jpnn.com - Maskapai Garuda diplesetkan menjadi ‘’Good and Reliable Under Dutch Administration’’, bagus dan andal di bawah pemerintahan Belanda.
Ketika masih dikelola Belanda maskapai itu jaya, setelah dikelola rezim Indonesia, hampir bangkrut karena kebanyakan utang.
BACA JUGA: Peneliti Eijkman Meyakini Vaksin Masih Ampuh Melawan COVID-19
Garuda pun dipelesetkan menjadi ‘’Greedy and Relentless under Domestic Authority’’, rakus dan tidak berhenti (utang) di bawah pemerintahan domestik (Indonesia).
Di bawah rezim yang berkuasa sekarang Garuda rakus tidak henti menumpuk utang sampai hampir bangkrut.
BACA JUGA: Eijkman Minta Pemerintah Percepat Vaksinasi Sebelum Mutasi Virus Makin Banyak
Satu lagi lembaga bergengsi warisan Belanda yang sekarang tutup di bawah pemerintahan demestik, yaitu Lembaga Biologi Eijkman. Tepat pada awal 2022 lembaga penelitian yang didirikan semasa pemerintahan kolonial Belanda itu ditutup dan diintegrasikan ke dalam lembaga baru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sejak didirikan pada 1888, Lembaga Eijkman memiliki tradisi ilmiah yang panjang dan membanggakan. Lembaga ini telah melakukan banyak penelitian di bidang biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran, dengan fokus pada aspek biomedis, biodiversitas, bioteknologi, dan biosekuritas.
BACA JUGA: Peneliti Eijkman: Tangani COVID-19, Pelajari Pandemi Influenza 1918
Tidak banyak yang tahu ternyata Indonesia pernah menghasilkan pemenang Nobel. Dialah Dr. Christian Eijkman, seorang dokter syaraf yang menjadi direktur pertama lembaga penelitian ini.
Ketika diangkat menjadi direktur, Eijkman mendapat tugas untuk meneliti penyakit beri-beri. Ia menghasilkan penemuan besar tentang hubungan antara penyakit tersebut dengan kekurangan vitamin B1.
Penemuan Eijkman membuka khazanah baru tentang vitamin. Berkat jasanya tersebut, ia mendapat Hadiah Nobel 1929.
Pembubaran Eijkman dan peleburannya ke dalam BRIN menjadi sorotan dan kritik publik terutama kalangan akademis. Isu relasi kuasa di BRIN menjadi kontroversi dengan diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua dewan pengarah.
Megawati didampingi oleh Sri Mulyani Indrawati dan Suharso Monoarfa sebagai wakil ketua. Semua orang yang ada di dewan pengarah adalah orang-orang yang dipilih dan ditunjuk oleh rezim dan umumnya tidak punya pengalaman yang mumpuni dalam dunia riset.
Pengangkatan Megawati sebagai ketua dewan pengarah dianggap tidak tepat. Megawati adalah ketua partai politik yang sekarang sedang berkuasa.
Mega memperoleh gelar doktor honoris causa dari beberapa universitas, dan kemudian memperoleh gelar profesor dari Universitas Pertahanan. Meski demikian, polesan intelektual ini tidak serta-merta memberinya legitimasi untuk menjadi dewan pengarah lembaga yang seharusnya punya gengsi intelektual tinggi seperti BRIN.
Lembaga riset di mana pun di dunia seharusnya independen dari kekuasaan, meskipun lembaga itu menerima dana dari pemerintah. Lembaga riset ilmiah harus dipimpin oleh seseorang yang mempunyai prestasi dan reputasi ilmiah, bukan oleh seseorang yang punya kekuasaan politik.
Membayangkan BRIN di bawah Megawati Soekarnoputri sama saja membayangkan NASA (lembaga antariksa Amerika Serikat) dipimpin oleh Donald Trump atau oleh George Bush sebagai dewan pengarah.
Tugas BRIN tidak jauh-jauh dari NASA karena sama-sama meneliti dan mengeksplorasi ruang angkasa. Hasil penelitian NASA memang menjadi legitimasi politik bagi rezim yang berkuasa setelah menjadi hasil teknologi terapan.
Namun, proses penelitian yang dilakukan tetap independen dari intervensi kekuasaan.
Pendaratan Apollo-11 di Bulan pada 1969 oleh Neil Armstrong dan Edwin Aldrin bukan sekadar sebuah proyek ilmiah melainkan sebuah proyek politik.
Amerika sedang berada pada puncak perang antariksa melawan Uni Soviet yang juga berambisi untuk mengirim manusia ke Bulan. Perang itu disebut sebagai ‘’space race’’ balapan menuju ruang angkasa yang juga melahirkan ‘’arm race’’ persaingan untuk memroduksi senjata ruang angkasa paling mematikan dan menghancurkan.
Peleburan Eijkman ke dalam BRIN adalah upaya melakukan kooptasi total terhadap semua potensi kekuasaan dan merengkuhnya menjadi bagian dari kekuasaan. Korporatisme negara dilakukan secara mutlak dan menyeluruh.
Mulai dari partai politik sampai ke lembaga riset, semua disedot masuk ke dalam korporatisme negara. Inilah indikasi negara totaliter yang menginginkan kekuasaan yang mutlak dan total.
Lembaga strategis seperti BRIN yang seharusnya independen pun harus masuk dalam kooptasi negara dan menjadi bagian dari korporatisme negara. Semua hasil riset harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Megawati juga menjadi ketua dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan menghendaki ada paralel antara BRIN dan BPIP, entah bagaimana cara memparalelkan dua lembaga itu.
Kita mengalami masa-masa ketika rezim yang berkuasa begitu obsesif terhadap Pancasila. Ada sistem ekonomi Pancasila, ada demokrasi Pancasila, sepak bola pun harus Pancasila. Ketika pertandingan final tidak bisa menghasilkan juara maka diputuskan untuk menjadikan kedua finalis sebagai juara bersama.
Kooptasi Eijkman oleh BRIN adalah wujud relasi kuasa yang paling nyata. Foucault mengingatkan relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Hubungan itu begitu erat sampai tidak terpisahkan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan.
Dalam istilah lain Foucault menyebut pengetahuan sebagai episteme, yaitu bentuk pengetahuan yang otoritatif atau pengetahuan yang telah dimantapkan sebagai pemaknaan terhadap situasi tertentu pada suatu zaman.
Hal itu terjadi di setiap rezim dalam setiap kurun waktu sejarah.
Rezim Nazi Jerman mempekerjakan para ilmuwan hebat untuk mendukung politik diskriminatif dan mendukung keunggulan ras Arya atas ras lainnya, terutama Yahudi. Penelitian dilakukan dengan tidak mengindahkan etika dan tata krama.
Anak-anak di bawah usia matang dijadikan kelinci percobaan dengan memasukkan mereka ke laboratorium untuk melihat DNA dan membedakan antara DNA Arya dengan DNA Yahudi.
Dalam banyak kasus anak-anak yang menjadi eksperimen itu mengalami cacat seumur hidup dan banyak pula yang mengakibatkan kematian. Rezim komunis Uni Soviet menciptakan laboratorium hidup dengan menjadikan manusia sebagai sampel penelitian, untuk melihat kesamaan DNA antarsemua orang yang berbeda jenis kelamin, suku, serta latar belakang budaya.
Penelitian ala Nazi dan ala komunis ini sama-sama mengabaikan etika dan agama. Nazi mengarahkan penelitian untuk mendukung kepentingan politiknya bahwa bangsa Arya adalah bangsa dan ras yang paling unggul di dunia.
Rezim komunis mempergunakan ilmu pengetahuan untuk membuktikan bahwa semua manusia adalah sama, tidak ada perbedaan di antara mereka, meskipun secara alamiah mereka punya perbedaan jenis kelamin dan latar belakang sosial.
Pengetahuan yang didapat dari hasil riset itu dijadikan legitimasi kekuasaan dan diarahkan sesuai dengan pesan sponsor kekuasaan. Ilmu pengetahuan yang seharusnya netral, dan bisa dimanfaatkan secara universal untuk kesejahteraan umat manusia, direkayasa menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Manhattan Project pada 1942 menghasilkan bom nuklir pertama yang menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima dan membunuh ratusan ribu warga yang tidak berdosa. Albert Einstein sebagai penemu nuklir sudah mengirim surat kepada Presiden Amerika menyesalkan dan mengkhawatirkan daya rusak dan daya hancur yang dihasil oleh nuklir temuannya.
Riset nuklir bisa menghasilkan teknologi yang bisa menyejahterakan umat manusia. Namun, riset nuklir yang jatuh ke tangan pemimpin despot seperti Kim Jong Un dari Korea Utara akan menjadi senjata penghancur masal yang sangat mengerikan.
BRIN juga melakukan riset nuklir. Tanpa panduan etika ilmu pengetahuan akan menghancurkan, tanpa aturan agama ilmu pengetahuan akan sesat. Ilmu pengetahuan netral, tetapi teknologi sebagai anak kandung ilmu pengetahuan bisa digunakan untuk menghancurkan atau menyejahterakan, bergantung kepada rezim yang menguasai teknologi itu.
Bagi Foucault, kekuasaan tidak dipahami sebagai sebuah kepemilikan seperti layaknya properti atau posisi, melainkan dipahami sebagai sebuah strategi dalam masyarakat yang melibatkan relasi-relasi yang bermacam-macam.
Kekuasaan tidak berpusat pada satu subjek atau lembaga saja, melainkan bersifat omnipresent, ada di mana-mana, dalam setiap relasi politik dan sosial. Karena itu pengawasan dilakukan secara menyeluruh sampai ke level yang paling rendah di desa melalui Babinsa di era Orde Baru.
Kekuasaan bukan sesuatu yang diraih lalu kemudian berhenti secara statis, melainkan dijalankan dalam berbagai relasi yang terus bergerak dan berkembang. Dalam masyarakat modern bentuk kekuasaan bukan sekadar ‘’sovereign power’’ kekuasaan yang berdaulat, melainkan juga ‘’disciplinary power’’ yaitu kekuasaan yang diciptakan untuk mengawasi dan mendisiplinkan warga dari semua penentangan.
Disciplinary power bukan konsep kekuasaan yang semata-mata didasarkan pada otoritas untuk melakukan pengawasan dan menjatuhkan penghukuman secara represif sebagaimana yang diterapkan dalam sovereign power, melainkan bekerja untuk menormalisasikan kelakuan di berbagai relasi sosial.
Masyarakat dipaksa untuk menuruti semua program dan yang menentang akan dianggap sebagai pembangkang yang dikenai sanksi sosial dan sanksi hukuman.
Vaksinasi, yang seharusnya menjadi opsi bagi warga negara berubah menjadi obligasi, kewajiban, yang diterapkan dengan pemaksaan sanksi sosial dan sanksi hukum.
Praktik sosial ini dilakukan melalui proses normalisasi yang kemudian diendapkan dan diinternalisasikan melalui proses pembiasaan dalam masyarakat untuk kemudian memengaruhi sikap dan perilaku masyakarat.
Setelah dinormalisasi maka posisi masyarakat pun menjadi ‘’vehicle of power’’ atau kendaraan kekuasaan. Warga masyarakat yang sudah divaksin menjadi bagian dari praktik sosial yang normal, sedangkan mereka yang menolak vaksin dianggap sebagai abnormal lalu dikucilkan melalui berbagai sanksi.
Peleburan Eijkman ke dalam BRIN adalah bukti fenomena relasi kuasa dan pengetahuan itu. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror