jpnn.com - Indonesia akhirnya bisa teken perjanjian ekstradisi dengan Singapura setelah menunggu selama 18 tahun.
Dengan perjanjian ekstradisi ini kedua negara seharusnya sama-sama lega. Indonesia tidak lagi dipusingkan oleh para bedebah pengemplang pajak dan koruptor yang bersembunyi di Singapura, dan Singapura sendiri bisa lega karena bebas dari stigma sebagai negara surga para bedebah koruptor.
BACA JUGA: PKS Apresiasi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura, tetapi Khawatir Kedaulatan Terancam
Singapura sering kesal dengan sebutan itu, meskipun dalam kenyataannya sebutan itu tidak sepenuhya keliru. Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto membuat Singapura berang karena menyebut negara itu surga para koruptor. Singapura memprotes pernyataan itu dan KPK minta maaf.
Fakta bahwa Indonesia harus sabar menunggu 18 tahun untuk membujuk negeri sekecil Singapura menunjukkan betapa rumitnya persoalan ini. Kondisi ini bisa mengambarkan bargaining position atau posisi tawar antar-dua negara. Indonesia sebagai negara besar dengan 170 juta penduduk harus bersabar menghadapi tetangga kecil yang berpenduduk 4 juta orang ini.
BACA JUGA: Perjanjian Ekstradisi Berhasil Diteken, Basarah Harap Buron Korupsi Ditangkap
Semua negara di sekitar Indonesia sudah teken perjanjian ekstradisi, termasuk negara-negara ASEAN dan Australia. Singapura menjadi satu-satunya yang paling sulit untuk meneken perjanjian itu, dan Indonesia terlihat tidak punya cukup nyali untuk menggertak Singapura.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Singapura menjadi ‘’save haven’’, tempat yang aman untuk bersembunyi bagi para pelanggar hukum dari Indonesia, terutama yang berkaitan dengan korupsi, kejahatan keuangan, dan pengemplangan pajak.
BACA JUGA: Presiden Jokowi dan PM Lee Sepakati Sejumlah Perjanjian, di Antaranya soal Ekstradisi
Banyak pengemplang pajak dan koruptor penggarong BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang lari bersembunyi di Singapura dengan aman selama belasan tahun. Indonesia tidak bisa berbuat banyak kecuali bersabar.
Presiden B.J Habibie termasuk yang tidak sabar dengan kondisi itu. Habibie menyebut Singapura sebagai ‘’the little red dot country’’ negara titik merah kecil. Mungkin maksud Habibie, Singapura menjadi bintik merah yang sering membuat Indonesia gatal-gatal.
Singapura tersinggung oleh sebutan itu. Ketika itu ekonomi di kawasan Asia terserang badai krisis moneter pada awal 1997. Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara kalang kabut. Nilai rupiah ambruk, demonstrasi mahasiswa meluas di Jakarta, dan terjadi kerusuhan dan penjarahan terhadap etnis Tionghoa.
Puncaknya pada Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh B.J Habibie. Kemunculan Habibie membuat Singapura waswas karena Habibie diperkirakan akan banyak melakukan kebijakan yang nasionalistis yang sangat mungkin membawa dampak bagi hubungan kedua negara. Habibie juga mendapat dukungan yang kuat dari kalangan Islam, dan hal itu dikhawatirkan akan membawa dampak pada kebijakan terhadap etnis Tionghoa.
Habibie mencium gelagat itu. Habibie merasa bahwa Singapura tidak terlalu welcome dengan kemunculannya. Hal itu ditandai dengan lambatnya Singapura dalam memberikan ucapan selamat kepada Habibie.
Dalam politik diplomasi, kelambatan Singapura itu bisa menimbulkan tafsir yang bermacam-macam. Perdana Menteri Singapura ketika itu Goh Chok Tong belum mengucapkan selamat ketika semua negara tetangga Indonesia sudah melakukannya.
Habibie kesal. Bukan hanya karena Singapura terlambat dalam mengucapkan selamat, tetapi Singapura juga dianggapnya tidak serius membantu Indonesia yang sedang kelabakan karena serbuan krisis moneter. Singapura menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang aman dari serangan krismon.
Habibie mengeluhkan sikap Singapura yang dianggapnya tidak menunjukkan tenggang rasa dalam bertetangga. Dalam wawancara dengan ‘’The Asian Wallstreet Journal’’, Agustus 1998, tiga bulan setelah pelantikannya, Habibie menyindir Singapura dengan mengutip pepatah Inggris “You see, a friend in need is a friend indeed. I don’t have that feeling from Singapore (Anda tahu, teman yang ada ketika dibutuhkan adalah teman yang baik. Saya tidak merasakan hal itu dari Singapura),’’ kata Habibie.
Dia menambahkan dengan memperbandingkan dua negara. “It’s ok with me but there are 211 million people (in Indonesia). All the green (area) is Indonesia. And that red dot is Singapore.” (Tidak masalah bagi saya, tetapi ada 211 juta penduduk di Indonesia. Semua daerah yang hijau itu Indonesia, dan titik merah itu adalah Singapura)’’, kata Habibie.
Singapura tidak suka dengan pernyataan ini. Perdana Menteri Goh Chok Tong menjawab dengan mengatakan bahwa Singapura bukan negara besar seperti Amerika yang punya kekuatan besar untuk membantu negara-negara yang mengalami kesulitan. Namun, kata Goh, Singapura tetap akan membantu Indonesia sesuai kemampuannya.
Sejak saat itu julukan sarkastis The Little Red Dot Country identik dengan Singapura. Julukan tersebut lazim digunakan, baik oleh masyarakat Singapura maupun masyarakat dunia. Lama kelamaan masyarakat dan pemerintah Singapura merasa nyaman dengan julukan itu dan mengadopsinya sebagai julukan resmi.
Ketika merayakan hari jadi ke-50 pada 2015 yang lalu Singapura secara resmi mengadopsi logo titik merah bulat dengan tulisan SG50. Seharusnya Singapura membayar royalti kepada B.J Habibie.
Titik merah yang semula membuat gerah sekarang membuat cerah. Singapura tidak ingin lagi menjadi titik merah yang menjadikan Indonesia gatal-gatal. Mungkin karena itu pula Singapura bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi itu.
Masih harus dilihat perkembangannya apakah Singapura serius dan tulus dengan perjanjian ini. Akan dilihat juga apakah Indonesia juga serius dan tulus dengan perjanjian ini. Kalau Indonesia serius maka dalam waktu dekat seharusnya para koruptor, pengemplang pajak, dan pencoleng BLBI yang bersarang di Singapura bisa segera dipulangkan.
Menangkap pengemplang BLBI tidak hanya sekadar membutuhkan perjanjian ekstradisi, tetapi membutuhkan political will yang serius dari pemerintah Indonesia. Kasus yang melibatkan Sjamsul Nursalim bisa menjadi pelajaran bagaimana rumitnya menangani kasus BLBI ini.
Sjamsul dan istrinya yang bertahun-tahun menetap di Singapura menjadi the untouchables yang tidak tersentuh. Lantas terjadilah perubahan rezim di KPK. Lantas terjadilah revisi terhadap undang-undang KPK. Lantas muncul keputusan Mahkamah Agung yang membebaskan Syafruddin Tumenggung dari hukuman 13 tahun penjara karena dianggap bersalah dalam penyaluran BLBI.
Akhirnya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim, dan case closed, kasus dugaan penggelapan dana BLBI Rp 4,58 triliun itu pun dianggap selesai.
Ini sebuah kisah nyata yang lebih mirip dengan kisah sebuah novel. Anda yang pernah baca ‘’Negeri Para Bedebah’’ karya Tere Liye akan bisa merasakan kemiripan alur cerita dalam novel itu dengan kisah nyata yang terjadi di Indonesia.
Dalam kisah ‘’Negeri Para Bedebah’’ Tere Liye menceritakan kisah mengenai ‘’Bank Semesta’’ yang bangkrut karena krismon dan sudah hampir dilikuidasi oleh pemerintah. Likuidasi Bank Semesta akan membawa efek domino besar, uang nasabah triliunan rupiah akan hangus dan bisa memicu rush ke bank-bank lain. Yang lebih penting, harta pemilik Bank Semesta akan disita dan seluruh perusahaan konglomerasinya akan ambruk.
Operasi penyelamatan Bank Semesta dilakukan oleh Thomas yang digambarkan sebagai seorang konsultan keuangan jagoan kelas internasional yang juga keponakan pemilik Bank Semesta. Thomas hanya punya waktu dua hari di akhir pekan untuk menyelamatkan Bank Semesta yang bakal dilikuidasi Senin pagi.
Selama weekend Thomas mempergunakan seluruh jaringannya untuk menyelamatkan Bank Semesta. Thomas menyuap pimpinan bank sentral, otoritas keuangan, pejabat kepolisian, menyogok politikus partai yang berkuasa, segala cara busuk dia lakukan untuk menyelamatkan Bank Semesta dan seluruh harta kekayaan konglomerasinya.
Operasi Thomas berhasil. Alih-alih melikuidasi Bank Semesta pemerintah malah mengeluarkan bail out, dana talangan triliunan rupiah untuk menyelamatkan Bank Semesta. Sang Taipan tetap berhasil mempertahankan konglomerasinya dan malah bisa menggarong triliunan dana talangan secara gratis.
Ini adalah episode fiktif kecil di ‘’Negeri Para Bedebah’’. Kisah nyata di negeri para bedebah jauh lebih dahsyat dari fiksi itu.
Para bedebah masih banyak yang bergentayangan. Selembar perjanjian ekstradisi tidak akan cukup untuk menangkap para bedebah itu. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror