jpnn.com, YANGON - Pemerintah Myanmar harus berhenti menganaktirikan etnis Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Rakhine. Kalau tidak mau, mereka yang selalu ditekan, dibatasi wilayah geraknya, bisa bergabung dengan kelompok militan yang bakal mengacaukan stabilitas negara tersebut.
Itulah sebagian solusi yang ditawarkan Kofi Annan untuk pemerintah Myanmar, Kamis (24/8). Mantan Sekjen PBB tersebut memimpin komisi khusus yang menyelidiki perlakuan pemerintah Myanmar terhadap Rohingya. Etnis muslim di Myanmar itu dikabarkan direpresi militer.
BACA JUGA: Indonesia Dukung Perdamaian di Rakhine State
’’Jika keluhan populasi lokal (Rohingya, Red) diabaikan, mereka akan menjadi lebih rentan untuk direkrut kelompok ekstremis,’’ bunyi salah satu poin dalam laporan yang berjudul Towards a Peaceful, Fair and Prosperous Future for the People of Rakhine itu.
Komisi tersebut dibentuk tahun lalu dan ditunjuk langsung oleh penasihat negara Myanmar Aung San Suu Kyi. Annan juga meminta pelaku pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya mempertanggungjawabkan perbuatannya.
BACA JUGA: Ikon Demokrasi Itu Sebut Tak Ada Genosida Rohingya
Yang dimaksud adalah operasi militer Oktober tahun lalu. Saat itu, 87 ribu etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Ratusan orang lainnya dibunuh dan tak terhitung jumlah perempuan yang diperkosa ramai-ramai.
Situasi di Rakhine kembali memanas setelah 12 Agustus lalu pemerintah menerjunkan pasukan militer untuk melakukan operasi pembersihan. Imbasnya, sekitar 3.500 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena takut tragedi tahun lalu terulang.
BACA JUGA: Pengungsi Rohingya Kembali Tapi Bukan Untuk Menetap
Mereka kini berada di penampungan di Cox's Bazaar, Bangladesh. Banyak yang tidur beratap langit karena penampungan di kota tersebut sudah begitu penuh.
Belasan perahu yang berusaha menyeberang ke Bangladesh sudah dikembalikan ke Myanmar. ’’Meski Myanmar memiliki hak penuh untuk mempertahankan wilayahnya, militerisasi besar-besaran tidak akan membawa perdamaian di area tersebut,’’ bunyi laporan itu.
Komisi yang beranggota sembilan orang itu menyebut etnis Rohingya sebagai komunitas tak berkewarganegaraan alias stateless terbesar di dunia. Jumlahnya 1,1 juta jiwa.
Myanmar tidak pernah mengakui etnis Rohingya sebagai penduduk. Mereka tetap dianggap sebagai imigran Bangladesh. Padahal, mayoritas mereka lahir dan besar di Myanmar.
Komisi tersebut menyarankan proses verifikasi kewarganegaraan dipercepat. Selain itu, harus ada perubahan undang-undang yang memungkinkan etnis Rohingya menjadi penduduk Myanmar. Salah satunya melalui proses naturalisasi.
Masalah kemiskinan di wilayah Rakhine juga harus segera diatasi. Rakhine adalah salah satu wilayah termiskin di Myanmar. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut.
Misalnya, pembangunan jalan dan jembatan. Dengan begitu, kondisi sosial-ekonomi penduduk bisa ikut terdongkrak. Mereka juga menyarankan ada dialog antarkomunitas.
’’Apa pun tindakan yang diambil, kita harus memastikan bahwa penduduk tidak menderita dan mereka memiliki akses terhadap bantuan yang dibutuhkan,’’ tegas Annan dalam konferensi pers di Yangon. Sejak ditunjuk tahun lalu, Annan tiga kali pergi ke Myanmar.
Hasil laporan dari komisi tersebut disambut baik oleh berbagai lembaga HAM. Sebab, Suu Kyi sempat menyatakan bahwa dirinya akan tunduk pada temuan dan rekomendasi dari komisi yang dipimpin Annan itu. Namun, sejauh ini, belum ada respons dari pemerintah Myanmar terkait laporan tersebut. (Reuters/Time/sha/c7/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengacara Muslim Myanmar Didor usai Kunjungi Indonesia
Redaktur & Reporter : Adil