Musibah tsunami membuat seorang pengusaha kecil di Kabupaten Aceh Besar kehilangan segala-galanyaLewat perjuangan yang gigih, dia berhasil menjalankan kembali usahanya
BACA JUGA: Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (1)
Kuncinya, motivasi untuk menyiapkan masa depan yang baik bagi anak-anaknya.BAHARI, Aceh Besar
NAMA Jamil Z.A
BACA JUGA: Teguh Haryanto, Hakim Garang Pengadilan Tipikor yang Nyentrik
Terbukti, begitu Jawa Pos bertanya tentang lokasi rumah pengusaha kecil itu, warga yang sedang minum kopi di warung pinggir pantai Jalan Krueng Raya Km 12,5 pun langsung tanggap.’’Masuk saja, lalu belok kanan
Di desa itu, Jamil dikenal warga sebagai pengusaha keset dan pel dari bahan sabut kelapa
BACA JUGA: Rita Dinah Kandi, Kehidupan Kedua setelah Operasi Tumor Otak
Siang itu, pria berkacamata tersebut bersiap mengirimkan produk kesetnya ke toko langganan di Banda Aceh’’Untung Bapak datang, tiga menit lagi saya sudah pergi ke Banda (Banda Aceh),’’ kata Jamil seraya mempersilakan Jawa Pos masuk ke kantornya.Kemajuan usaha Jamil bisa dilihat dari rumahnya yang cukup bagus, ada gudang, kantor, bahkan mobil nangkring di garasi rumahnya’’Kami harus bekerja ekstrakeras untuk bisa seperti ini,’’ ungkapnya.
Jamil menekuni usahanya sejak 1980Jumlah karyawannya kini 40 orangKebanyakan mereka adalah para tetangga sendiri yang juga korban tsunamiPendapatan bersih per bulan mencapai Rp 15 jutaProduknya dipasarkan ke seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)’’Sebelum tsunami, keset buatan saya malah sampai Medan, bahkan Padang, Sumatera Barat,’’ ujarnya bangga.
Usaha pembuatan keset Jamil kini dilengkapi mesin perontok sabut kelapaDulu, sebelum ada mesin perontok, sabut kelapa harus direndam air asin dulu selama enam bulan, baru sabutnya bisa dipakai’’Sekarang cukup dua hari saja,’’ jelasnya.
Bapak sembilan putra itu pun mengaku, saat tsunami menerjang desanya pada 26 Desember 2004, semua harta jerih payahnya selama 24 tahun hilang dalam sekejapRumahnya yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari laut rata dengan tanahMobil, gudang, serta perlengkapan kerja hilang tak berbekas’’Ludes semua,’’ kenangnya.
Karena semua sudah hilang ditelan tsunami, Jamil dan keluarga pun tinggal di barak penampungan pengungsiNamun, dia tidak mau terlena hidup di barak yang hanya mengandalkan bantuan serta sumbangan orang lainDia sadar, suatu saat akan tiba waktunya bagi para korban tsunami untuk bisa hidup mandiri.
’’Untuk menghidupi sembilan anak saya, tidak cukup hanya mengandalkan bantuanItulah yang memotivasi saya segera bangkit,’’ tegasnya
Dalam keadaan terpuruk, jiwa kewirausahaan Jamil pun memberontakMaka, dibantu istri dan anak-anaknya, dia pun mencoba kembali bangkit dengan merintis usahanya dari titik nol’’Saat itu saya tidak punya modal, sehingga rasanya berat untuk bangkitTapi, tekad saya sudah bulatHarus bangkit,’’ katanya.
Selama setahun Jamil membanting tulang, mencoba membangkitkan industri kesetnya dengan cara produksi manualMeski tertatih-tatih dan banyak kendala, usaha tersebut terus menuai hasilBahkan, Swisscontact, sebuah LSM asal Swiss yang peduli terhadap korban tsunami, bersedia memberi bantuan modal bagi usahanya
LSM itulah yang membangun kembali gudangnya yang hancur, membelikan mesin perontok, dan memberikan uang untuk modal usaha’’Itu titik bangkit usaha saya setelah gelombang tsunami hingga bertahan seperti sekarang,’’ jelasnya
Karena pesanan terus meningkat, Jamil pun merekrut kembali karyawannya yang dirumahkan pascatsunami’’Saat ini karyawan kami mencapai 40 orangSebenarnya masih banyak yang ingin kerjaTapi, belum bisa ditampung,’’ ujarnya.
Dengan mesin, modal, dan tenaga kerja yang cukup, saat ini Jamil tak hanya fokus membuat keset dari sabut kelapaDia mencoba mengembangkan produk ke lap pel dari bahan yang sama
Dengan peralatan yang lebih baik, keset itu tidak hanya ditulisi ’’Welcome’’, tapi juga bisa memenuhi pemesanan khususMisalnya, pencantuman nama kantor pemerintah, hotel, bahkan yang bersifat pribadi’’Pokoknya, semua permintaan konsumen kami layani,’’ katanya.
Pengolahan sabut kelapa menjadi pintalan-pintalan (semacam tambang kecil) yang siap dijadikan keset dikerjakan para tetangga di rumah masing-masingSetelah jadi, pintalan-pintalan itu baru disetor ke tempat usaha Jamil’’Jadi, para tetangga bisa mengerjakan di rumahnya tanpa mengganggu kesibukannya sebagai ibu rumah tangga,’’ jelas Jamil.
Dia sering berkampanye kepada para korban tsunami agar tidak mudah menyerahSetidaknya, mereka harus berbuat untuk masa depan anak-anakKalau ada usaha, pasti ada jalanDia bersyukur keluarganya tetap utuh dalam musibah dahsyat tersebut’’Masa depan anak-anak yang memotivasi saya bangkit seperti sekarang,’’ tuturnya.
Seperti Jamil, motivasi untuk membangun masa depan anak itu pula yang membuat Mardiyah, 35, warga Desa Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, bersemangat untuk bangkit
Akibat gelombang tsunami, rumahnya yang berjarak hanya selemparan batu dari Pelabuhan Meulaboh rata dengan tanah’’Sejak itu, saya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain selama lebih dari tiga tahun,’’ ungkapnya.
Berbagai upaya dilakukan Mardiyah dan suami untuk bisa bangkit dari berbagai kesulitan pascatsunamiKeduanya bekerja apa saja, asalkan bisa menghasilkan uangTermasuk berjualan sayur’’Yang penting halal,’’ tegasnya
Dia bersyukur sejak enam bulan lalu rumahnya yang rata dengan tanah dibangun kembali oleh Caritas, sebuah LSM dari SwissRumah bertipe 45 dengan dua kamar itu tergolong bagusBangunannya tampak kukuh’’Kami sangat bersyukur mendapat bantuan rumah itu,’’ ujar ibu tiga anak tersebut
Di depan rumah barunya, wanita asal Aceh Singkil itu kini membuka toko sembako untuk menambah penghasilan rumah tangga’’Lumayan bisa membantu suamiSemua ini untuk masa depan anak-anak,’’ katanya.
Menurut Mardiyah, ketiga anaknya itulah yang membuat dirinya bisa bertahanDia lalu menuturkan pengalaman dramatisnya menyelamatkan mereka saat gelombang tsunami menerjang desanyaSaat itu, si bungsu berusia delapan bulan dan si sulung empat tahun’’Bapaknya saat itu berada di laut mencari ikan,’’ jelasnya.
Pagi pada 26 Desember 2004 itu, warga desanya berteriak-teriak karena ada gelombang laut datangTanpa banyak bicara, Mardiyah pun menggelandang ketiga anaknya berlari menjauhi pantai’’Hanya si bungsu yang saya gendong,’’ ucapnya
Saat tsunami datang, Mardiyah beruntung sudah berhasil membawa ketiga anaknya memanjat tiang listrik’’Beberapa anggota Brimob dan TNI ikut membantu menyelamatkan anak-anak,’’ katanya.
Lebih dari empat jam Mardiyah dan ketiga anaknya bertahan di tiang listrik, sebelum tim penolong datang membantuSaat itu, banyak orang heran atas tindakan heroik Mardiyah menyelamatkan ketiga putranya’’Saya juga heran kok bisa begitu kuatPikiran saya saat itu hanya satuBagaimana menyelamatkan ketiga anak saya,’’ tegasnya
Selain rumahnya hancur, anak-anak Mardiyah mengalami guncangan jiwa yang hebatSaking traumanya, pascatsunami, si bungsu langsung berteriak-teriak saat melihat air ledeng mengalir’’Itu berlangsung selama tiga tahun,’’ tuturnya.
Dia bersyukur anak-anaknya mulai melupakan kejadian mencekam tersebutApalagi, keluarganya kembali menempati rumah lama yang dibangun lagi di dekat pantai’’Anak-anaknya mulai sering berenang di lautKini, traumanya mulai hilang,’’ katanya(el)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Standar Pengamanan Hotel Bintang Lima di India
Redaktur : Tim Redaksi