jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPD Fahira Idris mengatakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker berpotensi menggerus sistem imun rakyat. Hal itu diungkap Fahira dalam siaran persnya, Rabu (7/10).
Menurut Fahira, sejak awal ia selaku anggota DPD maupun sebagai rakyat meminta kepada pemerintah dan DPR menunda dulu pembahasan di semua klaster yang ada dalam RUU Ciptaker ini hingga pandemi Covid-19 bisa dikendalikan.
BACA JUGA: Seruan PP Muhammadiyah soal RUU Cipta Kerja
Karena itu, Fahira sangat menyayangkan pemerintah dan DPR yang terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU di saat rakyat sedang fokus ikut membantu menanggulangi Covid-19 dan tengah berjibaku mempertahkan roda ekonomi rumah tangganya masing-masing.
Menurut Fahira, kini selain harus ikut berjibaku menanggulangi pandemi dan memutar otak agar ekonomi keluarga tetap berjalan, masyarakat juga dihadapkan lagi pada persoalan baru yaitu lahirnya sebuah UU yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan.
BACA JUGA: Politikus PKS Nilai UU Cipta Kerja Menguntungkan Pengusaha Tiongkok
“Kini kebanyakan rakyat tidak hanya resah akan pandemi, tetapi juga resah dan khawatir atas dampak yang akan mereka alami atas disahkannya UU ini. Situasi seperti ini berpotensi menggerus ‘sistem imun’ rakyat. Fokus jadi terpecah-pecah akibat disahkannya RUU ini,” kata Fahira.
Senator dari DKI Jakarta itu mengaku jauh-jauh hari sebelum UU ini disahkan sudah tegas meminta agar RUU Ciptaker yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini ditunda dulu pembahasannya setelah pandemi bisa dikendalikan. Menuutnya, hal ini agar berbagai elemen masyarakat bisa fokus mengawal dan dilibatkan secara penuh dalam penyusunan RUU.
BACA JUGA: Soal Omnibus Law UU Cipta Kerja, Hasan Basri: Kami Sudah Maksimal Perjuangkan Aspirasi Daerah
Selain itu, kata dia, DPD RI lewat Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) juga pernah menyampaikan penolakan terhadap klaster ketenagakerjaan dan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting. Namun, ia menegaskan, karena keterbatasan wewenang DPD yang sesuai UU MD3 yang tidak diberi kewengan mengambil keputusan, membuat semua upaya tersebut tidak seperti yang diharapkan.
Menurut Fahira, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga oleh organisasi-organisasi keagamaan besar, menandakan aturan tersebut mengandung banyak persoalan.
Dalam merespons persoalan ini, kata dia, harusnya pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Ciptaker dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan. “Bukan malah tergesa-gesa mengesahkannya,” tegas Fahira.
Menurut Fahira, niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi melalui Omnibus Law UU Ciptaker sah-sah saja.
“Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi semu karena tidak merata dan berpotensi meninggalkan jebakan bagi generasi mendatang,” ungkapnya.
Seperti diketahui, walau mendapat penolakan luas, RUU Ciptker resmi menjadi UU setelah DPR mengesahkannya pada Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10). Pengesahan ini dikebut lebih cepat dari jadwal yang diagendakan pada Kamis 8 September 2020.
Menurut Fahira, pengesahan yang ‘kejar tayang” ini (dibahas tengah malam dan pengesahannya dimajukan) tentu menjadi pertanyaan besar publik di tengah masih terdapat pasal-pasal kontroversi. “Terlebih disahkan di saat rakyat sedang fokus ikut membantu Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 yang selama tujuh bulan lebih ini belum dapat dikendalikan,” pungkas Fahira. (boy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Boy