Firli Bahuri Cs tak Cukup Bukti Melanggar Etik Pelaksanaan TWK

Jumat, 23 Juli 2021 – 14:33 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri dan pimpinan KPK lainnya lolos dari pelanggaran etik terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Dewan Pengawas KPK menyatakan Firli Cs tidak cukup bukti melanggar etik terkait pelaksanaan TWK tersebut.

BACA JUGA: Kapitra Minta Jokowi Abaikan Temuan Ombudsman soal TWK Pegawai KPK

"Tidaklah cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatarongan Panggabean dalam konferensi pers secara daring, Jumat (23/7).

Dewas KPK sudah memeriksa dan mengumpulkan bukti atas laporan dari 75 pegawai komisi antikorupsi yang tidak lulus asesmen TWK.

BACA JUGA: Polemik Alih Status 75 Pegawai KPK, Ombudsman Mengusulkan Hal Ini ke Presiden Jokowi

Menurut Tumpak, 75 pegawai yang tidak lulus TWK diwakili Hotman Tambunan dan kawan-kawan melaporkan tujuh dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK terkait penyusunan kebijakan, pelaksanaan dan tindak lanjut hasil TWK.

Dalam laporannya, 75 pegawai menduga Firli Bahuri menambahkan klausul TWK saat rapat pimpinan pada 25 Januari 2021 ke dalam draf Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) sebelum dibawa dalam rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

BACA JUGA: Disebut Menyalahgunakan Wewenang dalam TWK, Begini Respons KPK

Selain itu, Firli juga diduga menghadiri sendiri rapat di Kemenkumham pada 26 Januari 2021 dengan membawa draf Perkom yang telah ditambahkan klausul TWK.

Sebanyak 75 pegawai juga menduga pimpinan KPK tidak menjelaskan secara terperinci konsekuensi terhadap pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat asesmen TWK saat sosialisasi pengalihan status pegawai pada 17 Februari 2021.

Kemudian, pimpinan KPK juga diduga membiarkan pelaksanaan TWK yang diduga melanggar hak kebebasan beragama/ berkeyakinan, hak kebebasan berekspresi, hak bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dan tidak menindaklanjuti laporan pegawai atas pelanggaran tersebut.

Para pegawai juga mempersoalkan pernyataan Firli yang menyebut TWK bukan soal lulus atau tidak lulus dan untuk mengukur pegawai KPK terlibat organisasi terlarang tidak cukup dengan wawancara.

Tak hanya itu, para pegawai menduga pimpinan KPK telah meniatkan untuk memberhentikan para pegawai yang tidak lulus TWK.

Pimpinan KPK juga dinilai mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan arahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dengan menerbitkan SK Nomor 652 Tahun 2021 yang menyatakan pegawai yang tidak lulus TWK diharuskan menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan masing-masing.

Atas laporan terkait tujuh hal tersebut, kata Tumpak, Dewas telah meminta keterangan sejumlah pihak.

Terdapat 16 orang yang dimintai keterangan, seperti lima pimpinan KPK, sekjen KPK, kepala Biro Hukum dan kepala Biro SDM, serta para pelapor hingga pihak eksternal seperti pihak BKN, KemenPAN-RB dan Kemenkumham.

Tak hanya itu, kata Tumpak, Dewas juga memeriksa dokumen dan rekaman-rekaman. Dari proses tersebut, kata Tumpak, Dewas mendapat banyak fakta.

Dia mencontohkan yang berhubungan dengan penyusunan Perkom Nomor 1 Tahun 2021 terdapat 49 fakta.

Yang mana 14 fakta berkaitan dengan TWK, enam fakta terkait pernyataan-pernyataan Firli Bahuri, dan 13 fakta mengenai SK 652.

"Kalau dijumlahkan saya tidak tahu mungkin ada seratus atau sekitar 90 sekian. Dalam kesempatan ini kami tidak mungkin menyampaikan fakta-fakta itu semua, namun dalam surat kami kepada pelapor yang sudah kami sampaikan kepada Saudara Hotman dan kawan-kawan, semua fakta ini tertera di dalamnya," kata dia.

Dari fakta-fakta yang diperoleh dan dihubungkan dengan dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan para pegawai, Dewas menyimpulkan tidak ditemukan cukup bukti untuk dilanjutkan dalam persidangan etik.

Tumpak mengingatkan bahwa berdasar kewenangan yang dimiliki, Dewas KPK hanya memeriksa dugaan pelanggaran etik.

"Kami batasi hanya pelanggaran etik. Masalah-masalah lainnya, katakanlah mengenai substansi dari Perkom, mengenai legalitas Perkom, dan lain sebagainya itu bukan masuk ranah Dewas. Dewas hanya melihat dari sisi benarkah ada pelanggaran etik seperti tujuh hal yang dilaporkan tadi," katanya. (tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler