Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (1)

Sembuh dari Gila, Sukses Kelola Warung Kopi di Pantai

Rabu, 03 Desember 2008 – 05:47 WIB

Bulan ini warga Aceh akan memperingati empat tahun bencana tsunami yang memorakporandakan kampung halaman merekaInilah satu kisah dari mereka yang pantang menyerah dan berupaya bangkit dari keterpurukan.

Laporan BAHARI, Meulaboh


AZAN subuh baru saja berkumandang

BACA JUGA: Teguh Haryanto, Hakim Garang Pengadilan Tipikor yang Nyentrik

Aktivitas warga belum tampak kecuali di pasar tumpah di salah sudut jalan Kota Meulaboh
Sepagi itu Muhari, 56, sudah melayani pembeli di warung kopi miliknya di Jalan Yos Soedarso, persis di depan Masjid Babbul Jannah.

Kawasan tempat Muhari tinggal di Desa Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, itu salah satu kawasan yang rusak paling parah di Meulaboh akibat gelombang tsunami pada 26 Desember 2004

BACA JUGA: Rita Dinah Kandi, Kehidupan Kedua setelah Operasi Tumor Otak

”Ini kegiatan rutin saya
Setelah salat Subuh, buka warung,” kata Muhari yang kehilangan istri dan dua anak saat tsunami

BACA JUGA: Standar Pengamanan Hotel Bintang Lima di India

”Hasilnya lumayan bisa menghidupi keluarga,” tambah pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, itu seraya mengisap rokok kreteknya
Salah seorang pelanggan warung kopi, Zulkarnaen, yang pagi itu duduk di dekat Jawa Pos pun ikut menimpali”Sekarang dia (Muhari) sudah baikDulu dia sempat gila,” katanya

Muhari mengakui pascatsunami dia stres berat, bahkan boleh dibilang gila selama empat bulanDitinggal orang-orang yang dikasihi secara tiba-tiba membuat pertahanan jiwanya terguncang”Dua anak saya dan istri hilang ditelan tsunamiSampai sekarang pun saya tidak tahu jenazah dan kuburannyaHarta benda juga ludes,” tuturnya.

Selama empat bulan itu Muhari kerap ngomong melanturPekerjaannya hanya melamunSebagai salah seorang korban selamat, dia pun kerap diwawancarai wartawanNamun, jawabannya sering ngawurDi luar konteks pertanyaanBahkan, seorang wartawan CNN sempat dilempar batu oleh MuhariGara-garanya, sang wartawan mensyuting dirinya saat mengorek-ngorek tanah bekas rumahnya di Jalan Yos Soedarso Lorong No 4, sekitar 300 meter dari Masjid Babul Jannah”Untung, wartawannya diamKalau ingat-ingat itu sepertinya konyol,” ujarnya lalu tertawa tergelak.

Selama jiwanya terganggu itu, Muhari dirawat seorang adik kandungnyaMelihat kondisi itu, seorang ulama setempat membesuknyaDia menasihati Muhari agar mengikhlaskan kepergian istri dan dua anak yang dicintai”Saya langsung tersadar bahwa nasib seseorang tidak bisa berubah kecuali yang bersangkutan mengubahnya,” katanya menirukan nasihat sang ustad

Setelah itu Muhari mencoba bangkit dengan menekuni perkerjaan lama sebagai sopir truk di sebuah perusahaan kontraktor besar di MeulabohSetelah tiga bulan bekerja keras, dia bisa mengumpulkan uang untuk modal buka usaha warung kopi.

”Setelah salat di sini (Masjid Babul Jannah), saya biasa melamun berjam-jamMelihat banyak orang lalu lalang, termasuk relawan yang mondar-mandir di depan masjid, pikiran saya jadi terbukaMengapa tidak buka warung (kopi), pasti laris,” katanya.

Dugaannya benarSetelah buka, warung Muhari benar-benar jadi jujukan warga sekitar karena lokasinya strategisSelain di pusat kerusakan gempa Meulaboh, warung Muhari jaraknya hanya selemparan batu dari lautAngin semilir pun menemani pembeli sambil asyik ngopi.

Wartawan dan para aktivis LSM lokal dan asing yang terlibat dalam upaya pembangunan kembali Aceh banyak yang ngopi di warung MuhariSalah satu daya tariknya, di tempat itu mereka mendapat banyak data dan cerita soal tsunami dari para korban”Semula hanya warung kopi, lalu berkembang jadi warung makanSebab, saat itu banyak LSM lokal, asing, dan wartawan kesulitan mencari warung makan dekat pantai,” ujarnya.

Kebangkitan Muhari makin lengkap setelah menemukan jodoh barunya, seorang janda korban tsunami warga AcehKini sang istrilah yang mengelola warung makanMuhari konsentrasi pada warung kopiKebahagiaannya makin lengkap setelah dia dikaruniai momongan perempuan buah cintanya dengan istri baru

Putri ketiga yang kini menjadi satu-satunya buah hati itu diberi nama Soliana WindaIni gabungan nama dua anak dan istrinya yang hilang ditelan tsunamiYakni, Soni Satriya, Wiwiek Purnamasari, dan Yulidar (istri)”Kalau ingat itu, saya tak bisa tidur,” aku Muhari yang matanya tampak berkaca-kaca

Muhari mengakui, bencana tsunami itu memang dahsyatSampai saat ini dia tak bisa melupakan kisah tragis yang merenggut nyawa istrinya, Yulidar, 53 , dan dua anaknya, Soni Satriya, 26, dan Wiwik Purnamasari, 18”Pagi itu, saat gempa terjadi, sebenarnya sedang di rumah,” katanya.

Rumah Muhari memang terletak di pinggir pantaiKarena itu, saat diberi tahu anaknya ada gempa besar yang membuat banyak bangunan di kota rusak berat, dia tertarik untuk melihatnyaDia pun menstarter sepeda motor dan beranjak menuju ke pusat Kota Meulaboh.

Di tengah jalan, banyak warga yang berteriak, ”air, air, air” sambil berlari menjauhi pantaiMuhari masih tak pahamNamun, dia memutuskan berbalik menuju rumah, tempat istri dan kedua anaknya tinggalBelum sampai di rumah, tiba-tiba dia melihat gelombang laut setinggi gunung datang menerjangMuhari terempas dan tersangkut di batang pohon jambu

Saat dia merangkul erat batang pohon jambu itu, gelombang kembali datangKali ini lebih besarSaat arus itu melewati tubuhnya, Muhari menundukkan kepala dan menyelam sambil tetap berpegangan eratPohon jambu itu putus sedikit di atas pegangan tangannya akibat terkena gelombang laut campur seng dan kayu”Kalau tidak menunduk, habis kepala saya,” kata Muhari.

Lalu, datang lagi gelombang ketiga yang lebih besarTubuh Muhari terempas hingga ke Masjid Babul JannahBanyak mobil hanyutMuhari lalu naik ke atap jendela masjid yang tingginya sekitar lima meter dan terus mencari pegangan yang erat.

Dari atas masjid itu Muhari melihat bagaimana gelombang laut tersebut menelan apa sajaSemua bangunan sekitar masjid, Lapas Meulaboh, perumahan Polri, perumahan kompleks tentara, dan rumah penduduk yang padat di tepi pantai disapu bersih”Hanya masjid ini (Babul Jannah) yang masih tegak berdiriYang lain roboh ,rata dengan tanah,” katanya.

Menurut dia, masjid itulah satu-satunya yang masih utuhBangunan sekitarnya sudah hancurDia mengaku pernah melihat foto kerusakan akibat tsunami meluas dengan masjid utuh di tengah”(Masjidnya) ya Babul Jannah ini,” ungkapnya.

Saat bertahan di atap masjid, Muhari melihat seorang anak seusia putrinya, Wiwiek, berlari menjauh dari pantaiBajunya compang-campingMuhari yang mengira itu anaknya lalu memanggil-manggil dari atas masjidTapi, tak ada jawabanTiba-tiba datang gelombang susulan dan wanita itu pun lenyap”Saat itu saya mau turunKalau jadi, saya sudah tak di sini (meninggal),” akunya.

Setelah gelombang mereda, sorenya Muhari dengan dibantu Brimob turun dari atap masjidPakaiannya koyak di mana-mana, kepala dan tubuhnya berdarah penuh luka”Sejak saat itu saya tidak berjumpa anak-anak dan istri,” katanya

Muhari tak mau hanya melihat masa silamSebab, kini dia sudah punya istri baru dan anak yang masih kecilDia bertekad membawa keluarga barunya menatap masa depan bumi Serambi Makkah yang lebih baik”Beruntung saya bisa bangkitIni yang saya syukuri,” katanya bersyukur

Saat ditanya Jawa Pos mengapa masih memilih berjualan dekat pantai, apa tidak trauma dengan kemungkinan tsunami lagi, Muhari mengaku pasrahMenurut dia, satu dua bulan dia memang traumaTapi, lama-kelamaan sudah terbiasa”Kalau Allah menghendaki, maka terjadilahApalagi, saya menggantungkan rezeki saya di tempat ini (warung),” katanya.(el)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Taj Mahal di Mumbai yang Mahal Itu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler