 tahun. P2B adalah program andalan Presiden Soeharto kala itu dalam menekan angka kelahiran, angka kematian ibu dan bayi.

Program ini sukses hingga menghantarkan Indonesia sebagai negara yang berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk, AKI, dan AKB. Presiden Soeharto bahkan dinobatkan sebagai bapak Keluarga Berencana (KB).

Endang menuturkan, menjadi bidan desa di era Presiden Soeharto sangatlah enak. Meski mengabdi di wilayah perdesaan dengan berbagai klasifikasi (biasa, menengah, terpencil), para bidan rata-rata hidupnya makmur. Setiap masa kontrak berakhir, SK bidan desa otoma‎tis keluar tanpa bayaran sepeser pun. Bahkan, ketika SK keluar, para bidan mendapatkan uang saku sebagai modal awal pelayanan kepada masyarakat.

Bidan desa pun diberi keleluasaan melayani pasien secara mandiri. Meski di era Orde Baru, pemerintah gencar dengan program Dua Anak Cukup, namun bidan desa bisa menikmati pendapatan Rp 15 juta sampai Rp 20 juta sebulan.

“Ya gimana gak banyak pendapatan bidan. Kami diberi keleluasaan menarik dana minimal Rp 750 ribu sekali tindakan untuk pasien melahirkan. Kalau kondisi pasien susah, saya hanya minta Rp 250 ribu sebagai pengganti obat-obatan saja,” ungkap Bidan Endang mengenang masa-masa enaknya.

Endang punya pengalaman pasien tidak mampu bayar, akhirnya menggantikannya dengan bahan natura. Bagi Endang, itu salah satu bentuk pengabdian bidan desa, apalagi tidak semua pasien yang tidak bisa bayar.

Kan dulu penduduknya sejahtera, semua serba murah. Jadi punya tabungan untuk lahiran," selorohnya dengan logat Jawa medoknya.

‎Ibarat pengantin baru, masa-masa enaknya tidak bertahan lama. Pada 1998 ketika krisis moneter melanda yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, nasib para bidan desa pun berubah 180 derajat.

Program Presiden Soeharto tidak dilanjutkan. Bahkan ditenggelamkan. Para bidan desa pun meraung karena masa depannya yang kelam sudah terbayang. Setiap perpanjangan kontrak, mereka harus membayar Rp 350 ribu kepada petugas Dinas Kesehatan dengan alasan untuk biaya administrasi.

‎‎Bidan Endang yang tengah hamil meminta dimutasikan ke wilayah pengabdian suaminya. Namun permintaan itu ditolak, Endang pun memilih berhenti. Namun jiwa Endang yang dekat dengan pelayanan, menghantarkannya kembali menjadi bidan desa. 

Namun Endang merasakan ketimpangan yang sangat jauh. Tidak ada lagi uang saku untuk perpanjangan kontrak. Para bidan desa PTT diwajibkan membayar uang administrasi yang jumlahnya naik terus setiap tahun. Tahun 1998, bayarannya Rp 350 ribu, tahun 2005 naik menjadi Rp 2,5 juta dan 2015 melonjak belasan juta hingga puluhan juta rupiah. 

Dengan segudang pengalamannya, Endang pun langsung diangkat sebagai bidan desa PTT pada 2005 dan mengantongi SK Menkes.‎ Namun, kesejahteraan yang dirasakan Endang tinggal sekecap saja.

Dia dihadapkan dengan berbagai program pemerintah yang menggratiskan layanan kesehatan untuk ibu hamil, plus Jamkesmas. Padahal program itu jadi ladangnya bidan desa.

Bidan desa tidak‎ dibolehkan pasang tarif sesukanya. Sekali tindakan, bidan desa hanya dibolehkan menarik Rp 350 ribu. Itupun klaimnya harus menunggu tiga bulan.

“Pokoe susah hidup kami sekarang. Sudah dipungli, layanan kesehatan juga banyak digratiskan. Ujung‎-ujungnya pendapatkan kami merosot tajam hingga separuhnya," keluhnya.

Setiap bulan, Endang hanya mendapatkan uang Rp 7,5 juta. Itu pun kotor alias belum dihitung dengan pengeluaran obat serta lainnya. Bila dihitung-hitung, Rp 350 ribu impas dengan tenaga bidan.

“Yo kami gak dapat apa-apa toh, obatnya kan mahal. Biar pasiennya buanyakkk, pendapatan kami justru turun drastis. Dulu zaman mbah Harto, pasien sedikit tapi pendapatan kami sampai puluhan juta," sergahnya.

Kisah berbeda dialami‎ Rinda Wana, bidan di Desa Batu Kebayan Lampung Barat. Rinda menjadi bidan di usia 29 tahun dengan pendapatan Rp 500-an ribu.  Saat ini usianya 36 tahun, bayaran yang diterima Rp 2,5 juta. Di luar itu bidan Rinda mendapatkan tambahan Rp 5 juta untuk melayani pasien melahirkan. 

Rinda tidak merasakan enaknya menjadi bidan‎ desa zaman Orde Baru. Begitu jadi bidan, lulusan Akademi Kebidanan ini sudah dihadapkan dengan berbagai pungli. Setiap tiga tahun, Rinda was-was karena harus membayar belasan juta untuk membayar perpanjangan kontrak. Tanpa mengeluarkan uang, SK-nya tidak diperpanjang lagi.

“Kami hanya menuntut jadi PNS, kalau tidak pungli merajalela. Lagipula nasib kami tidak seenak dulu lagi. Jamkesmas, Jampersal justru membuat nasib bidan desa melarat," seru bidan Endang yang diaminkan bidan Rinda.‎(esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... TEGANG! Abu Sayyaf Menyamar, Tiba-tiba Todongkan Senjata


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler