jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Firli Bahuri disarankan untuk membatalkan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kasus dugaan korupsi pada SKL BLBI.
Pengamat ekonomi dan bisnis Eko B. Supriyanto menilai pengajuan PK tersebut bersifat inkonstitusional. Jika diteruskan akan mencoreng muka KPK dan profesionalisme serta kepastian hukum di Indonesia.
BACA JUGA: Prof Romli Soroti Kecerobohan KPK di Kasus BLBI
"Ketika mendengar kabar ini (pengajuan PK), saya penasaran, masa sih lembaga penegak hukum sebesar KPK tidak punya ahli hukum yang paham tentang ketentuan pengajuan PK sampai melakukan tindakan inkonstitusional seperti ini?" kata Direktur Infobank Institute kepada wartawan, Jumat (17/1).
Eko mengingatkan, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014, jelas disebut bahwa jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK, sekalipun atas masalah yang dianggap prinsipil. Pihak yang boleh mengajukan PK adalah terdakwa/terpidana.
BACA JUGA: Buru Dua Tersangka Kasus BLBI, KPK Koordinasi dengan Singapura
Surat Edaran itu juga dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang dibuat untuk mengakhiri perbedaan pendapat terkait siapa yang berhak mengajukan PK.
Putusan MK ini mengutip Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak boleh dimaknai atau ditafsirkan lain.
BACA JUGA: Terdakwa BLBI Menang Kasasi, KPK Tetap Bidik Sjamsul Nursalim Bos BDNI
Putusan MK ini bersifat final dan mengikat sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 3 Tahun 2011 tentang MK. Negara atau Jaksa jelas tidak memiliki hak untuk mengajukan PK.
"Oleh karena itu, permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa KPK terkait putusan kasasi SAT merupakan tindakan melanggar hukum dan inkonstitusional," jelas Eko.
Lebih lanjut Eko menilai, pimpinan KPK sekarang dihadapkan dengan tantangan profesionalisme karena masalah yang ditinggalkan KPK periode sebelumnya.
Untuk itu jugalah Eko menyarankan agar Firli Cs dapat mengkaji ulang pengajuan PK yang dilakukan pimpinan KPK periode Agus Rahardjo.
Permohonan PK ini diajukan oleh JPU KPK pada tanggal 17 Desember 2019 atau tiga hari sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru.
Langkah KPK tersebut baru diumumkan kepada publik tiga minggu kemudian, tepatnya pada 9 Januari 2020, bertepatan pada hari sidang pertama pemeriksaan permohonan PK di Pengadilan Negeri Tipikor.
Permohonan PK ini Kamis kemarin (16/1) memasuki persidangan kedua mendengarkan kontra memori dari pihak Syarifuddin Temenggung. Pemeriksaan oleh Pengadilan Tipikor diperkirakan berlangsung selama 1 bulan, sebelum diputuskan apakah permohonan itu akan diterima dan diteruskan ke MA atau tidak. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil