jpnn.com, JAKARTA - Suara yang menghendaki perbaikan atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) semakin bergema. Terbaru, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menginginkan adanya kajian ilmiah untuk mengetahui dampak positif dan negatif pilkada langsung.
Menurut pengamat komunikasi politik Ari Junaedi, banyaknya pihak yang menghendaki perbaikan pelaksanaan pilkada langsung, didasari munculnya sejumlah fenomena yang sangat merugikan demokrasi.
BACA JUGA: Soal Evaluasi Pilkada Langsung, Gagasan Mendagri Tito Sudah Benar
Antara lain, mengemukanya istilah 'pinjam perahu' untuk calon kepala daerah yang bukan kader partai. Kemudian, mahar politik, memborong semua partai politik agar hanya ada calon tunggal serta biaya politik yang tinggi.
"Saya mendukung wacana perbaikan pelaksanaan pilkada langsung, demi tercapainya mutu demokrasi yang baik," ujar Ari di Jakarta, Kamis (14/11).
BACA JUGA: Golkar Belum Putuskan Sikap Soal Evaluasi Pilkada Langsung
Menurut dosen di Universitas Indonesia ini, sebagai langkah pertama penting mengutamakan perbaikan di sektor hulu pilkada. Misalnya, selektifitas peserta pilkada harus dibenahi. Calon yang maju harus bersih dari noda catatan korupsi dan kriminal.
"Kasus bupati di daerah Jawa Tengah yang pernah dua kali menjadi kepala daerah padahal pernah tersandung kasus rasuah, harusnya tidak terulang," ucapnya.
BACA JUGA: Jangan Buru-buru Menyimpulkan Pilkada Langsung atau Lewat DPRD
Lebih lanjut pembimbing disertasi S3 di Universitas Padjajaran ini mengatakan, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini perlu diintensifkan sejak awal. Agar celah-celah terjadinya money politik tidak muncul.
Pria yang pernah menjadi tenaga ahli desk pilkada di era Mendagri Tjahjo Kumolo ini menilai, perbaikan di sisi hilir pelaksanaan pilkada juga tidak bisa dipandang enteng.
"Pelaksanaan pilkada memang harus mengarah ke arah e-voting dengan mengaplikasikan pemanfaatan teknologi untuk mencapai hasil pilkada yang jujur dan transparan," ucapnya.
Agar gugatan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi menjadi arena baru pilkada, Ari menyarankan perkara yang diajukan harus benar-benar menyangkut hasil pilkada. Ini penting menjadi perhatian karena kasus pilkada sangat pelik.
"Satu lagi yang tak kalah penting, menghapus paradigma pemilih yang selalu menjadikan calon kepala daerah adalah ATM (Anjungan Tunai Mandiri) berjalan," katanya.
Menurut Ari, masyarakat harus diberi literasi pilkada bersih secara terus menerus, serta memberlakukan ancaman sanksi bagi pemilih yang terang-terangan minta duit ke calon. Karena masyarakat cenderung memiliki pemahaman yang keliru selama ini. Masyarakat terkesan menjadikan pilkada sebagai arena organ tunggal dan pesta bagi-bagi duit. Hal itu terjadi karena dibiasakan dengan money politik. (gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang