TEGANG! Abu Sayyaf Menyamar, Tiba-tiba Todongkan Senjata

Rabu, 04 Mei 2016 – 18:06 WIB
Peter Barahama ditemui di Amaris Hotel, Tangerang. Foto: Surya Kawung/Manado Post/JPG

jpnn.com - TIGA pelaut asal Sulut, Peter Barahama, Julian Philip, dan Alvian Repi, pastilah tidak akan pernah melupakan peristiwa 26 Maret. Saat kapal Brahma 12 dibajak kelompok bersenjata Abu Sayyaf. Berikut kisah Julian dan Peter.

Surya Kawung, Jakarta

BACA JUGA: Nyala untuk Yuyun, agar Kasus Gelap jadi Terang

AWALNYA hanya terasa biasa saja. Memang mencuat kabar, mesin mengalami trouble. Dan mengharuskan mereka untuk berlabuh. Namun, dipaksakan untuk tetap berlayar. Itulah yang dipikirkan Julian Philip, seorang Chief Officer Kapal Brahma 12.

Setelah beberapa lama berlayar, di tengah laut, mereka berjumpa dengan beberapa orang. Kode mereka melambaikan galon air minum, menandakan orang-orang itu membutuhkan air. Tanpa ada rasa curiga, diizinkanlah mereka menaiki kapal.

BACA JUGA: Keris Ini Harganya Rp 6 Juta, Pesanan Mahasiswa

Terlihat memang mereka membawa senjata. Namun, diakui Julian, mereka tetap tidak curiga. Sebab, para kawanan ini memakai pakaian Phillipine National Police (PNP). Menandakan mereka anggota kepolisian Filipina. Tapi, setelah beberapa saat, mulailah mereka beraksi dengan main todong senjata.

“Waktu itu, pukul 15.20 waktu setempat. Bukan shift saya,” katanya kepada Manado Post (Jawa Pos Group), Selasa (3/5).

BACA JUGA: Tiga Guru Ini Hebat, Inovatif, Inspiratif...

Baru kemudian satu juru mudi datang ke bawah bersama dua orang bersenjata. Untuk menjemput Julian. “Mereka langsung menodong dengan senjata. Sontak saya melompat dari tempat tidur. No problem,” tuturnya sembari mengangkat tangan menyerah.

Ia langsung diberi kode untuk menuju ke anjungan. Ketika sampai di atas, tangan dan kakinya langsung diikat. Bersama awak kapal lainnya. Saat kejadian, Julian mengaku ada delapan orang yang datang membajak.

Waktu itu kapal mereka diarahkan ke bagian timur, ke daerah sekitar Kepulauan Tawi-Tawi. Sekira beberapa jam kemudian tongkang disuruh lepas. 

Sebab, rencananya mau melepas jangkar dari tongkang. Tapi, tidak diizinkan pembajak. Karena dinilai memakan waktu yang lama. “Pikir mereka, nanti jika kelamaan, akan terdeteksi pemerintah, dan patroli keamanan laut,” jelasnya.

Sampai di bagian utara Tawi-Tawi sekira pukul 01.00 dini hari. Datang lagi perahu lainnya. Berjumlah tiga perahu. Total ada lima perahu yang akan membawa 10 anak buah kapal (ABK) Brahma 12. Ditambah tiga orang perompak. Jumlah 11 orang pembajak.

Dari situ, kapal diberhentikan. Dan awak Kapal Brahma 12 disuruh naik ke perahu yang dibawa kelompok Abu Sayyaf. Mereka dibagi beberapa orang untuk menumpangi lima perahu itu.

Akhirnya, dibawalah mereka ke pulau kecil sekira pukul 04.00 subuh. Dan menunggu di situ. Sambil para teroris memantau lingkungan laut sekitar.

Setelah dirasa aman, katanya lagi, mereka bersama kami melanjutkan perjalanan pada pukul 08.00. Hingga tiba di sebuah tempat yang diakui Julian tidak tahu persis nama pulau itu. Tiba di pulau itu sekira pukul 13.30.

“Perjalanannya lumayan jauh. Karena berangkat dari pagi dan siangnya baru tiba,” terangnya yang saat itu memakai kaos hitam.

Mereka turun di pulau itu. Dan dijemput sebuah truk. Bersama sekumpulan anggota Abu Sayyaf. “Mereka memakai penutup wajah. Semuanya membawa senjata. Sehingga kami takutnya minta ampun,” ungkapnya.

Akhirnya dari situ, sandera langsung dibawa pakai truk. Diakuinya, ada juga yang pakai motor dan berjalan kaki. Sekira dua jam lebih dibawa masuk ke dalam hutan. Dan di situlah mereka tidur. Hanya beralaskan tanah. Dan beratapkan langit. “Jika hujan, maka kehujanan. Jika panas, maka kepanasan,” akunya.

Soal makanan, imbuhnya, mereka diberi makan nasi dan ikan. Terkadang makan nasi dan mi instan. Ataupun hanya mi instan yang dimakan mentah. Dan mereka diberi makan tidak menentu. 

Dikatakannya, ada yang tiga kali sehari, dua kali sehari, satu kali sehari, bahkan pernah sehari tidak makan. “Tergantung jarak dari penyuplai makanan. Bahkan hanya buah dan daun yang tumbuh di hutan,” tambahnya.

Julian menyebut, mereka selalu berpindah tempat. Tatkala terdengar informasi, ada tentara Filipina yang mendekat. “Kami tidak tahu lagi berapa kali pindah tempat. Pokoknya, setiap ada yang mencurigakan, langsung bergeser ke lokasi lain,” sebutnya.

Kegiatan setiap hari, kata Julian, mereka hanya melihat para kelompok teroris ini terus mengadakan negosiasi dengan pihak perusahaan. Melalui informan mereka. Dan mereka terus diberitahu, setiap ada kabar terbaru. Diakuinya, kelompok Abu Sayyaf terbagi beberapa faksi (grup).

“Puji Tuhan, kami tidak pernah disiksa. Memang semua itu karena kebaikan Tuhan,” cetusnya sembari menambahkan, sekira 20 sampai 30 orang yang menjaga mereka.

Julian mengaku bersyukur. Kata mereka tidak jatuh di tangan faksi lain. Yang bisa saja katanya, melakukan tindak kekerasan.

Untuk umur para teroris, Julian mengaku hanya bisa mendeteksi lewat suara. Karena wajah tertutup. Hanya mata yang kelihatan. “Menurut saya, banyak dari mereka yang masih muda,” tambahnya.

Sampai pada waktu pembebasan Minggu (1/5), mereka diantar dari tempat penyanderaan. Dijemput sebuah mobil. Sekira pukul 12.00 waktu setempat.

“Tidak tahu mobil dari mana. Kami turun dari perahu. Orang dari mobil itu turun dan naik perahu yang kita naiki. Sedangkan kami naik ke dalam mobil itu,” jelasnya.

Julian melanjutkan, tidak ada pengawalan sama sekali. Mereka dibawa mobil itu tanpa pengawalan. Oleh seorang yang tidak dikenal. Mereka hanya diarahkan saja, sampai di kota jika sudah dapat pompa bensin, langsung lompat saja.

Karena mobil tersebut tidak akan berhenti, akan jalan terus. “Akhirnya pada saat hujan deras itu, kami bersepuluh langsung lompat. Dan mencari informasi.”

Bertanya-tanya di sekitar pasar. Dan bertanya letak rumah gubernur. Mereka menunjukkan ke arah rumah gubernur. Ketika sampai, kami tanya ke security, dan diarahkan untuk berputar. Karena pintu utama rumah ada di sebelah.

Saat bertemu, mereka langsung dipersilahkan masuk dan disambut. Nama gubernur itu adalah Toto Tan. Seorang Gubernur Sulu. Gubernur sontak bertanya identitas mereka. “Jadi kami jawab, kami orang Indonesia yang disandera Abu Sayyaf,” bebernya.

Kemudian dijamulah mereka dengan minuman panas, kue, makanan, serta baju ganti. Karena baju mereka basah kuyup. Mengetahui kawanan ini sandera yang sudah dibebaskan, gubernur langsung menelpon jenderal. “Jadi, jenderal itu yang koordinasi semua. 

Tadinya kami akan diantar pakai speed boat dari Jolo ke Zamboanga. Yah mungkin karena rencana Tuhan, kami tidak jadi naik perahu speed boat. Tapi diantar pakai helikopter sampai di Zamboanga, selama dua jam perjalanan,” jelasnya.

Sampai di Zamboanga, Julian cs langsung disambut tentara Angkatan Darat Filipina. Dan melakukan pengecekan kesehatan. Setelah itu, diwawancara berbagai pihak. Dan memberikan keterangan sesuai apa yang dialami mereka. Setelah itu mereka dipindahkan ke ruangan lain. Dan ditanyai lagi. “Mungkin dari Interpol. Termasuk dari perwakilan Indonesia,” ungkapnya.

Di Zamboanga, diakui Philip, mereka dimintai keterangan sekira tiga jam. Dari situ, naiklah para korban sandera ini ke pesawat yang khusus membawa mereka ke Indonesia.

Berangkat dari Zamboanga Minggu (1/5) lalu, sekira pukul 19.30 waktu Filipina, menuju Indonesia. Waktu tempuh selama satu jam 40 menit hingga tiba di Balikpapan. “Di sana pesawat diisi bahan bakar. Lalu lanjut ke Jakarta. Tiba pukul 23.30 WIB. Di Bandara Halim Perdanakusuma. Kemudian dijemput, langsung dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto untuk periksa kesehatan,” katanya lagi.

Mereka di-rontgen, ambil darah, periksa gigi. “Pokoknya semua bagian tubuh diperiksa. Lalu istirahat di rumah sakit itu juga,” jelasnya.

Pagi-pagi langsung dijemput. Dan dibawa ke Kementerian Luar Negeri, di Gedung Pancasila. Untuk diserahkan dari pemerintah ke perusahaan. Dan perusahaan ke keluarga. “Lalu, kami pergi ke perusahaan. Bertemu pimpinan perusahaan. Dari sana, kami langsung dibawa ke Amaris Hotel Tangerang,” imbuhnya.

Diakui Julian, tidak ada uang tebusan. Yang ada hanya melalui jalur diplomasi antar dua negara dan kelompok teroris. “Jadi mereka kasih tambahan waktu, sehingga pemerintah dapat menyelamatkan kami,” tambahnya.

Ia pun berterima kasih juga kepada perusahaan. Yang sangat peduli. Mulai dari tahap pembebasan, sampai proses kepulangan. Hingga bertemu keluarga. Bahkan, lanjutnya, diberikan fasilitas menginap di hotel, serta tiket pesawat untuk keluarga.

Sekarang, Julian mengaku tetap akan bekerja sebagai pelaut. Karena diakuinya, profesinya memang sudah sebagai pelaut. “Tidak ada rasa takut atau cemas untuk melaut lagi,” katanya bersemangat.

Sementara itu, Kapten Kapal Peter Tonsen Barahama mengatakan, untuk kapal dan tongkang belum tahu posisi jelasnya. “Yang pasti sudah berada di tangan pemerintah Filipina. Pihak pembajak tidak ambil kapalnya. Hanya orangnya,” tuturnya yang saat itu ditemani teman seperusahaan.

Kalau tebusan, katanya lagi, memang sempat ada negosiasi. Tapi saat dilepas, ia tidak melihat apakah ada uang yang diberikan kepada teroris atau tidak. “Karena dari speed boat, kami langsung naik ke mobil. Kami tidak lihat adanya uang tebusan yang diberikan,” ujarnya.

Barahama mengaku, setelah kejadian ini, ia tidak akan mundur dari profesinya. Sebab, katanya lagi, ini merupakan pengalamannya yang justru membuatnya makin semangat. “Saya tidak akan menggulung layar,” pungkasnya sambil tersenyum. (***/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Alhamdulillah! Setelah 17 Tahun Dipasung Akhirnya...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler