Kisah kehidupan Rain yang harus melewati beberapa fase dalam hidupnya untuk mencari kebahagiaan menjadi tema utama film The Sun, The Moon, and The Hurricane.

Film besutan sutradara asal Indonesia, Andri Cung ini menceritakan perjalanan Rain yang pernah bertemu sosok Kris saat keduanya sama-sama berada di bangku SMA.

BACA JUGA: Warga Australia Ini Karang 3 Buku Sejarah dan Kebudayaan Indonesia

Kris memiliki karakter yang posesif, sedikit egois, tapi penyayang. Sementara Rain selalu mempertanyakan kebahagiaan dan ketakutan akan kenyataan dalam hidupnya. Tapi hanya bersama Kris, ia menemukan rasa kenyamanan dan ketentraman.

Hingga akhirnya Kris pergi meninggalkan Rain dan Rain harus berjuang menghadapi rasa kesendiriannya.

BACA JUGA: Buktikan Keberadaan Alien, Astronom Biayai Risetnya dengan Galang Dana Online

Di usia 30-an Rain sudah menjadi pribadi lajang yang lebih kuat, mandiri, dan bebas, hingga suatu saat ia kembali bertemu dengan Kris yang sudah menikah dengan seorang perempuan.


Salah satu adegan film. Foto: The Sun, The Moon, The Hurricane.

BACA JUGA: Jual Susu Sapi Mentah, Peternak Australia Selatan Ini Didenda Rp 175 Juta

"Tema dalam film ini adalah soal kisah cinta sesama pria," ujar Andri Cung, sang sutradara dalam sesi tanya jawab usai pemutaran filmnya di Festival Film Indonesia Australia, hari Senin (18/04).

"Dan saya sengaja tidak membuat akhir ceritanya yang lebih mengambang, bukan akhir yang menyenangkan atau menyedihkan, tetapi saya membuatnya tidak berakhir."

Andri mengaku jika sebagian dari cerita dalam film The Sun, The Moon, and The Hurricane ini diambil dari kisah-kisah yang dialami oleh beberapa temannya, termasuk juga dirinya sendiri.

"Menjadi seorang gay di Indonesia bukanlah hal yang mudah," jawabnya.

Kepada para penonton ia mengatakan kalau dirinya pernah berjuang agar bisa nyaman, di tengah stigma soal pecinta sesama pria di Indonesia. Tapi ia mengaku jika termasuk gay yang tidak mendapat kesulitan untuk mengaku kepada sekelilingnya.


Sutradara Andri Cung (kedua dari kiri) dan Natalius Chendana (ketiga dari kiri) usai pemutaran film. Foto: IFF Australia.

"Hal yang paling sulit sebenarnya adalah mengaku pada diri sendiri," ujarnya Andri. "Saya pernah datang ke seorang pendeta dan siap untuk diceramahi sebagai seorang pendosa, tetapi pendeta tersebut berkata jika saya seorang gay, maka jadilah gay yang baik."

Filmnya sendiri telah mendapat banyak diputar di sejumlah festival film internasional, termasuk diantaranya memenangkan penghargaan.

Andri pernah menyabet gelar sutradara baru terbaik di ajang Vancouver International Film Festival di tahun 2014.

"Di Indonesia sendiri pernah diputar di salah satu festival di Jakarta... saat itu syaratnya hanya boleh diputar di dua akhir pekan dan saya tidak mau jika film saya di-sensor," jelasnya. "Saya memutar versi lain dari film ini yang tidak terlalu banyak adegan panas diantara kedua lelaki."

Dalam pemutaran yang digelar di Cinema 1 ACMI, Melbourne, terlihat hampir seluruh bangku penonton terisi. Komposisi antara penonton Indonesia dan warga lokal pun nyaris seimbang.

"Terima kasih telah mengangkat masalah gay ke layar lebar," ujar salah satu penonton. "Saya punya darah Indonesia yang juga seorang gay."

Festival Film Indonesia yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia cabang University of Melbourne ini akan berakhir 20 April mendatang.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepolisian NSW Pertama Berlakukan Skema Pengungkapan Sejarah Pelaku KDRT

Berita Terkait