jpnn.com, JAKARTA - Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua, masih menjadi sorotan publik.
Kini, para akademisi melakukan eksaminasi terhadap putusan hukuman pidana mati untuk Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
BACA JUGA: Terapkan Budaya Siri Na Pacce dalam Mengeksekusi Yosua, Ferdy Sambo Tak Layak Dihukum Mati
Nah, ada delapan eksaminator yang bukan orang sembarangan diantaranya Prof. Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Marcus Priyo Gunarto, Prof. Amir Ilyas, Prof Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun dan Agustinus Pohan.
Pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali menjelaskan yang dieksaminasi adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua dengan terdakwa Ferdy Sambo. Setelah itu, dibuatkan isu hukum untuk Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
BACA JUGA: Alfons Loemau Yakin Kasus Richard Mille jadi Kartu Truf Ferdy Sambo Serang Balik Polri
"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," kata Ali dikutip dari Youtube LKBH FH UII pada Sabtu (10/6).
Untuk Ferdy Sambo, kata dia, ada tujuh isu hukum dan Putri Candrawathi ada dua isu hukum. Menurut dia, apakah perbuatan Ferdy Sambo masuk dalam kategori Pasal 340 KUHP atau Pasal 338 KUHP.
BACA JUGA: Eksaminasi Vonis Ferdy Sambo, Akademisi Khawatir Putusan Hakim Berdasar Tekanan Publik
"Memang, secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338. Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti," ujar Edito buku berjudul 'Pidana Mati Berdasarkan Asumsi, Kajian Putusan Perkara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi' ini.
Masalahnya, kata Ali, dalam perkara a quo itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya berdasar pada satu keterangan saksi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard.
"Yang keterangan saksi Richard Eliezer itu sama sekali berbeda, bahkan bertentangan dengan saksi yang lain. Sehingga, majelis eksaminator mengatakan ini tidak tepat kalau kemudian dasarnya hanya satu keterangan," jelas dia.
Termasuk misalnya, lanjut dia, motif dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua yang menjadi isu hukum. Memang, semua eksaminator menyebut bahwa motif itu bukan unsur sehingga tidak wajib dibuktikan.
"Tetapi, karena majelis hakim dalam perkara a quo menjatuhkan pidana mati kepada Ferdy Sambo, maka pertimbangan hukum hakim itu harus lengkap, salah satunya adalah motif," sebutnya.
Menurut dia, ada yang menarik jika membaca pertimbangan hukum hakim. Kalau versi penasehat hukum, kata dia, ada faktor pemerkosaan sehingga Ferdy Sambo melakukan tindakan yang tidak boleh. Sementara, jaksa menyebut bahwa motifnya itu bukan perkosaan tapi perselingkuhan.
"Kemudian, hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan motifnya adalah kecewa. Walaupun kalau kita membaca pertimbangan hakim, itu tidak jelas kecewanya karena apa," ucapnya.
Jadi, kata dia, eksaminator menilai hakim telah melakukan proses halusinasi. Sebab, lanjut Ali, hakim membuat fakta-fakta itu tidak ada di persidangan tapi menjatuhkan pidana mati kepada Ferdy Sambo.
"Jadi disitu, eksaminator mengatakan hakim itu bahasa kasarnya itu melakukan proses halusinasi. Sehingga, majelis eksaminator mengatakan pidana mati itu tidak layak dijatuhkan dalam perkara a quo. Karena apa? Karena pertimbangan hukum yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap," ungkapnya.
Berikutnya, Ali mengatakan tes poligraf. Menurut dia, majelis hakim menggunakan tes poligraf padahal versi eksaminator itu investigasi dan tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
"Jadi semuanya dianggap bohong, kecuali Richard Eliezer yang jujur. Ini versi majelis hakim," kata Ali.
Akibatnya, kata dia, tes poligraf berimbas kepada apakah Ferdy Sambo menembak atau tidak. Berdasarkan keterangan ahli hasil eksaminasi, lanjutnya, bahwa ada 7 peluru yang bersarang di tubuh korban.
Lima peluru itu clear berasal dari senjata Richard Eliezer. Lalu, ada dua peluru itu tidak dapat diidentifikasi karena serpihannya sangat kecil.
"Oleh majelis hakim disimpulkan, karena jelas 5 peluru itu berasal dari Richard Eliezer, maka dua peluru yang tidak bertuan itu disimpulkan pelurunya Ferdy Sambo. Sehingga, hakim mengatakan bahwa Ferdy Sambo juga ikut menembak, walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah, keterangan ahli dan balistik," ungkapnya.
Selanjutnya, Ali mengatakan pasal yang dikenakan turut serta kepada Ferdy Sambo. Menurut dia, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat tapi harusnya menganjurkan.
Namun, kata dia, problemnya adalah pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
"Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta," katanya.
Terakhir, Ali mengatakan isu hukum untuk Ferdy Sambo terkait obstruction of justice. Menurut dia, Prof Eddy Hiariej menyebut bahwa obstruction of justice itu ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan tapi orang lain yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.
"Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Ferdy Sambo dikenakan pasal tentang obstruction of justice, karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo. Harusnya, pasal itu dikenakan kepada orang lain yang menghalang-halangi proses penyidikan suatu perkara pidana," jelas Ali.
Terkait Putri Candrawathi, Ali mengatakan ada dua isu hukum yaitu turut serta dan pembunuhan berencana. Menurut dia, majelis eksaminasi menyebut tidak mungkin terjadi turut serta pada delik yang selesai.
Alasannya, kata dia, turut serta terjadi pada fase sebelum kejahatan terjadi dan ketika kejahatan terjadi. Sehingga, tidak mungkin pada kejahatan telah selesai dilakukan.
Sementara, eksaminasi ini banyak fakta hukum yang dijadikan pertimbangan hakim ketika Putri ikut terlibat pembunuhan itu sama sekali tidak ada kaitan dengan Ferdy Sambo.
“Niat Ferdy Sambo itu kan munculnya di Jakarta, bukan Magelang. Tetapi, fakta hukum yang diduga dimasukkan oleh hakim adalah fakta-fakta yang di Magelang, sehingga itu tidak masuk. Kedua, banyak fakta hukum oleh hakim dijadikan pertimbangan bahwa PC juga turut serta, itu fakta setelah korban meninggal,” ungkapnya.
Kemudian, Ali menyebut eksaminator mengatakan perbuatan Putri Candrawathi itu lebih tepat sebagai membantu orang lain melakukan kejahatan seperti yang diatur dalam Pasal 56 KUHP.
Sehingga, tidak tepat dinyatakan bersalah melakukan turut serta pembunuhan berencana.
“Masalahnya, Pasal 56 KUHP sejak awal tidak pernah dijadikan sebagai dasar dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Karena, PC tidak dijadikan dasar didalam dakwaan, maka harusnya Putri itu bebas,” katanya.
Menurut dia, Putri harusnya Pasal 56 KUHP tentang delik pembantuan. Tapi, lanjut dia, Putri dikenakan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. “Karena Pasal 56 KUHP itu kan dua situasinya, sebelum terjadinya kejahatan atau pada saat terjadinya kejahatan,” ucapnya.
Ia menambahkan hasil eksaminasi terhadap perkara a quo yang murni basisnya dokumen-dokumen resmi putusan pengadilan, dan berkas-berkas yang lain. Sehingga, ini murni kajian akademi.
“Bahkan, eksaminator ada Pak Wamen (Prof Eddy Hiariej). Walaupun Pak Wamen mengatakan saya menolak sebagai wamen, saya murni memberikan pendapat sesuai akademisi selaku guru besar bidang hukum,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif