Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (3)

Sukses Berawal dari Reruntuhan Bekas Rumah Duka

Jumat, 05 Desember 2008 – 12:48 WIB

Samsul Bahri, warga Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, langsung menangkap peluang usaha setelah melihat banyak orang yang terlibat program pembangunan kembali Aceh masuk ke daerahnya


BAHARI, Calang, Aceh Jaya


SILIH berganti beberapa pengendara yang melintas jalan raya Banda Aceh-Meulaboh, Calang, memasuki rumah makan Riska yang berada di pinggir jalan

BACA JUGA: Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (2)

Para pelanggan itu tampak beristirahat sambil menikmati makan
Sebagian hanya minum atau sekadar membeli rokok dan makanan ringan lalu pergi lagi

BACA JUGA: Empat Tahun Tsunami, Kisah Mereka yang Bangkit dari Titik Nol (1)

Seorang lelaki dengan cekatan melayani pembeli
Dia mengantarkan makanan, menuangkan teh, bahkan juga merangkap kasir.

"Kalau siang seperti ini memang ramai, sehingga kami harus bekerja serabutan

BACA JUGA: Teguh Haryanto, Hakim Garang Pengadilan Tipikor yang Nyentrik

Mana yang kosong melayani pembeli," kata Samsul Bahri, 42, pemilik warung makan, kepada Jawa Pos.

Rumah makan itu tergolong laris karena letaknya di pinggir jalan rayaSelain itu, Kota Calang terletak di pertengahan dua kota, Banda Aceh-Meulaboh, yang pada saat tsunami empat tahun lalu menjadi dua kota yang mengalami kerusakan terparah"Beruntung kami bisa buka rumah makan di siniLokasinya cukup strategis," kata Samsul

Setelah diterjang tsunami, jarak Kota Banda Aceh-Meulaboh menjadi lebih jauhKalau semula hanya sekitar 267 kilometer, kini bertambah puluhan kilometerItu karena banyak jalan putus digerus tsunami, jembatan belum jadi, sehingga pengendara harus menempuh jalan alternatif lebih jauh"Biasanya kalau tiba di Calang, pengemudi istirahat sejenak, makan, atau mengisi BBM," ungkap Samsul.

Maka rumah makan Samsul pun berkembang pesatKalau dulu hanya dikelola bersama istri, kini dia dibantu tiga karyawanOmzetnya per bulan sudah naik mencapai puluhan juta"Saya bersyukur bisa bangkit seperti sekarang," katanya.

Samsul mengakui, sukses usaha restorannya itu juga disertai kenangan tentang anggota keluarganya yang tragisSebab, rumah makan itu memang berdiri di atas lahan bekas bangunan rumah keluarganya yang rata dengan tanah akibat gelombang tsunamiTidak hanya ituDalam bencana tersebut enam anggota keluarganya tewasMereka adalah ibu Samsul, adik, tiga kemenakan, serta suami adiknya.

"Keenam anggota keluarga saya itu hilangSampai saat ini kami tidak tahu di mana kuburannya," katanya

Untuk bisa bangkit dari keterpurukan pascatsunami itu, perjuangan Samsul sangat beratSebab, tsunami itu tak hanya menghancurkan rumah, tapi juga meludeskan semua harta bendanya"Hanya tersisa pakaian yang melekat di badan," kata Samsul mengenang.

Meski tidak punya apa-apa lagi, bapak tiga anak itu tidak mau terus terpuruk dan mengandalkan belas kasihan sumbanganSamsul memilih bekerja serabutan, mulai mencari ikan hingga bekerja apa saja yang bisa menghasilkan uangSedangkan istrinya membantu ibunya dalam usaha katering makanan

Pascatsunami itu banyak orang masuk CalangMereka adalah relawan, pekerja sosial, orang-orang proyek rekonstruksi Aceh, maupun wartawanSaat itulah Samsul mendengar keluhan mereka karena kesulitan mencari warung makanSamsul melihat hal itu sebagai peluang bagus"Saya dan istri pun membuka warung makan dekat rumah ibu mertua," katanya

Dalam waktu singkat, warungnya jadi jujukan semua relawan di CalangLaba dari warung sedikit demi sedikit dikumpulkan lalu digunakan untuk membangun rumah makan yang dikelola sekarang"Dulu ini bekas rumah kami yang rata dengan tanah akibat tsunamiKalau ingat itu, dada jadi sesak," tuturnya.

Hingga kini pun Samsul mengaku masih bisa mengingat bencana yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang membuat Calang luluh lantak ituPagi itu, sekitar pukul 08.00, keluarganya kaget merasakan guncangan gempa yang dahsyatTak lama kemudian anggota keluarganya melaporkan bahwa air laut menyusutSaat itu Hairil, salah satu adik Samsul, mengingatkan, biasanya setelah air laut susut, diikuti naiknya air pasang.

Belum lagi Hairil selesai bicara, terdengar suara gemuruh dari laut belakang rumahnya disertai asap mengepulWarga langsung panik melihat gelombang laut datang mendadakSamsul pun berusaha menyelamatkan istri dan dua anaknya lari ke bukitMereka diangkut truk proyek yang kebetulan melintas.

Semua warga beramai-ramai lari ke bukitJalanan pun macetTruk tidak bisa bergerakSamsul lalu mengajak anak istrinya turun dari truk dan lari menuju bukit.

Benar saja dugaan SamsulBegitu mereka tiba di bukit, gelombang tsunami menghantam bukit dan menyapu warga yang tidak sempat naik"Pemandangannya sangat mengerikanBangunan rata, ribuan mayat bergelimpanganBenar-benar dashyat," kenang Samsul.

Selama sepuluh hari warga bertahan hidup di bukit karena takut terjadi tsunami susulanSelain itu, tidak ada yang tersisa di daratan CalangBeruntung, dua hari kemudian datang bantuan dari TNI-AL setelah kapal mereka merapat di CalangMereka membagikan makanan, mi, dan pakaian"Kami benar-benar bahagia saat itu," katanya.

Namun, karena jumlah warga mencapai puluhan ribu, bantuan itu hanya mencukupi kebutuhan beberapa hariMereka yang tidak kebagian makanan akhirnya nekat berjalan ke Kota Banda AcehSebab, bantuan tidak bisa masuk karena jalan dan jembatan dari Banda Aceh ke Calang putus total"Benar-benar pengalaman mengerikan," kata Samsul.

Seperti halnya Samsul, Darlianto, 24, warga Jalan Perdagangan, Meulaboh, memanfaatkan lahan rumah bekas terjangan bencana tsunami untuk usahaHanya, skala usaha yang dibuka Darlianto memang tak terlalu besarSelain melayani pesanan kopi pelanggan, dia melayani pembeli bakso yang berada persis di samping"Tiga bulan ini ramai setelah ada warung bakso di sebelah itu," kata Darlianto.

Warung kopi yang dikelola Darlianto hanya berukuran 3 x 4 meterLetaknya pun sedikit tersembunyiDi tempat itulah bapak dua anak itu mulai merintis usaha berjualan kopi dan barang kelontong lain"Ini tanah warisan keluargaJadi, saya harus merawatnya," katanya.

Darlianto mengaku kehilangan enam anggota keluar saat terjadi gelombang tsunamiYakni, ayah-ibunya Zulkifli-Warni; adiknya, Ian Kasriani, Saripah, Aulia, dan neneknya"Saat kejadian mereka lagi duduk di taman dekat rumahSampai sekarang saya juga tidak tahu di mana kuburan keluarga saya itu," katanya

Saat kejadian itu Darlianto sedang membuka usaha ekspedisi di JakartaBegitu mendengar keluarganya hilang disapu tsunami, esoknya (27 Desember 2004 ) dia naik pesawat Hercules ke Aceh dan sorenya tiba di Meulaboh"Rumah saya rata dengan tanahSaya juga mencari-cari jenazah keluarga sayaTapi, sampai sekarang tidak ketemu," katanya.

Karena pekerjaan di Jakarta, Darlianto saat itu harus bolak-balik Meulaboh-JakartaSuatu hari, saat pulang ke Meulaboh, istrinya yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah, ikut sertaNamun, setelah urusan di Aceh selesai, ternyata sang istri tidak mau balik ke JakartaApalagi, ongkos transpornya memang sangat besar"Akhirnya kami putuskan menetap di MeulabohApalagi, (saat itu) tidak ada yang mengurusi tanah warisan keluarga kami," katanya

Darlianto pun memutuskan membuka warung kopi di bekas reruntuhan rumahSebab, dia yakin dalam waktu dekat Meulaboh segera pulih dan ekonominya bangkit kembaliSeperti yang dilihat Jawa Pos, kota itu memang sudah bangkitBanyak gedung yang dibangun kembaliBahkan, banyak bermunculan toko dan warung baruPenduduknya pun makin bertambah.

"Banyak orang yang datang ke Meulaboh untuk membantu saat tsunami memutuskan menetap di siniBahkan, banyak yang kawin dengan orang di sini," ujar Darlianto dengan nada bangga(el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rita Dinah Kandi, Kehidupan Kedua setelah Operasi Tumor Otak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler