Eks Tim Mawar: Pemerintahan Jokowi Represif, Mirip Korut

Selasa, 08 Mei 2018 – 16:02 WIB
Tulisan #2019GantiPresiden mewarnai demo buruh pada Hari Buruh, Jakarta, Selasa (1/5). Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Mantan perwira khusus di Badan Intelijen Strategis (BAIS) Kolonel (Purn) Fauka Noer Farid menduga pemerintah panik menghadapi fenomena gerakan #2019GantiPresiden.

Kepanikan itu, menurut dia, terlihat sangat jelas dari larangan penjualan kaus di areal Car Free Day.

BACA JUGA: Tommy Winata Dukung Target Pemerintahan Jokowi-JK

"Dengan dikeluarkannya larangan untuk memakai kaos dengan tageline #2019Ganti Presiden, menunjukkan semakin paniknya pemerintahan. Apalagi diikuti dengan sweping yang dilakukan oleh Satpol PP dan pihak kepolisian," kata Fauka saat dikonfirmasi, Senin (7/5).

Mantan anggota Tim Mawar Kopassus ini menyebutkan, asas keadilan itu tidak terlihat ketika adanya masyarakat yang mengenakan kaus yang bergambarkan Joko Widodo. Dia mengatakan, aparat hukum terkesan membiarkannya.

BACA JUGA: Makin Mesra, Korut Segera Bebaskan WN AS dari Penjara

Fauka menegaskan, tindakan sweeping tersebut mencederai reformasi dan demokrasi. Apalagi, menurutnya, larangan terhadap kegiatan tersebut dilakukan dengan terang-terangan dan penuh dengan intimidasi.

"Hal ini justru akan menimbulkan kemarahan terhadap rakyat dan semakin tidak simpatik dengan pemerintahan sekarang karena terkesan otoriter," kata Fauka.

BACA JUGA: Makin Mesra, Korsel Incar Proyek Infrastruktur di Korut

Fauka menerangkan, gerakan represif seperti itu biasanya digunakan seperti di Korea Utara (Korut). Sementara di Indonesia hal tersebut tidak tepat karena menjunjung tinggi asas demokrasi

"Kenapa saya bilang arogansi, karena pemerintah menggunakan kepolisian berseragam lengkap yang selayaknya digunakan untuk menangkap teroris tapi kenyataannya digunakan untuk mendatangi kantor-kantor partai. Kalau berbicara SOP, harusnya tidak seperti itu," tegas dia.

Dia juga menyalahkan polisi yang bertugas mengayomi, tetapi malah bertindak represif. Hal itu dikarenakan polisi membawa senjata dan seragam lengkap saat mendatangi kantor partai-partai politik.

"Yang mau didatangin kan masyarakat yang tidak bersenjata. Cukup dua atau tiga orang saja. Tidak harus sepuluh orang dengan senjata lengkap," kata dia.

Kepada semua pihak, kata Fauka, harusnya berpegang pada pernyataan Joko Widodo yang menyebut kaus tidak bisa mengganti presiden. Namun, Fauka heran mengapa kaus tersebut dianggap sebagai penyakit.

"Dengan turunnya larangan tersebut, justru menunjukan ketakutan pemerintah itu sendiri. Bisa jadi perlawanan yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup hanya dengan larangan dan intervensi," tandas Fauka. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kim Jong Un Pastikan Ambisi Nuklir Korut sudah Tamat


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler