jpnn.com, TANJUNGPINANG - Pengamat politik dan pemerintahan Endri Sanopaka mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan nasib tenaga honorer jauh sebelum penghapusan honorer diberlakukan.
Dia mengatakan rencana menghapus tenaga honorer itu sebaiknya ditangani secara bijak sehingga dapat meminimalkan dampak negatif.
BACA JUGA: Nasib Honorer Mengerikan, Tetapi Penyebab Utama Bukan SE MenPAN-RB
Sebab, Endri menilai ada potensi negatif akibat kebijakan penghapusan honorer pada 2023, baik secara politik, sosial, hukum, maupun ekonomi.
“Sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan nasib tenaga honorer jauh sebelum kebijakan itu diberlakukan," kata Endri di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Senin (20/5).
BACA JUGA: Ahmad Doli Meminta Pemerintah Memastikan Nasib Ratusan Ribu Honorer Sebelum 2023
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji itu mengatakan penghapusan tenaga honorer yang saat ini hangat dibicarakan publik, berpotensi memberi dampak negatif terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2024.
Meski demikian, ribuan tenaga honorer harus memahami bahwa kebijakan penghapusan tenaga honorer di pemerintahan berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
BACA JUGA: Penghapusan Honorer, Masalah Ini yang Bikin Edison Khawatir
Berdasar UU itu, ASN terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Namun, sumber keuangan honor atau gaji tenaga honorer tidak membebani anggaran pusat, melainkan daerah.
Begitu pula dengan PPPK, lanjut Endir, anggaran untuk pembayaran gaji mereka bersumber dari anggaran daerah, berbeda dengan PNS yang bersumber dari anggaran pusat. Karena itu, sejak awal pemda menunda membuka penerimaan PPPK, kecuali untuk guru lantaran jumlah tenaga honorer yang cukup banyak.
Selama ini, kata dia tenaga honorer yang bekerja di pemerintahan daerah tidak semata-mata berorientasi terhadap gaji.
Sebab, gaji yang diperoleh mereka relatif jauh lebih rendah dibanding PNS atau PPPK.
Pertimbangan mereka justru merasa bangga dapat bekerja di pemerintahan karena mendapatkan status sosial yang baik di tengah masyarakat.
"Pendapatan daerah turun sejak pandemi Covid-19. Tahun 2022 ini baru terlihat perlahan-lahan kondisi kembali normal, aktivitas masyarakat meningkat dan perekonomian berjalan," ucapnya.
Keinginan Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, agar pemerintah pusat menangguhkan kebijakan penghapusan tenaga honorer di pemerintahan tersebut tidak akan berarti apa-apa bila para honorer tidak mendukungnya. "Semestinya berjuang bersama-sama minta kebijakan khusus dari pusat," tegasnya.
Selain aspek politik, Endri berpendapat bahwa penghapusan tenaga honorer pada 2023 potensial menimbulkan permasalahan sosial yang cukup besar akibat peningkatan angka pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2021, jumlah penduduk usia kerja di Kepri yang terdampak Covid-19 sehingga tidak bekerja sebanyak 209.506 orang (9,91 persen).
Jumlah tersebut turun 27,40 persen dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 288.549 orang.
Penghapusan tenaga honorer di Kepri akan berkontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran sehingga perlu ditangani secara bijak.
"Di Pemprov Kepri terdapat sekitar 7.000 orang honorer, belum lagi di pemerintahan kabupaten dan kota. Tentu permasalahan sosial yang timbul akibat peningkatan angka pengangguran makin tinggi sehingga perlu ditangani secara serius," ujarnya.
Sebelumnya, Sekda Kepulauan Riau Adi Prihantara menyatakan mereka berupaya memperjuangkan nasib sekitar 7.000 tenaga honorer di pemda setempat. Hal itu menyusul rencana pemerintah pusat menghapus status honorer mulai 2023.
"Kami tetap memikirkan nasib status honorer agar jangan sampai dihapus tanpa ada solusi," katanya.
Menurut dia, tidak mudah memberhentikan tenaga honorer begitu saja.
Sebab, ujar Adi, harus diakui keberadaan honorer selama ini membantu pemerintah daerah dalam melayani publik.
Dia juga mengeklaim ribuan pegawai honorer itu tidak membebani APBD Pemprov Kepri, sebab setiap tahun memang sudah dianggarkan sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku.
"Kami tentu tidak ingin kebijakan penghapusan honorer justru memicu meningkatnya angka pengangguran terbuka," ujar dia.
Adi menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak dapat menyangkal atas turunnya SE MenPAN-RB perihal penghapusan honorer pada tahun depan. Apalagi UU yang mengatur tentang larangan pengangkatan tenaga honorer pemerintahan sudah berlaku sejak lama.
Namun, kata dia, di sisi lain pemerintah juga harus mencari solusi terbaik untuk para honorer, terutama mereka yang sudah mengabdi lima hingga 10 tahun. Misalnya, diterima menjadi PPPK atau calon pegawai negeri sipil (CPNS) melalui serangkaian seleksi.
"Kami terus mengusulkan formasi PPP dan CPNS ke pemerintah pusat, namun kuotanya memang terbatas. Sebab, itu menjadi kewenangan mereka," kata Adi. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi