jpnn.com, JAKARTA - Lepasnya Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dari jerat hukuman disebabkan kecerobohan Komisi Pemberantasan Korusi (KPK) dalam penanganan perkara sejak penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus dugaan korupsi dalam SKL BLBI.
Begitu penilaian Ahli hukum senior, Prof. Romli Atmasasmita saat diakusi di kantor media nasional di Jakarta beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Dukung KPK, Mentan Amran Nonaktifkan Pejabat Eselon II Hingga IV di Ditjen Hortikultura
Guru besar emiritus Universitas Padjadjaran Bandung itu menegaskan putusan Mahkamah Agung (MA) membebaskan SAT merupakan kejutan bagi KPK.
"Ini Kecerobohan KPK sejak proses penyelidikan dan penyidikan berbuah putusan lepasnya SAT dari segala tuntutan hukum di tingkat kasasi," ujarnya.
BACA JUGA: KPK ke Humas Pemprov Jabar: Peran Informasi Sebagai Pertanggungjawaban Pekerjaan Pemerintah
Mantan pejabat teras Kementerian Hukum dan HAM itu juga menilai berbagai argumentasi hukum yang disampaikan KPK dan beberapa ahli hanya didasarkan pada semangat anti korupsi. Di sisi lain KPK tidak mempertimbangkan dengan hati-hati fakta yang ada terkait penerbitan SKL oleh SAT.
BACA JUGA: Rizal Ramli Sangat Paham Modus Korupsi BLBI
BACA JUGA: Cegah Korupsi, BTN Adopsi Cek Profit Milik KPK
Padahal, sambung Romli, kekuatan hukum terletak pada fakta bukan pada opini ataupun semangat menghukum semata-mata. Sekalipun korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukan tindakan luar biasa dan wewenang yang luar biasa, dibalik itu semua, memerlukan bukti-bukti kuat secara prosedural.
“Hukum tidak dapat ditegakkan dengan “mata tertutup” seperti lambang dewi keadilan, yang terlanjur dibenarkan,” ujat anggota Tim Perumus UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK itu.
Dia juga menyoroti penanganan kasus kasus BLBI, khususnya kepada Bank Dagang NasionaI Indonesia (BDNI)/Sjamsul Nursalim (SN), yang pernah ditangani kejaksaan tapi telah dihentikan dengan alasan masalah ini bukan perkara pidana.
KPK melanjutkan perkara BLBI BDNI dengan menetapkan SAT selaku mantan kepala BPPN sebagai tersangka/terdakwa karena mengeluarkan SKL yang diduga menimbulkan kerugian negara dan menguntungkan SN.
Pertanyaannya, lanjut Romli, bagaimana KPK “mengambil alih” kasus tersebut dari kejaksaan karena baik subjek maupun objek kasusnya adalah identik, terlepas dari tempus delictienya? Apakah KPK telah melakukan koordinasi dan supervisi sesuai aturan Pasal 6 UU KPK? Sayangnya, sampai saat ini tidak pernah ada penjelasan dari KPK.
Putusan kasasi MA yang menyatakan bahwa SAT dilepas dari tuntutan pidana berarti perbuatan SAT dalam mengeluarkan SKL bukanlah tindak pidana. Sekalipun terdapat pendapat berbeda dari tiga anggota majelis hakim, akan tetapi putusan MA yang telah ditetapkan merupakan satu kesatuan yaitu putusan dari satu kekuasaan kehakiman tertinggi pada jajaran peradilan. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Idrus Marham Dirawat di RSPAD Sejak 8 Agustus, Sakit Apa Pak?
Redaktur & Reporter : Adil