Fahri: Mengapa Statistik Kemiskinan Kita Berbicara Beda?

Selasa, 17 Juli 2018 – 19:16 WIB
Fahri Hamzah. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan secara statistik angka kemiskinan memang menurun. Namun, dia mengingatkan jangan mudah terhibur data statistik soal penurunan angka kemiskinan tersebut.

Menurut Fahri, statistik merupakan ilmu yang kompleks sehingga membacanya harus lebih jeli.

BACA JUGA: Menko PMK: Program Bantuan Sosial Berikan Banyak Manfaat

“Selain itu kembalilah ke realitas sekeliling dan bertanyalah apa benar orang miskin semakin berkurang," kata Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/7).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai angka kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82 persen berdasar data statistik merupakan yang paling rendah sepanjang sejarah Indonesia.

BACA JUGA: Pengangkatan Direksi BUMN Tak Perlu Lewat Pertimbangan DPR

Menurut Fahri, hari-hari belakangan rakyat menghadapi realitas kenaikan harga yang tidak bisa terbantahkan. Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan listrik terutama pada masa pemerintahan Presiedn Joko Widodo (Jokowi) membuat harga sembilan bahan pokok (sembako) semakin hari naik. Bagi kelompok yang kaya mungkin tidak terasa. Tapi, bagi kelompok menengah ke bawah dampaknya luar biasa. “Tetapi kenapa statistik kemiskinan kita berbicara beda?" katanya.

Fahri lantas memberikan catatan tentang cara mengukur orang miskin di negeri ini.

BACA JUGA: Fahri Hamzah Vs Presiden PKS, Tinggal Tunggu Tersangkanya

Dia menjelaskan, orang dikatakan miskin jika pengeluaran (bukan pendapatan) ada di bawah garis kemiskinan (GK).

Menurut dia, GK terdiri dari makanan dan nonmakanan. Tapi, GK makanan lebih mendominasi perhitungannya. BPS mencatat GK per Maret 2018 sebesar Rp 401.220 per bulan. Kalau dibagi 30 hari jadi sebesar Rp 13.777.

"Ini ada batas orang dikatakan miskin atau tidak miskin," katanya.

Jadi, lanjut Fahri, kalau ada tetangga yang pengeluarannya dalam sehari per kepala Rp 14.000 saja, itu tidak miskin alias tidak tertangkap oleh statistik sebagai orang miskin.

"Padahal, Rp14 ribu sehari di kehidupan nyata dapat makan apa? Berapa kali kita makan? Buat ongkos ke sekolah bagaimana? Bagi yang kerja buat ongkos transportasi berapa? Apa cukup?" ungkapnya.

Sayangnya, lanjut Fahri, oleh statistik yang diyakini pemerintah masyarakat seperti itu dianggap tidak miskin, tidak perlu bantuan, tidak perlu kebijakan. "Bukankah ini tragis? Itulah mengapa, kita jangan mudah terhibur dengan statistik," jelasnya.

Menurut dia, jangan mudah tepuk tangan yang membuat lalai dan kehilangan kesadaran bahwa ekonomi sedang bermasalah, kesejahteraan rakyat dipertaruhkan.

"Kalau bicara kesejahteraan rakyat, masih banyak indikator kesejahteraan kita yang berbicara lain dan dalam kondisi memprihatikan," katanya.
Misalnya, Fahri mencontohkan, tingkat upah riil buruh yang terus merosot, nilai tukar petani semakin menurun. "Padahal mayoritas sumber daya manusia ada di sektor pertanian dan buruh," ungkapnya.

Dia menjelaskan, selama empat tahun pemerintahan Jokowi, upah nominal buruh tani naik dari Rp 43.808 per hari ke Rp 50.213 per hari. Tetapi, upah riilnya justru turun dari Rp 39.383 menjadi Rp 37.711. "Ini berarti kenaikan upah nominal tidak mampu mengatasi inflasi (kenaikan harga-harga kebutuhan pokok) yang dihadapi buruh tani," paparnya.

Dia menjelaskan di era pemerintah Jokowi nilai tukar petani yang mencerminkan daya beli petani juga mengalami penurunan khususnya dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini.

Tentu ini sebuah paradoks, karena dalam waktu yang sama tingkat kemiskinan diklaim mengalami penurunan. "Padahal sumber utama kemiskinan adalah kemiskinan pedesaan yang sumber pencaharian utamanya adalah pertanian," jelasnya.

Menurut dia, inilah yang perlu disampaikan secara jujur sebab rakyat tidak berubah nasibnya hanya karena ada statistik yang memotret kemiskinan secara sumir. Pemerintah harus berani mengambil terobosan untuk mengukur kemiskinan dan kesejahteraan rakyat secara nyata.

Penyembunyian keadaan rakyat dengan menggunakan statistik dapat dikatagorikan sebagai kebohongan yang disamarkan.

“Praktik ini harus dihentikan," tegasnya. Fahri mengaku sudah menonton sebuah video presiden mengarakan agar BPS mengadakan survei kemiskinan setelah pembagian beras miskin.

"Sekarang ia bernama RASTRA (beras sejahtera). Kita tahu bahwa penghitungan kemiskinan kita menggunakan konsumsi kalori. Maka dengan sekali bagi beras kemiskinan bisa hilang. Tega sekali pemerintah kita," paparnya.

Mantan wakil sekretaris jenderal (wasekjen PKS) itu mengingatkan sudah cukuplah dan jangan ada lagi dusta seperti ini.

“Kalau kita miskin ya miskin saja. Mari kita miskin bersama-sama. Jangan sampai statistik dipakai menghibur elite dan opini tapi rakyat tambah sengsara," pungkasnya.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pastikan Tak Nyaleg, Fahri Ucapkan Innalillah untuk PKS


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler