jpnn.com, MINDANAO - Keturunan Indonesia di Filipina terhindar bernasib seperti etnis Rohingya. Sejak tahun lalu, pemerintah Filipina bersedia mengakui mereka sebagai warga negara.
Salah satunya adalah Pidinsia Barahama Pareda yang akhirnya punya akta kelahiran Kamis (16/11) lalu. Di sana tertulis jelas identitasnya sebagai PID alias People of Indonesian Descent.
BACA JUGA: AS Tak Percaya Militer Myanmar Bersih dari Darah Rohingya
Seperti ditulis Al Jazeera kemarin, Senin (20/11), Pareda hanyalah satu di antara ribuan warga keturunan Indonesia yang lahir dan besar di Filipina. Persisnya di Pulau Balut dan Sarangani yang merupakan bagian dari Kepulauan Mindanao.
Mereka generasi ketiga dari orang-orang Kepulauan Sangihe-Talaud, dua kepulauan di Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina.
BACA JUGA: Tak Ada Lagi Kekaguman, Rocker Gaek Ini âPutuskanâ Suu Kyi
Selama berdekade-dekade tinggal di Filipina, Pareda dan ribuan PID yang lain stateless alias tak punya kewarganegaraan. Mereka tidak punya dokumen resmi, baik dari pemerintah Filipina maupun pemerintah Indonesia.
Seperti Rohingya di Myanmar, Filipina tidak menganggap mereka sebagai warga negara. Sedangkan Indonesia tidak pernah mengenal mereka.
BACA JUGA: Kejam! Warga Bangladesh Eksploitasi Bocah-Bocah Rohingya
"Kami menggunakan surat baptis untuk mengurus apa pun," katanya sebagaimana dilansir Al Jazeera kemarin.
Dia berbicara dalam bahasa Sangir yang merupakan bahasa tutur warga Sangihe-Talaud. Dia tidak bisa berbahasa Tagalog, apalagi Indonesia.
Masalah muncul pada 2005. Saat itu pemerintah Filipina mewajibkan seluruh penduduknya punya akta kelahiran. Pareda pun kemudian mengurusnya lewat seorang pamong masyarakat seharga USD 3,9 (sekitar Rp 52 ribu).
"Saya sudah membayar lunas, tapi tidak pernah mendapatkan dokumen itu," keluhnya.
Dia pun lantas melanjutkan kehidupannya di Balut sebagai alien. Pareda mengantongi alien certificate of registration (ACR) yang diterbitkan pemerintah Filipina.
Dokumen itu memberikan hak bagi Pareda untuk tetap tinggal di Filipina. Tapi, ACR tidak gratis. Ada iuran tahunannya. Dan, tiap tahun Pareda harus memperpanjang dokumen tersebut ke Kota General Santos di Pulau Mindanao. Perjalanan ke kota tersebut menghabiskan banyak uang dan waktu.
ACR tidak membuat Pareda bisa bekerja di Filipina. Karena itu, dia dan ribuan PID lainnya bertahan dengan melakukan pekerjaan kasar di perkebunan kelapa sawit. Mereka memanen kelapa dan membuat kopra.
Ada juga yang bekerja di pesisir sebagai nelayan atau pengawet hasil laut. Pekerjaan yang penghasilannya tidak seberapa itu terpaksa mereka jalani demi menyambung hidup.
Namun, reformasi undang-undang kewarganegaraan Indonesia pada 2006 menerbitkan harapan mereka untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Sebab, Indonesia mengizinkan siapa pun warganya yang telah kehilangan kewarganegaraan untuk memperolehnya kembali.
Termasuk ribuan penduduk Indonesia yang bermukim di Filipina secara turun-temurun. Tapi, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Persoalannya, mayoritas mereka tak mengenal bahasa Indonesia. "Siapa di sini yang bisa berbahasa Indonesia?" tanya Berlian Napitupulu, konsul jenderal Indonesia untuk Filipina, ketika bertemu mereka pada Kamis pekan lalu.
Dari sebanyak 60 orang yang ada di ruangan itu, hanya 16 yang tunjuk jari. Maka, maklumlah Berlian jika tidak ada yang merespons pertanyaannya.
Sebagian besar tidak tahu apa yang dia katakan atau apa maksud gambar dan tulisan-tulisan di layar.
Total, ada 8.745 PID di Filipina. Sejak tahun lalu, pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan PBB merangkul mereka. Tujuannya, mencegah ribuan warga Indonesia itu menjadi alien permanen alias stateless.
Tapi, di balik itu, Berlian berharap orang-orang keturunan Indonesia tersebut bersedia pulang ke tanah air. "Indonesia sekarang sudah jauh berbeda," katanya kepada para PID tersebut. (aljazeera/hep/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanpa Sebut Rohingya, Jokowi Bicara Soal Krisis di Myanmar
Redaktur & Reporter : Adil