jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo menilai kesepakatan terkini antara pemerintah Indonesia dengan Freeport-McMmoran terkait kelangsungan PT Freeport Indonesia (PTFI) di Mimika, Papua bukan hal istimewa. Sebab, tidak ada kemajuan signifikan pada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport hasil negosiasi pada 27 Agustus itu.
“Saya tidak melihat ada kemajuan apa pun, apalagi yang signifikan dalam kesepakatan 27 Agustus 2017,” ujar Dradjad melalui pesan WhatsApp ke media, Selasa (29/8) malam.
BACA JUGA: Inilah 4 Kesepakatan Indonesia dan Freeport
Inilah 4 Kesepakatan Indonesia dan Freeport
Lebih lanjut Dradjad mengatakan, soal revisi dari kontrak karya (KK) yang dikantongi PTFI menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) juga bukan hal baru. Sebab, PTFI semasa masih dipimpin Ma’roef Syamsuddin juga sudah berkali-kali menyampaikan kesediaan tentang revisi KK menjadi IUPK.
BACA JUGA: Salah Hitung Penerimaan Negara, Menteri Jonan Blunder Lagi?
Terkait kesediaan PTFI mendivestasikan 51 persen sahamnya, kesediaan membangun smelter, serta agregat penerimaan negara, Dradjad juga menganggapnya belum konkret. “Kesepakatan yang dihasilkan masih bersifat normatif,” tegasnya.
Mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu menambahkan, PTFI semasa dipimpin Ma’roef juga sudah menyampaikan kesediaan mendivestasikan sahamnya hingga 30 persen. Dradjad justru menilai kesepakatan terbaru soal PTFI hasil negosiasi Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson malah sumir.
BACA JUGA: Perhitungan Penentuan Harga Gas yang Dilakukan Jonan Dinilai Terbalik
“Ini karena semua tahapan dan waktu divestasi akan dibahas lagi. Artinya, mulai lagi dari angka dasar saham pemerintah 9,36 persen,” tutur mantan ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Intelijen Negara (BIN) itu.
Soal pembangunan smelter pun bukan hal baru. “Tentang pembangunan smelter, sejak dulu PTFI juga sudah setuju. Jika tenggat waktunya disepakati Oktober 2022, berarti tidak ada kemajuan apapun dalam tenggat waktu,” ulasnya.
Lebih lanjur Dradjad juga mengkritik frasa 'secara agregat lebih besar dari penerimaan dalam Kontrak Karya' dalam kesepakatan terkini. Menurutnya, frasa itu masih sangat umum.
Jika PTFI mengali mineral lebih banyak, katanya, tentu agregat penerimaan negara juga lebih besar. Artinya, frasa tersebut tidak otomatis berarti pemerintah mendapatkan persentase yang lebih besar ketika KK menjadi IUPL.
“Jadi tidak ada kemajuan dari posisi 2015. Bahkan istilah agregat dalam penerimaan negara bisa menjadi pisau bermata dua. Ini karena, bagian pemerintah tidak otomatis lebih baik dari rejim Kontrak Karya,” kata politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Naikkan Harga Gas, DPR Bakal Panggil Jonan
Redaktur & Reporter : Antoni