Empon-Empon

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 22 Agustus 2021 – 19:29 WIB
Terawan Agus Putranto. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di mana-mana sekarang lagi banyak dijumpai baliho bergambar Puan Maharani dengan narasi ’Kepak Sayap Kebhinnekaan’.

Di Magelang, Jawa Tengah, seorang pedagang angkringan ikut viral karena balihonya yang lucu dengan narasi ‘Kepak Sayap Empon-Empon’.

BACA JUGA: Republik Pisang

Empon-empon adalah sebutan dalam bahasa Jawa untuk rempah-rempah dan bumbu-bumbuan yang biasa dipakai untuk memasak dan membuat jamu. Orang Jawa tidak akan bisa lepas dari empon-empon, karena setiap masakan pasti memakai empon-empon.

Rempah-rempah menjadi khazanah kekayaan Nusantara yang sangat berharga. Tidak ada negara di dunia yang mempunyai kekayaan rempah-rempah sehebat Indonesia.

BACA JUGA: Burung Unta

Kekayaan itulah yang membuat bangsa-bangsa Eropa di masa lalu berpetualang ke Indonesia untuk mencarinya. Rempah-rempah itulah yang membuat bangsa Eropa datang ke Nusantara untuk memperolehnya dengan harga sangat mahal.

Pada mulanya mereka datang dengan damai. Namun, pada akhirnya mereka menggunakan kekuatan senjata untuk mengalahkan penduduk pribumi dan merampas kekayaan rempah-rempah Nusantara.

BACA JUGA: Don Quixote

Di Eropa, rempah-rempah menjadi komoditas yang dianggap sebagai emas. Bangsa-bangsa Eropa memperebutkannya dengan mempergunakan senjata. Mereka menjajah dan menguasai Nusantara untuk mengeksploitasi rempah-rempah dan menjadikan negara-negara Eropa kaya raya.

Empon-empon dan rempah-rempah adalah kekayaan lokal Indonesia yang tidak ternilai harganya sampai sekarang. Bukan hanya nilai ekonominya yang tinggi, tetapi nilai budaya dan peradaban yang terkandung dalam rempah-rempah jauh melampaui nilai budaya Eropa. Peradaban tradisional Nusantara jauh melampaui peradaban modern Eropa.

Sampai sekarang kekayaan khazanah peradaban Nusantara itu masih tetap bertahan. Di tengah gempuran budaya global yang melakukan dominasi dan hegemoni dunia, kekayaan tradisi Indonesia masih tetap bertahan dalam tradisi kearifan lokal.

Globalisasi adalah penyeragaman paksa yang dilakukan oleh Barat terhadap dunia. Dahulu di zaman kolonialisme dan imperialisme, Barat menjajah dengan mengirim bedil dan mesiu atau melalui hard power (kekuatan keras militer).

Sekarang, kekuatan Barat menjajah dengan menggunakan soft power dalam bentuk lembaga-lembaga dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia, dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) beserta lembaga-lembaganya.

Semua lembaga-lembaga internasional itu didirikan pasca-Perang Dunia Kedua 1945, sebagai tanda kemenangan Barat atas semua kekuatan dunia. Kekuatan Barat sebagai pemenang perang menjadikan seluruh dunia sebagai pampasan perang yang harus tunduk terhadap aturan Barat.

Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Semua sudut dunia, mau tidak mau, harus terkoneksi satu dengan lainnya. Tidak ada satu pun negara dunia yang bisa hidup terisolasi dari negara lain, kecuali negara pariah seperti Korea Utara.

Akan tetapi, globalisasi sudah diselewengkan menjadi senjata penjajahan baru, melalui dominasi dan hegemoni, yang selalu menguntungkan negara-negara Barat. Rezim ekonomi politik neo-liberalisme global mengharuskan perdagangan dilakukan secara bebas nyaris tanpa perlindungan negara.

Dalam praktiknya, perdagangan bebas itu berlangsung satu arah ’one way traffic’ dari negara kuat menuju negara lemah. Negara-negara ekonomi kuat bisa memasukkan produk apa saja ke negara yang lebih lemah, sementara negara lemah tidak akan leluasa memasukkan produk ke nagara maju karena terkendala berbagai aturan.

Globalisasi seharusnya membuat seluruh dunia menjadi ceper atau datar rata seperti lapangan bola. The World is Flat, seperti kata Thomas Friedman.

Globalisasi menjadikan dunia rata hingga semua negara bisa bermain sama rata sama rasa. Namun, dalam kenyataannya tidak ada lapangan yang datar itu. Level Playing Field hanya jargon yang tidak ada dalam kenyataan.

Yang terjadi kemudian globalisasi memunculkan negara-negara Barat sebagai pemenang, dan negara-negara miskin sebagai pecundang. Dalam krisis pandemi seperti sekarang kondisi itu semakin terasa. Dominasi dan hegemoni Barat memaksa negara-negara miskin menjadi pecundang permanen.

Dalam krisis pandemi ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) muncul menjadi penafsir tunggal kebenaran. Semua aturan, semua protokol, semua obat, semua vaksin yang dipakai dan diterapkan di seluruh dunia harus melalui perkenan WHO. Tanpa perkenan WHO, Anda akan menjadi outcast atau orang yang diasingkan.

Vaksin dan vaksinasi telah menjadi proyek besar yang menguntungkan negara-negara maju. Omzet miliaran dolar dari penjualan vaksinasi mengalir ke kantong negara-negara maju.

Negara-negara miskin yang sudah terjerat sampai ke leher, masih tetap dieksploitasi, dipaksa untuk membayar vaksin dengan harga mahal.

Pandemi global ini dipakai WHO untuk memaksakan satu aturan seragam ke seluruh dunia. Tidak ada ruang untuk bernapas, tidak ada ruang untuk penerapan local wisdom atau kearifan lokal.

Semua harus menurut dan menerapkan global wisdom, kearifan global yang belum tentu cocok dengan tradisi lokal.

Produk vaksin didominasi oleh negara-negara besar yang sudah di-endorse oleh WHO. Produk vaksin lokal, seperti Vaksin Nusantara dari Indonesia, tidak akan bisa masuk karena WHO tidak akan pernah membukakan pintu.

Ini bukan kasus pertama yang terjadi. Sejak muncul kasus flu burung pada 2005, Indonesia sudah menjadi korban eksploitasi WHO. Ketika itu, Indonesia yang sudah siap memroduksi vaksin sendiri dipaksa oleh WHO untuk menghentikan produksi dan menyerahkannya kepada organisadi di bawah PBB itu.

WHO mengambil vaksin dari Indonesia dan menyerahkan kepada perusahaan farmasi Eropa. Setelah diproduksi massal, vaksin dijual mahal ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ketika itu Siti Fadilah Supari selaku menteri kesehatan mencoba melawan hegemoni dan dominasi WHO dengan lantang berbicara di mana-mana. Akan tetapi, perlawanan Siti Fadilah hanya menjadi teriakan dalam kegelapan, a cry in the dark, dan dia akhirnya harus mendekam di gelapnya ruang penjara.

Kasus Vaksin Nusantara serupa tapi tak sama. Dr Terawan Agus Putranto menemukan satu formula vaksin yang berdasarkan pada kearifan lokal, yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

Vaksin berbasis sel deindritik yang ditemukan Terawan lebih aman karena diambil dari sel masing-masing orang yang kemudian disuntikkan kembali. Tidak ada penyeragaman gebyah-uyah ala vaksin WHO. Vaksin Nusantara adalah tameng terhadap virus yang diambil dari darah kita sendiri.

Namun, Vaksin Nusantara mengancam dominasi vaksin WHO. Berbagai kampanye dilontarkan untuk mendiskreditkannya.

Berbagai aturan birokrasi dipasang untuk mengadangnya. Yang terjadi adalah de javu, peristiwa lama yang dialami Siti Fadilah terulang kembali.

Suara perlawanan tidak akan berhenti. Terawan boleh dibungkam, tetapi perlawanan secara terbuka maupun klandestin jalan terus.

Dari Unair, Prof Chairul Anwar Nidom, seorang pakar biokimia dan biologi molekuler, melakukan perlawanan yang berbeda. Dia menyerukan perlawanan terhadap global wisdom dengan senjata local wisdom.

Salah satu senjata local wisdom yang disarankan Prof. Nidom ialah mengonsumsi empon-empon untuk memperkuat imunitas tubuh. Penelitian yang dilakukannya sudah membuktikan kehebatan empon-empon.

Khazanah lokal itu terbukti manjur meningkatkan imunitas tubuh yang efektif menjadi tameng melawan virus Covid 19.

Vaksinasi perlu dan penting, tetapi penerapan prokes adalah vaksin yang paling efektif dan mujarab. Mengonsumi empon-empon, untuk meningkatkan imunitas, akan menjadi tindakan preventif yang murah dan praktis.

Dan, yang tak kalah penting, mengonsumsi empon-empon bentuk perlawanan simbolik terhadap dominasi global WHO. Sekaranglah saat yang tepat untuk memviralkan kampanye ‘Kepak Sayap Empon-Empon’.(*)

 

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Abdala


Redaktur : Antoni
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler