Ekonom Menilai Aturan Pasar Karbon dalam RUU PPSK Perlu Perbaikan

Selasa, 22 November 2022 – 23:38 WIB
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menilai pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK (pengembangan dan penguatan sektor leuangan) tengah memasuki masa yang krusial. Foto Humas Kementan

jpnn.com - Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menilai pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK (pengembangan dan penguatan sektor leuangan) tengah memasuki masa yang krusial.

Sebab, hal itu terkait dengan desain infrastruktur bursa karbon hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan.

BACA JUGA: Upaya Kurangi Emisi Karbon, Biomassa Kayu Jadi Salah Satu Pilihan

Secara umum, urgensi hadirnya pasar karbon sejalan dengan upaya pemerintah tahun 2016 saat menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai komitmen terhadap program penurunan emisi karbon global. 

Melalui NDC, pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen internasional pada 2030.

BACA JUGA: Pupuk Indonesia Dukung Target Pengurangan Emisi Karbon

"Kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun," ujar Bhima, Selasa (22/11).

Menurutnya, angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan APBN sehingga kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha. 

BACA JUGA: COP 27: SUCOFINDO Aktif Mendukung Implementasi Karbon Biru Indonesia Berbasis NBS

"Mengingat urgensi kehadiran pasar karbon maka pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK perlu mengakomodir beberapa perbaikan. Pasal 26 misalnya menyebut ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur oleh aturan OJK," ungkapnya.

Bhima menyarankan sebaiknya Bappebti dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek.

Selain itu, ruang pengaturan OJK lebih tepat untuk produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan.

Bhima mengungkapkan ruang kolaborasi antara Bappebti dan OJK dapat berbentuk skema pembiayaan lembaga keuangan, dimana Bappebti yang mengatur perdagangan komoditi karbon, sementara OJK yang akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.

"Contohnya, ada perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi, dapat menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditi karbon sebagai agunan akan menjadikan perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pendanaan baru," kata Bhima.

Lebih lanjut, ketentuan berikutnya yang perlu di perbaiki ialaj Pasal 5 A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK.

"Kami mendesak Pasal 5 A ayat 8 direvisi dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator, yakni OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon. Sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai  untuk menjalankan bursa karbon," tegas Bhima.(mcr28/jpnn)


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Wenti Ayu Apsari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler