jpnn.com - SETELAH 37 hari disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf, 10 WNI akhirnya dibebaskan. Salah satunya Wendi Rakhadian, 29, yang kini sudah berkumpul dengan keluarganya. Bagaimana kisahnya ?
Vandi Syaputra-Padang
BACA JUGA: TEGANG! Abu Sayyaf Menyamar, Tiba-tiba Todongkan Senjata
Selasa (3/5) pukul 09.20. pesawat Citilink yang ditumpangi Wendi mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Kedua orang tua Wendi dan sejumlah kerabat dekat yang sudah menunggu dari tadi terlihat sudah tak sabar bertemu kembali dengan sulungnya.
Sementara itu di kediaman orang tua Wendi di Jalan M. Hatta Kelurahan Pasar Ambacang No 19 A Kecamatan Pauh, Padang, kedatangan Wendi juga telah ditunggu kerabat dan tetangga. Pukul 10.00, rombongan Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah dan Wakil Wali Kota Padang Emzalmi yang yang membawa Wendi sampai di rumah.
BACA JUGA: Nyala untuk Yuyun, agar Kasus Gelap jadi Terang
Kedatangan Wendi disambut oleh ratusan ucapan selamat oleh orang-orang yang telah menunggunya dari pagi.
Di rumahnya, Wendi menuturkan pengalamannya selama 37 hari hidup dengan status tawanan kelompok Abu Sayyaf.
BACA JUGA: Keris Ini Harganya Rp 6 Juta, Pesanan Mahasiswa
Wendi menuturkan, sore itu, tanggal 25 Maret kapal tongkang Brahma 12 yang saat itu berada di perairan Filipina tiba-tiba dicegat oleh sebuah speedboat yang ditunggangi kelompok Abu Sayyaf.
Seingat Wendi, dalam speedboat itu ada 11 orang bersenjata lengkap dengan penutup wajah tiba-tiba naik ke kapal Brahma 12 yang ditumpangi Wendi bersama 9 WNI lainnya.
“Awalnya mereka (kelompok Abu Sayyaf) bicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti, lalu tiba-tiba ada seorang dari mereka yang menggunakan bahasa Inggris,” tutur Wendi.
Menurut penuturan Wendi, tanpa kekerasan, kelompok Abu Sayyaf kemudian mengintruksikan Wendi dan 9 WNI lainnya untuk pindah ke speedboat. Di saat bersamaan 3 speedboat Abu Sayyaf lainnya datang menghampiri kapal bersiap membawa 10 WNI tersebut. Setelah berpindah ke speedboat, kapal Brahma 12 ditinggalkan begitu saja. Wendi tidak tahu bagaimana nasib kapal tersebut selanjutnya.
“Kami tidak melawan dan mereka (Abu Sayyaf) juga tidak melakukan kekerasan. Karena takut mereka bersenjata, jadi kami ikut saja instruksi mereka (Abu Sayyaf),” tutur Wendi.
Langit saat itu sudah semakin gelap, Wendi tidak tahu persis saat itu pukul berapa, namun perkiraannya waktu itu sudah subuh. Wendi serta 9 rekannya kemudian dibawa ke suatu pulau.
“Setahu saya itu sudah di Filipina, tapi nama pulaunya apa, lokasi tepatnya di mana saya tidak tahu,” tutur Wendi.
Selama menjadi tawanan Abu Sayyaf, jelas Wendi tak henti-hentinya dihantui rasa takut, yang membuatnya tak henti-hentinya berdoa.
Wendi menceritakan, selama ditawan dia dan tawanan lain diperlakukan cukup baik oleh Abu Sayyaf, namun setiap gerak-geriknya terus diawasi. Baik saat tidur, buang air, mandi, dan beribadah pun diawasi.
“Kalau waktu kami tidur ada yang mengawasi secara bergantian, kalau ke mana-mana pasti ada salah seorang dari mereka mendampingi dengan senjata. Rata-rata senjata yang mereka pakai jenis M16,” kata Wendi.
Soal ibadah, Wendi mengaku tidak menemui halangan. Namun dia tidak menampik kalau ada salah seorang rekannya yang non muslim mengaku sebagai muallaf kepada Abu Sayyaf. Kendati demikian, Wendi mengaku tidak ada paksaan untuk ibadah sama sekali oleh Abu Sayyaf.
“Mereka (Abu Sayyaf) juga shalat, tapi tidak berjemaah dengan tawanan. Kami kalau shalat juga diawasi,” kata dia.
Untuk makan, para sandera diberi makan yang sama dengan para anggota kelompok Abu Sayyaf 3 kali dalam sehari walau menu makanan yang disajikan tidak menentu.
Sementara untuk buang air Wendi melakukannya di semak-semak di belakang sebuah pohon yang tak jauh dari camp tawanan.
“Biasanya nasi atau buah, makanan kita (sandera) sama dengan mereka (Abu Sayyaf),” aku Wendi.
Wendi melanjutkan, untuk air minum dan MCK mereka memang sedikit kesulitan. Pasokan air biasanya ditampung dari air hujan dan kadang-kadang air juga dikirim dari pulau-pulau sekitar. “Untuk minum memang agak susah, kalau nggak dari menampung air hujan ya airnya dikirim dari pulau lain,” paparnya.
Wendi menuturkan, selama disandera sering berpindah-pindah pulau. Alasannya untuk menghindari kontak senjata dan menjaga keselamatan para sandera.
“Nggak ingat berapa kali pindah pulau, pokoknya sering. Biasanya di pulau-pulau itu di tengah hutannya ada gubuk. Jadi kami dibawa ke sana,” paparnya.
Wendi mengaku, selama menjadi sandera tidak banyak komunikasi yang terjalin antara sandera dan anggota Abu Sayyaf. Hal itu dikarenakan ada kendala bahasa.
“Mereka yang bisa bahasa Inggris paling cuma satu orang,” jelas Wendi.
Selama ditawan, Wendi mengaku tidak ada kegiatan sama sekali. Kelompok Abu Sayyaf pun juga tak pernah memaksa tawanan untuk bekerja.
“Kami tidak ada kegiatan. Saya hanya berdoa agar bisa pulang,” aku Wendi, seperti diberitakan Padang Ekspres (Jawa Pos Group).
Wendi menuturkan, untuk informasi sama sekali putus dari dunia luar, dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar. Bahkan perkembangan negosiasi antara pemerintah Indonesia dan Abu Sayyaf pun tidak pernah diinformasikan kepada sandera.
“Waktu itu pagi, tiba-tiba kami dibangunkan dan kemudian dibawa keluar pulau. Waktu itu saya tidak tahu kami akan dibawa ke mana, ternyata saat itu kami bebas,” tuturnya. (PE/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Guru Ini Hebat, Inovatif, Inspiratif...
Redaktur : Tim Redaksi