jpnn.com - JAKARTA - Infrastruktur selalu menjadi titik lemah perekonomian Indonesia. Selain kurangnya anggaran, pembangunan infrastruktur di Indonesia juga kurang efektif.
Ekonom yang juga Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, pada periode 1994-1997, Indonesia pernah mencapai porsi anggaran infrastruktur hingga 7,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun setelah itu langsung anjlok. Hingga kini, untuk mencapai rasio 3 persen PDB saja Indonesia kewalahan. "Masalah lainnya adalah rendahnya koefisien infrastruktur di Indonesia," ujarnya kemarin (4/7).
Koefisien infrastruktur adalah mengukur efek tambahan anggaran 1 persen PDB terhadap pertumbuhan ekonomi. Di Tiongkok, setiap tambahan 1 persen anggaran infrastruktur terhadap PDB mampu mendorong 0,33 persen pertumbuhan ekonomi, sedangkan di India 0,21 persen.
BACA JUGA: Renegosiasi Kontrak Tambang Pacu Ekspor
"Di Indonesia tambahan anggaran infrastruktur 1 persen PDB hanya mendorong 0,17 persen pertumbuhan ekonomi," katanya.
Menurut Enny, rendahnya efektivitas belanja infrastruktur disebabkan sudah terlanjur tertinggalnya Indonesia. Karena itu, Indonesia harus mengejar ketertinggalan dengan menambah belanja infrastruktur. "Untuk Indonesia, idealnya anggaran infrastruktur minimal 10 persen PDB," ucapnya.
Sebagai gambaran, dengan PDB Rp 9.000 triliun, alokasi anggaran infrastruktur yang ideal untuk Indonesia adalah Rp 900 triliun. Namun pada kenyataannya, alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN Perubahan 2014 hanya Rp 210 triliun.
Dengan begitu ada gap atau kekurangan Rp 690 triliun. "Bandingkan dengan Tiongkok yang mengalokasikan belanja infrastruktur hingga 9 persen PDB dan India 8 persen," ujarnya.
Rendahnya kualitas infrastruktur sangat berpengaruh pada daya saing ketika Indonesia masuk ke era ASEAN Economic Community pada 2015. Dia mencontohkan, peringkat logistik berdasar The Logistic Performance Index 2014, Indonesia berada di peringkat 53 dunia.
BACA JUGA: Transaksi Online Bakal Dikenai Pajak
Bandingkan dengan Singapura yang di posisi 5, Malaysia 25, Thailand 35, dan Vietnam 48. "Indonesia hanya unggul atas negara semacam Filipina, Kamboja, Laos, dan Myanmar," sebutnya.
Direktur Kerja Sama Pemerintah dan Swasta atau Public Private Partnership (PPP) Bappenas Bastari Pandji Indra mengatakan, butuh dana besar untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur di Indonesia. "Dalam lima tahun ke depan, kita butuh USD 550,3 miliar," ujarnya.
Menurut Bastari, dana yang setara dengan Rp 6.000 triliun itu dibutuhkan untuk membangun berbagai infrastruktur sepanjang periode 2015-2020. Mulai sektor transportasi, energi, perumahan, hingga telekomunikasi. "Kalau ingin ekonomi tumbuh dengan baik, semua infrastruktur harus dibenahi," katanya.
Meski demikian, Bastari mengakui kebutuhan dana infrastruktur USD 550 miliar itu tidak mudah didapat. Dia menyebut, pemerintah memiliki keterbatasan dana yang dialokasikan dalam APBN.
Karena itu, pemerintah akan mendorong partisipasi swasta maupun BUMN dalam pembangunan infrastruktur. "Ini dijalankan dengan skema public private partnership," ujarnya. (owi/oki)
BACA JUGA: KAI Luncurkan Paket Murah Saat Mudik
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakil Menteri Perindustrian Puji Ide Poros Maririm ala Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi