Emas Papua Terancam Habis

Minggu, 09 Oktober 2011 – 14:41 WIB

JAKARTA - Masyarakat Indonesia merintih, sementara tambang emas Papua terancam habisIni jika Pemerintah Indonesia tak segera merenegosiasi kontrak karya dengan PT Freeport

BACA JUGA: APRI Minta Ekspor Rotan Jangan Ditutup

Karena itu, keberanian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi penentu keberhasilan renegosiasi ini.

’’Kalau presiden mampu bersikap te gas atas kon trak karya yang dinilai menyalahi aturan, maka akan berhasil,’’ terang Dr Kurtubi, Pengamat Pertambangan dan Perminyakan kepada INDOPOS (JPNN Group), Sabtu (8/10)
Kurtubi menjelaskan, dalam UU 45 tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, ada ambang batas soal royalti yang harus diberikan kepada negara.

Royalti emas di angka 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen

BACA JUGA: Bangun Pabrik Kakao, Nesstle Investasi USD 200 Juta

Namun saat ini, royalti yang diterima pemerintah dari Freeport hanya di kisaran 1 persen untuk emas, 1,5–3,5 persen untuk tembaga dan 1,25 persen untuk perak.

Padahal sebagai negara, terang Kurtubi, pemerintah terkesan diam saja dengan pelanggaran atas undang-undang yang berlaku di republik ini
’’Sudah ada dasar hukumnya kok

BACA JUGA: Izin tak Beres, Hotel Aston Jambi Distop

Tapi kalau pemerintah gak berani, tetap saja akan seperti ini,’’ katanya.

Apalagi, terang Kurtubi, penggunaan sistem flat dalam royalti yang disahkan dalam UU sama sekali tidak merugikan perusahaan eksplorasi tambangSebab, berapa pun kenaikan hasil tambang di pasaran, maka tidak ada lagi royalti yang harus dibayarkan pemerintahSeperti saat ini, harga hasil tambang di pasaran naik sekitar 3- 4 persen

Dari kenaikan itu, pemerintah tidak mendapatkan untung dari harga pasarKeuntungan murni milik para pengusaha tambang’’Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tetap membiarkan ada pelanggaran undang-undang soal pembagian royalti,’’ cetus Kurtubi.

Pertanyakan Dana CSR

Kisruh soal pemberian royalti PT Freeport ke pemerintah terus melebarTidak hanya akan mengedepankan evaluasi pada kerjasama Freeport dan pemerintahKomisi XI DPR RI juga berencana meminta penjelasan soal berapa besaran dana CSR yang sudah digelontorkan Freeport ke warga Papua dan sekitar’’Dalam evaluasi kami akan mempertanyakan berapa besar dana CSR yang diberikan PT Freeport,’’ kata Achsanul Qosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.

Soal dana CSR perlu diketahui mendetailSebab, keberadaan perusahaan asing juga harus memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitarDengan begitu tidak hanya sebatas royalti yang diberikan pada pemerintahNamun juga kesinambungan dengan warga yang ada di area sekitar penambangan.

’’Kami akan minta detail anggaran yang diterima negara dari FreeportTermasuk juga CSR-nya.Karena kami (Komisi XI) konsen pada goverment income,’’ terangnya

Politisi Partai Demokrat ini menerangkan, untuk mengetahui secara detail anggaran yang didapat dari Freeport ke pemerintah dan masyarakat Papua, sebelum masa sidang tahun ini berakhir, pihaknya mengagendakan pertemuan dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran.

’’Pertemuan tersebut akan membahas penerimaan bukan pajak bagi negaraKami akan minta laporan secara detail soal berapa yang didapat dari FreeportKalau memang tidak sesuai, kami akan evaluasi,’’ terangnya

Sementara itu, tidak menguntungkannya kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan pemerintah sudah berulangulang diprotes pengamat pertambanganKontrak karya itu dianggap terlalu menyesatkan dan menguntungkan pengelola saja.

’’Sudah sering diungkapkan kalau kontrak itu tak menguntungkanTapi terus saja dijalankan pemerintah,’’ ujar Pengamat Pertambangan ITB Pri Agung Rakhmanto kepada INDOPOS, kemarinDiakuinya, kontrak karya yang dibuat secara nyata memberikan celah 80 persen keuntungan diambil pengelolaSedangkan pemerintah hanya mendapatkan 20 persen dari nilai tersebutItu didapat melalui royalti dan pajak saja.

Menurutnya, kontrak karya ini memang perlu ditinjau ulangMeski peluangnya sangat kecil sekali bisa terjadiApalagi keberanian pemerintah untuk meninjau ulang kontrak tersebut juga diragukan’’Saya lebih setuju menantang pemerintah untuk nasionalisasikan saja proyek ituBiarkan semua pemerintah yang mengambil alih,’’ tegasnya

Tentunya, dia menerangkan nasionalisasi tidaklah mudahPemerintah harus berhadapan dengan berbagai tekanan politik Amerika dan sebagainyaBelum lagi terpaan protes dari banyak negara lain terhadap kebijakan tersebut.

Namun, menurut alumnus Perminyakan ITB ini, langkah tersebut lebih rasional dan efektifDengan alasan evaluasi kontrak karya tidak mungkin disetujui pengelola, sehingga pemerintah harus mengamibil paksa kegiatan tersebut’’Begini sajaKan itu proyek ada di negara kita, aturan kita, kalau tidak nurut, paksa saja,’’ terangnya

Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi ini pun memastikan tekanan politik Amerika tidak bakal meluasSebab, secara umum memiliki ketergantungan terhadap proyek di Freeport tersebutArtinya, kata dia, ada peluang pemerintah Amerika pun mengendur dengan tekanan dari pemerintah Indonesia’’Sekarang mau tidak pemerintah begituJangan hanya gertakan,’’ ketusnya

Dia mengakui UU Pertambangan yang ada saat ini sudah cukup baikRegulasi itu baru diberlaukan pada 2014Sedangkan saat ini tentu belum bisa dilaksanakanRegulasi tersebut, terang dia, telah menempatkan pemerintah sebagai penguasa penuh pertambangan di negerinyaSelanjutnya menunggu monitoring dalam pelaksanaan regulasi tersebutJangan sampai hanya jadi macan di atas kertas,’’ ucap alumnus Colorado School of Mines, Amerika, ini(kin/rko)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Petani Sawit Dihantui Bibit Palsu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler